Dalam situasi biasa, Prisha bakal gugup setengah mati mendengar tawaran berbahaya tersebut. Namun, gadis itu masih di fase berduka. Tangisnya pun belum sepenuhnya reda. Reaksinya hanya diam. Wajahnya sedikit tengadah, menatap Gavin dengan aneh."Kita belum sedekat itu." Prisha mendorong suaminya perlahan, lalu pergi tanpa mempedulikan dampak kata-kata dan sikapnya.Gavin membeku. Tak mengira kalau Prisha akan secuek itu. Jiwanya serasa dibenamkan ke Selat Sunda. Rasa malu menggigit hatinya.Dengan susah payah, sembari mengeraskan rahang, pria itu menimba air pelan-pelan, meniru gerakan Prisha. Mengisi bak sampai penuh. Hawa dingin tengah malam menyergap saat ia membuka pakaian. Gavin menyentuh air. Sengatan dingin membuatnya bergidik. Sebagai pemuja kebersihan, Gavin mengharuskan dirinya mandi, minimal 3 kali sehari. Pagi, siang, sore. Hari ini, ia hanya sempat mandi pagi. Padahal, Gavin pantang melewatkan jadwal membersihkan tubuh.Mau tidak mau, sedingin apa pun, ia harus mandi.
Dini hari itu, Prisha menangis sendirian sampai kepalanya pusing. Sebakda Subuh, air matanya tak berhenti mengalir. Tetes-tetes bening jatuh dari matanya membasahi halaman mushaf Al-Qur'an yang dibacanya lirih.Prisha menyentuh dadanya yang sesak terhimpit dilema. Setelah tahu penyebab kematian ibunya, bagaimana mungkin ia kembali ke tengah keluarga Devandra? Sanggupkah ia memanggil "mama" pada mertua yang telah membunuh ibunya? Kuatkah ia menuntut Karina, dengan risiko mematahkan hubungannya dengan Gavin?Lebih jauh lagi, mampukah ia memandang Gavin sebagai suami, sedangkan ibunya pernah tersiksa sampai akhir hidup gara-gara merindukan lelaki itu? Terlebih sejak awal nikah, Gavin telah menegaskan perasaan, yang sukar dilupakan Prisha hingga detik ini."Aku membencimu, sebesar aku mencintai ibumu."Sementara, ancaman Karina, Prisha sama sekali tidak takut. Baginya, itu tidak penting. Mungkin Nenek Sarah benar. Gavin harus melepaskannya. Prisha tak tahan lagi menanggung persoalan sen
Prisha berlari ke jalan desa. Untuk mengakses bus kota menuju Jakarta, ia harus melintasi jalan desa sejauh 500 meter ke jalan raya besar. Beberapa orang kampung yang berpapasan dengannya, menyapa sekilas sambil menatap kasihan campur prihatin. Ada pula yang mencibir diam-diam dan mencemooh. Prisha tak menanggapi. Ia bergerak cepat sampai napasnya nyaris putus. Jalan desa itu sedikit berkelok. Beraspal, tapi berlubang di sana-sini. Perumahan penduduk cukup padat di kiri kanan jalan.Setibanya di muara jalan raya, mendadak ia melihat mobil yang sangat dikenalnya. Mobil bugatti divo metalic yang langka, terparkir di kiri jalan.Prisha terbelalak, dan segera memacu langkah mendekati mobil tersebut."Pak Dok!" Ia berseru tatkala mendapati sosok Gavin terbaring meringkuk di jok depan mobil.Gadis itu mengetuk-ngetuk kaca jendela sampai lelaki muda itu terbangun.Mata Gavin merah berair dan wajahnya seputih kapas. Bibirnya tampak kebiruan. Gerakannya saat beringsut duduk, lalu memutar kun
Sesampainya di rumah Nenek Sarah, Gavin patuh ketika diminta Prisha menelan obat antipiretik dan minum secangkir teh hangat. "Sejak datang ke sini, Anda belum makan. Maafkan saya, lalai memperhatikan." Prisha berkata, agak kaku. "Pasti sekarang kelaparan. Mau makan apa? Biar saya siapkan."Gavin menatap istrinya, tenang dan dalam."Dulu, saya pikir kamu hanya ingin memanfaatkan saya. Nyatanya kamu serius ingin menjalani pernikahan dan jadi istri yang baik. Baik, kalo gitu, saya nggak akan sungkan lagi. Saya mau tenderloin saus black pepper. Jangan pake nasi, cukup stik kentang. Minumnya jus apel tanpa susu dan air mineral."Prisha mengernyit dan menahan lidahnya supaya tidak berdecak kesal."Rumah ini bukan restoran, Mr. CEO. Harga seporsi tenderloin pun sangat mahal.""Tadi kamu yang nawarin. Saya terbiasa makanan barat. Yang saya sebutkan itu udah paling sederhana," sahut Gavin, polos. Prisha speechless. Kalau tenderloin itu sederhana, termasuk kategori apa nasi kuning, bubur aya
Beberapa jam kemudian.Terbangun di pelukan dokter idola, rasanya seperti mimpi. Prisha tidak langsung bangkit. Nanar matanya, mengagumi ketampanan cantik yang kini mudah sekali dijangkaunya. Pelan-pelan, Prisha kembali terpejam, meresapi kedamaian, kesejukan, dan rasa terlindungi, yang mengalir dari tubuh suaminya.Mungkin ini yang disebut sakinah. Batin Prisha. Tak perlu dialog berjam-jam atau ribuan kata hiburan. Begini saja sudah cukup menenangkan.Mendadak ia merasa Gavin menggeliat pelan. Lalu, kehangatan menyapu keningnya. Prisha tak bisa tidak membuka mata, sebab sentuhan itu membuat tubuhnya merinding.Ia mendapati wajah Gavin begitu dekat. Mata lelaki itu terbelalak, lalu mengerjap-ngerjap, salah tingkah. "Maaf, saya ketiduran, Dok." Prisha menikam gugup, dan pura-pura tidak merasa kalau keningnya baru saja tercuri kecupan."Badanmu berat." Gavin mendorong Prisha hingga terguling ke sisinya. "Ah, udah siang. Kayaknya bentar lagi Zuhur. Saya siapin air panas dulu, ya." Deng
Gavin diam, lalu mengusap air mata. "Apakah saya boleh mengetahui kabar yang membuat Anda sedih?" Prisha bertanya dengan hati-hati. "Saya hanya terbawa perasaan." Ekspresi Gavin kembali tenang. "Oh ya, saya lihat, luka di tanganmu udah mengering. Apa masih sakit?""Udah berkurang nyerinya.""Besok kita angkat jahitannya, ya."Prisha mengangguk."Dok, masalah di antara kita udah clear, kan? Apakah Bu Karina melenyapkan bukti?" tebak Prisha, to the point. Ketidaksenangan di hatinya, tercermin dari perubahan sebutan terhadap mertua perempuan, dari "mama" menjadi "bu".Gavin tidak terkejut atau marah. Ia memandang istrinya sejenak. "Mama memecat dokter forensik yang mengautopsi jenazah Nalini. Seluruh perawat dan dokter yang berjaga di ruangan tempat Nalini dirawat inap, dipindahtugaskan ke daerah, rumah sakit tipe B. Semua bukti dihapus, termasuk rekam medis ibumu. Info hasil autopsi ke nenekmu, hanya secara lisan. Kesaksiannya lemah."Prisha seketika menyadari kebenaran ucapan nenekn
Prisha menoleh ke arah suaminya. Paras Gavin terlihat tenang. Bibir lelaki itu seperti menahan senyum. Apakah Dokter Gavin senang menerima kedatangan Dokter Ariana?Prisha ingin membuang segala pikiran negatif. Namun, ucapan nenek tahu-tahu terngiang di benak. Terasa mengganggu. "Untuk apa lagi bertahan? Ibumu sudah meninggal."Rasa malu bercampur sedih membungkus hatinya. Meski mengerti tujuan pernikahan, harga dirinya menjerit. Kenyataan Gavin tidak mendukungnya menuntut Karina, semakin membuatnya kecewa. Kedatangan Ariana, juga membangkitkan kesadaran, betapa impulsif dirinya. Namun, bukan Prisha namanya jika menyerah begitu saja. Ia memutar otak. Senyum tipis terbit di bibirnya saat menemukan jalan.Prisha menggeser tubuh, menjauhi Gavin, tatkala calon menantu baru sang ibu mertua muncul di ruang tamu. Ruangan yang luas dan mewah, jadi terasa sempit dan buruk.Dokter Ariana seorang wanita matang dan dewasa. Pembawaannya tenang dan lembut, tapi matanya berkilat cerdas. Wajahnya
Prisha berkali-kali menguap saat memasuki rumah. Jam dinding klasik di ruang tamu mewah milik Gavin, telah menunjukkan angka sepuluh malam. Biasanya Prisha tahan begadang. Namun, hari itu terlalu melelahkan. Lahir batin. Ia terus melangkah menuju kamar pribadi. Lupa izin ke suami. Langsung menutup pintu dan menguncinya, sesuai kebiasaan. Usai berganti baju dengan babby doll, Prisha merebahkan tubuh sambil melafazkan hamdalah. Begitu mencium bantal, gadis itu langsung pulas.Sementara Gavin masuk ke kamarnya sendiri pula. Seperti biasa, ia mandi air hangat sebelum tidur. Saat merendam tubuh dengan nyaman di bath tube, kenangannya terlempar ke acara mandi siang tadi di rumah Nenek Sarah. Dokter merangkap CEO DIMS Hospital itu tersenyum sendiri. Lantas, ia menoleh ke sekeliling. Tak ada yang berubah di kamar mandinya. Segala sesuatu terletak pada tempatnya. Terasa wajar.Lelaki itu bangkit, berbilas, lalu memakai kimono handuk sebelum keluar kamar mandi. Setengah melamun, ia berganti b
Tadinya, Ariana kaget sekaligus malu. Namun, begitu mendengar pertanyaan Gavin, ia jadi ilfeel sekaligus merasa lucu. Akhirnya, gadis itu tertawa lirih dengan pipi bersemu. “Belum apa-apa udah di-warning ngasi jawaban yang nggak mengecewakan. Yaudah, aku, sih, terserah Papa dan Mama aja.”Danan dan Lidya saling menatap, lalu mengangguk serempak. Senyum lebar mereka mengembang. Bahagia. Diam-diam, mereka mencuri pandang ke arah Zed dan Diana, penuh rasa terima kasih. Lidya lantas memeluk putrinya, seraya mengungkapkan persetujuannya. Sementara Reno, wajahnya sontak berseri-seri, dipenuhi aura kelegaan dan kebahagiaan. Batinnya berbisik gemuruh. ‘Papa, aku telah memenuhi persyaratan darimu, meminang Ariana untuk Zakki. Aku berjanji akan menjauhkan diri dari Healthy Light dan mendorong Zakki menjadi pria yang lebih baik.’***“Aku baru tau, kalo kamu pemalu.” Ariana berdecak kesal di malam pengantin. Usai akad nikah dan resepsi besar-besaran yang diadakan Zed Devandra di mansion, ia d
“Roni, kamu lebih pantas jadi adikku. Aku menyukaimu sebagai kakak.” Ariana kembali tertawa ringan. Wajahnya secerah musim semi.Harapan Roni yang sudah melambung seperti balon terbang, mendadak kempes dan jatuh.“Ah, sayang sekali.” Diana menatap cucu bungsunya yang kekanak-kanakan itu dengan lembut. “Padahal tadinya Nenek mau menjodohkan Roni dengan Ari. Tapi Ari menganggap adik. Tenanglah. Nenek memiliki beberapa calon yang bisa kaupilih. Atau kau punya calon sendiri? Kalo calonmu baik, kami akan menyetujuinya.”Roni menggeleng. Wajahnya masam. “Cewek-cewek di luar sana, hanya memandang status dan hartaku saja. Aku nggak kenal cewek lain sebaik Prisha atau Kak Ari. Aku pasrah aja ama pilihan Nenek.”Diana bertepuk tangan. “Bagus!”“Gimana denganmu, Zakki?” Pertanyaan Zed beralih ke Zakki.Yang ditanya hanya membisu. Gavin sebal sekali. Ditepuknya bahu Zakki cukup keras. “Apalagi yang kau tunggu?” Reno menarik napas panjang menyaksikan sikap diam putranya. Tentu ia mengerti kenap
“Sepulang dari berhaji, kami ingin lebih fokus beribadah. Usia aku dan nenek kalian semakin senja. Banyak hal yang kami sesali. Kini waktunya untuk memperbaiki segalanya. Kami tak ingin masalah orang tua kalian terulang pada kalian, para cucu.” Zed menyampaikan rangkaian nasihat kepada cucu-cucu lelakinya. Pada intinya, ia tak ingin mereka manja dan membuat masalah seperti dulu. Zed berharap mereka semakin matang dan lebih memperhatikan keluarga. Tak lupa ia menyemangati empat cucu lelakinya agar menyusul hijrah.“Aku bersyukur memiliki cucu menantu sebaik Prisha. Bersamanya, Gavin jadi lebih lunak dan penurut.” Diana menyampaikan isi hatinya setelah Zed menuntaskan wejangannya. Gavin menekan ketidakpuasan di hatinya ketika mendengar kalimat “lebih lunak dan penurut”. Apakah nenek dulu menganggapnya keras dan liar serupa hewan buas? Betapa berlebihan. “Bukan Sha yang mengubah Pak Dokter, Nek. Dia berubah karena keinginannya sendiri,” sahut Prisha, rendah hati. “Seiring kebersamaan
“Kalo baik-baik saja, kenapa Kakak harus susah payah mencegahku? Kakak nggak mau Dokter Salman tersakiti, kan? Kakak masih ingin menjaga perasaannya ....”“Aku tidak peduli perasaannya!” Ariana setengah berteriak. Beberapa kerabat sontak menoleh ke arahnya.Tiba-tiba Sean dan Roni datang dan bergabung ke meja Zakki. “Perasaan siapa, Kak?” tanya Roni, polos. “Kenapa kalian datang ke sini?” bentak Ariana. Mendadak ia dongkol dan uring-uringan tidak jelas. “Aku mau ngobrol serius dengan Zakki!” “Kak Ari, mumpung ada Kak Zakki di sini, aku juga perlu bicara serius denganmu.” Roni memperlihatkan ekspresi seperti awan mendung yang siap menurunkan hujan.“Betul.” Sean mengangguk kuat. “Roni siap jadi lelaki dewasa. Sesuai arahan Kak Zakki. Biar Kak Zakki jadi saksi.”Zakki menatap kedua adik sepupunya itu sambil tersenyum masam.Roni mengepal tinju, menguatkan tekad. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membusungkan dadanya. “Kak Ariana, izinkan aku meminangmu. Maaf jika terkesan tiba-tiba
Suasana hati Zakki memburuk drastis tatkala menyaksikan Ariana dikelilingi para sepupu lelakinya. Tadinya ia ingin mendekati Ariana untuk menanyakan apa yang ingin dibahas Ariana dalam chat-nya. Namun, gadis itu sepertinya lupa. Ariana malah kelihatan asyik mengobrol dengan empat sepupu gantengnya.Zakki memutuskan melemparkan masalah itu ke belakang kepala. Toh, yang punya kepentingan adalah Ariana, bukan dirinya.Bukannya kesal, Zakki malah sedikit berterima kasih dalam hati ketika Gavin menyuruhnya memperbaiki laporan analisis keuangan dengan kata “segera”. Dalam situasi normal, ia akan tersinggung berat, sebab disuruh mengecek laporan di luar jam kerja. Parahnya lagi, dalam acara keluarga. Gavin sungguh keterlaluan. Namun, Zakki kali ini mengabaikannya agar pikirannya teralihkan dari pemandangan yang tidak menyenangkan.Sayang sekali, meski berusaha keras meneliti laporan, tetap saja ia gagal fokus. Ia tidak ingin mencuri-curi pandang ke arah gadis berkerudung pink yang sedang ter
“Ariana, mundurlah ... Jangan ikut campur,” desis Danu pada putrinya.“Tidak, Papa. Mereka berlebihan. Apakah mereka lupa kalau Om Reno adalah putra Kakek Zed? Dan Zakki adalah cucu langsung beliau? Mereka betul-betul tidak memandang muka Kakek Zed dan Nenek Diana!” Ariana berkata dengan nada mencela.Seluruh kerabat terperangah, sebelum memasang ekspresi marah dan merasa terhina.“Cukup!” Tiba-tiba Kakek Zed berseru, mencegah perdebatan meruncing. “Ariana benar. Aku dan istriku memang pernah marah pada putra-putra kami. Namun, mereka telah mendapatkan hukuman masing-masing. Anak-anakku sudah menyadari kesalahan dan menyesalinya. Kami menerima permohonan maaf mereka. Jadi, sejelek-jeleknya, tolong hentikan semua komentar miring itu. Mereka adalah putra-putraku. Yang tetap mewarisi hartaku, meski tak berhak lagi menjalankan bisnis keluarga.Acara makan malam hari ini, sebenarnya bertujuan untuk bersilaturrahmi dan memulihkan kembali hubungan kekeluargaan yang retak. Danu dan Reno sudah
Meskipun demikian, sifat kejam dan pendendamnya tidak mudah hilang begitu saja. Mantan istri dan kedua putrinya, bukan hanya meninggalkannya di saat terpuruk, tapi juga ikut melempari batu saat ia jatuh ke lubang kesengsaraan. Lebih parah lagi, baru empat bulan bercerai, Rani menikah lagi. Usut punya usut, sang istri sudah lama berselingkuh. Reno paham, dirinya jarang memperhatikan keluarga. Ia bukan orang baik. Tapi setidaknya, Rani, Anjani, dan Anggraini menikmati kemewahan nyaris tanpa batas saat Reno masih jaya-jayanya. Reno tak pernah menelantarkan mereka. Rani dan dua putrinya—kalaupun tak sudi balas budi—paling tidak jangan ikut menginjaknya. Tak dinyana, mereka kejam. Dan saat itu, saat situasi berbalik, dua putrinya ingin memanjat lagi. Melihat ekspresi murka Reno, Zakki khawatir Reno drop lagi. Kondisi fisik sang papa pascatransplantasi hepar belum stabil. Akhirnya ia bangkit, lalu menarik kedua adiknya menjauh.“Enyah!” perintahnya, dingin. Tatapannya tajam.“Kakak—“ Anj
Waktu berlalu dengan cepat. Hari sabtu pun tiba.Mansion Zed Devandra malam itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Belasan pelayan hilir mudik mengantarkan hidangan dan menatanya di meja-meja bundar yang tersusun di ruangan luas. Terakhir mansion Zed Devandra meriah adalah saat perayaan akbar akikah cucu buyut pertama Devandra, enam bulan yang lalu. Setelah berbulan-bulan agak sepi, bangunan besar itu kembali semarak. Zed mengundang seluruh keluarga besarnya ke acara makan malam tersebut. Tujuannya dalam rangka syukuran atas sembuhnya Reno. Diam-diam, tetua keluarga itu juga menyiapkan kejutan lain.Keluarga besan juga datang beserta putra-putri masing-masing. Tentu saja mereka tak akan melewatkan kesempatan berhadir di forum eksklusif tersebut. Jarang-jarang Zed Devandra mengadakan acara makan bersama keluarga besar yang melibatkan besan, di luar momen hari besar seperti hari raya. Acara tersebut bakal mereka manfaatkan untuk menjalin hubungan lebih dekat yang berpengaruh pada ke
Terlepas dari perbuatan jeleknya di masa lalu, Gavin agak kasihan pada Zakki. Tapi ia juga tak berdaya mengendalikan kakek neneknya yang pilih kasih. Tekanan keluarga Atmaja pada Zakki juga lebih karena merasa malu melihat Zakki tak bisa dibanggakan di tengah keluarga Devandra.“Adik saya sudah berubah,” kata Gavin, berusaha meredakan kejengkelan Robi. Nada suaranya tenang. “Dia jenius bisnis yang bakal diproyeksikan sebagai pengganti saya.”Kilat keterkejutan yang tajam melintas di mata Zakki. Ia memandang kakak sepupunya dengan sorot tak percaya. Tapi dengan cepat ia berpikir, Gavin pasti hanya ingin menjaga harga dirinya, mengingat mereka kini “bersekutu”. Dua detik berikutnya, tatapannya kembali jatuh ke gelas bening berisi air mineral. Ekspresinya kembali datar.Robi Atmaja tercengang. Lalu, suara tawanya berkumandang. Mengandung ejekan. “Pecundang ini? Jadi pengganti CEO Healthy Light? Apa kalian meremehkan pengkhianatannya? Anak ini sudah mencoreng nama baik dua keluarga!”“Pa