Prisha melonggarkan pelukan. Seketika jengah, menyadari sikap impulsifnya. Pipinya yang sudah merona, saat itu semakin memerah serupa tomat matang. "Saya punya resep kecantikan leluhur dari bahan herbal. Tubuh jadi lebih sehat dan singset. Bersih dan wangi juga. Sampai ke bagian privasi. Pak Dok boleh ngecek, kok," ungkapnya, sambil menahan malu campur waswas.Gavin terbatuk canggung. Matanya sampai berkedip-kedip gugup mirip orang kelilipan. Memalukan! Aku tadi ngomong apa?"Em, saya nggak nyangka kamu juga perhatian soal perawatan diri. Saya kira, kamu cuma lulusan pondok yang lebih konsen ama buku dan ibadah. Abaikan kata-kata saya tadi. Jangan mikir macam-macam. Saya cuma pengen tau, apakah selain mengharumkan keringat, resep leluhurmu bisa mengharumkan bagian yang lain juga.""Anda boleh membuktikan sendiri.""Don't flirting with me. Saya cuma salah ngomong."Prisha kehabisan kata-kata menghadapi lelaki dengan gengsi di atas angin itu. Akhirnya ia kembali ke ranjang emergensi.
"Kita nggak jenguk Papa Tibra dulu ICCU?" tanya Prisha saat mengiringi Gavin di koridor rumah sakit.Yang ditanya, tidak merespon. Tatapan Gavin lurus ke depan. Ekspresinya datar seperti biasa. "Saya nanya ke rekan koas yang dinas di ICCU. Kabarnya Papa udah sadar," lanjut Prisha.Gavin tetap membisu. Wajahnya semendung langit musim hujan. Sapaan rekan sejawat dan paramedis yang berpapasan dengannya, diabaikan. Prisha menghela napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Membendung aliran kekecewaan yang menyusupi hatinya. Ia merasa tak seharusnya Gavin mengabaikan papanya. Prisha sendiri ingin sekali mendatangi Mami Nalini di kantor polisi, sekaligus menjemput Nenek Sarah. Setibanya di mobil, Gavin duduk di sisi Alif, sopirnya. Pria itu langsung mengatur jok mobil ke posisi miring, lalu rebahan dan memejamkan mata. Sementara Prisha termangu sejenak di luar sisi mobil bagian tengah.Alif turun, lantas memutari mobil dan membukakan pintu untuk Prisha. Namun, gadis itu menggeleng."Pa
Gavin melayangkan tatapan ke langit malam yang terlihat begitu gelap, segelap hatinya. Tak tampak barisan bintang atau setitik pun kilau. Hari itu pertengahan bulan, seharusnya ada purnama yang bertahta di langit. Namun, malam itu tiada.Kemanakah perginya seluruh cahaya? Mengapa semesta seakan-akan bersekongkol memboikot penerangan dari hatinya?Perasaan Gavin berkecamuk. Tidak tahu apakah harus senang ataukah kesal mendengar papanya telah sadar. Ia juga tak kuasa menentukan sikap, ketika mendapatkan info menyedihkan tentang Nalini yang harus diungsikan ke IGD rumah sakit jiwa untuk penanganan kegawatdaruratan psikiatrik. Wanita itu mengamuk dan nyaris melukai diri sendiri.Rasa kasihan, sedih, kecewa, kesal, frustrasi, dan benci bercampur aduk dalam hatinya. Yang paling dominan adalah rasa terpukul dan menyalahkan diri sendiri.Cinta telah membuatnya jadi orang bodoh. Gavin menyesal sudah jatuh cinta, padahal pernah berjanji pada diri sendiri untuk menghindari rasa itu. Sebab, ia ta
"Apa yang Anda takutkan?" Mata kehijauan Prisha membulat. "Anda laki-laki. Harusnya saya yang khawatir. Perempuan kadang-kadang jadi pihak lemah dan tersakiti. Risikonya setelah hamil, ada kemungkinan dicerai, atau dimadu secara tidak adil. Tapi saya bukan perempuan seperti itu.""Kamu memang bukan perempuan lemah. Terlalu berani malah. Penuh strategi. Ada sisi licikmu yang membuat saya harus waspada. Semua bagian dirimu, mengandung banyak jebakan. Termasuk wangi tubuhmu ...." Kalimat terakhir diucapkan Gavin di luar sadar, sebab jaraknya dengan Prisha tak sampai lima jari hingga aroma rempah manis mengudara, menguasai pernapasannya.Prisha tertegun. Kemampuan bicara dan negosiasinya mendadak macet.Gavin sedikit mendekat untuk menghidu wangi Prisha lebih intens. Keharuman lembut gadis itu bagai aromaterapi yang memberikan rasa nyaman, tenang, damai, dan sedikit memabukkan. Kekalutan pikirannya seketika teralihkan bagai kabut gelap terusir angin."Kamu pernah bilang cinta ke saya. Isi
"Kamu nangis?" Gavin seketika terserang rasa bersalah saat melihat kilau tercipta dari pantulan cahaya lampu tidur di mata Prisha. "Gara-gara kata-kata saya? Atau jangan-jangan ...." Pria itu menahan kalimat. Takut terhadap dugaannya sendiri.Prisha diam, menatap suaminya. Air matanya masih terus menetes, membasahi pipi. "Maafkan saya yang impulsif," lirih gadis itu. Oksigen terasa menipis di sekitar Gavin. Untuk sesaat, ia berat menarik napas. Pelan-pelan, mata pria muda itu memerah."Kamu kenapa?"Prisha memejamkan mata, lalu berbalik memunggungi suaminya. Gavin menyugar rambut. Lidahnya ingin sekali menguntai kata, mengurai rasa. Berharap mampu membujuk atau menghibur. Saat berhadapan dengan Nalini, ia mampu mengungkapkan segala isi hati, lancar tanpa beban. Namun, di depan Prisha, semua kata dan sikap terasa salah, ambigu, dan kacau balau. Berbincang dengan Nalini, ia selalu lupa waktu. Pembicaraan mengalir tanpa arti. Bersama Prisha, tiap detik terasa berharga ribuan jam, sa
Rinai jatuh, mewarnai prosesi pemakaman Nalini. Tak banyak orang kampung yang datang melayat. Sebagian wanita kampung bersyukur, akhirnya hilang ancaman penggoda suami-suami mereka. Sebagian nyinyir, menganggap Nalini meninggal mendadak karena hukuman dari Tuhan. Hanya sebagian yang netral dan justru kasihan menyaksikan akhir hidup Nalini yang tragis.Sebagian kecil orang masih sudi melayat, hanya karena menghormati Nenek Sarah sebagai salah satu warga tertua di kampung. Prisha sedih sekali. Saat-saat terakhir ibunya, ia tak ada. Pilu hatinya memikirkan ibunya pergi tanpa iringan ayat suci Al-Qur'an. Sempatkah ibunya bertobat, mohon ampun kepada Allah? Adakah setitik sesal di hati ibu di saat terakhirnya? Bernapas bagi Prisha jadi terasa berat, terhalang tangis. Di saat ibunya menderita, ia justru berada dalam dekapan suami. Beribu-ribu andai yang berpusar-pusar di benak, turut memperparah tekanan batinnya.Andai ia tak dilarang Gavin menemani ibunya, mungkin jiwa ibu masih bisa dis
Dalam situasi biasa, Prisha bakal gugup setengah mati mendengar tawaran berbahaya tersebut. Namun, gadis itu masih di fase berduka. Tangisnya pun belum sepenuhnya reda. Reaksinya hanya diam. Wajahnya sedikit tengadah, menatap Gavin dengan aneh."Kita belum sedekat itu." Prisha mendorong suaminya perlahan, lalu pergi tanpa mempedulikan dampak kata-kata dan sikapnya.Gavin membeku. Tak mengira kalau Prisha akan secuek itu. Jiwanya serasa dibenamkan ke Selat Sunda. Rasa malu menggigit hatinya.Dengan susah payah, sembari mengeraskan rahang, pria itu menimba air pelan-pelan, meniru gerakan Prisha. Mengisi bak sampai penuh. Hawa dingin tengah malam menyergap saat ia membuka pakaian. Gavin menyentuh air. Sengatan dingin membuatnya bergidik. Sebagai pemuja kebersihan, Gavin mengharuskan dirinya mandi, minimal 3 kali sehari. Pagi, siang, sore. Hari ini, ia hanya sempat mandi pagi. Padahal, Gavin pantang melewatkan jadwal membersihkan tubuh.Mau tidak mau, sedingin apa pun, ia harus mandi.
Dini hari itu, Prisha menangis sendirian sampai kepalanya pusing. Sebakda Subuh, air matanya tak berhenti mengalir. Tetes-tetes bening jatuh dari matanya membasahi halaman mushaf Al-Qur'an yang dibacanya lirih.Prisha menyentuh dadanya yang sesak terhimpit dilema. Setelah tahu penyebab kematian ibunya, bagaimana mungkin ia kembali ke tengah keluarga Devandra? Sanggupkah ia memanggil "mama" pada mertua yang telah membunuh ibunya? Kuatkah ia menuntut Karina, dengan risiko mematahkan hubungannya dengan Gavin?Lebih jauh lagi, mampukah ia memandang Gavin sebagai suami, sedangkan ibunya pernah tersiksa sampai akhir hidup gara-gara merindukan lelaki itu? Terlebih sejak awal nikah, Gavin telah menegaskan perasaan, yang sukar dilupakan Prisha hingga detik ini."Aku membencimu, sebesar aku mencintai ibumu."Sementara, ancaman Karina, Prisha sama sekali tidak takut. Baginya, itu tidak penting. Mungkin Nenek Sarah benar. Gavin harus melepaskannya. Prisha tak tahan lagi menanggung persoalan sen