Siangnya, satu jam sebelum Zuhur, Gavin tiba di rumah usai meeting di kantor manajemen rumah sakit. Ia memang selalu berusaha makan siang di rumah sekalian mandi, sebelum berangkat lagi untuk memenuhi jadwal operasi. Pria itu sangat mengutamakan kebersihan tubuh setiap berganti aktivitas. Sesuai kebiasaan, sebelum mandi, Gavin akan rehat sejenak di ruang baca yang sejuk. Memanjakan tubuh sebentar di sofa berukir seribu bunga, sambil menonton medikal channel demi update informasi kesehatan dan teknologi medis terbaru. Hari itu, sekujur tubuhnya dilanda keletihan serta sangat mengantuk karena tidak tidur semalaman. Jadwal operasi sore sampai malam ia batalkan karena khawatir tidak fokus gara-gara mengantuk. Ia sangat mendambakan sofa empuknya di ruang baca.Alangkah kagetnya pria muda itu kala menemukan seorang gadis cantik tertidur pulas di sofa favoritnya. Tubuh gadis itu setengah meringkuk dan dahinya berkerut, seperti menyimpan mimpi buruk. Sementara televisi menyala, dengan suar
Marah, benci, campur geregetan. Itu yang dirasakan Gavin sekarang. Sejak pertama kali berjumpa di rumah Nalini hingga detik itu, Prisha selalu membantahnya. Kelancangan tersebut harus dibayar mahal. Masa bodoh dengan perasaannya. Menghukum Prisha lebih penting. Bayangan Nalini yang dipujanya mati-matian, mendadak bermain-main di benaknya. Ia pantang menyentuh Nalini, demi menjaga kemurnian cinta dan memuliakan wanita itu. Tak sudi dirinya disamakan dengan lelaki lain yang hanya mendamba tubuh Nalini. Walau sebesar apa pun api yang membakarnya. Namun, Prisha miliknya, meski ia membenci kenyataan itu. Lebih benci lagi ketika gadis itu menantangnya. Gavin memutuskan melanggar prinsipnya. Ralat, bukan melanggar. Bukankah Prisha istrinya? Ia bebas memanfaatkan Prisha demi meredam panas api yang berkobar gara-gara merindukan Nalini. Wewangian samar sweet floral, perpaduan aroma rempah dan bunga-bunga, merasuki penciuman pria itu kala memangkas jaraknya dengan Prisha. Sang dara tersenta
Usai mendaras Al-Qur'an sebakda Ashar, pikiran Prisha lebih jernih. Ia duduk di kasur favorit buatan neneknya yang sudah menipis dan agak keras. Kasur berlapis seprai motif hello kitty itu terhampar di tengah lantai yang cukup luas.Prisha mendecih pelan, teringat betapa protektif Gavin menjaga sofa di ruang baca. Ternyata, ia dan Gavin sama-sama memiliki barang favorit. Rebahan di kasur buatan nenek, selalu memberinya rasa damai dan terkenang suasana rumah di kampung. Dengan sedih, ia mengamati buku-buku kedokteran yang tersusun rapi di rak bukunya yang jadi satu dengan meja belajar. Entah kapan ia bisa praktik lagi? Gavin betul-betul kejam. Izin magangnya dibekukan tanpa batas waktu. Selama menanti, Prisha yang terbiasa sibuk, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Tak terbayang besarnya rasa bosan jika hari demi hari hanya duduk berpangku tangan di rumah.Prisha bermaksud menelepon sahabatnya di kos, tapi batal kala teringat ponselnya sudah terbuang. Solusinya, mau tak mau, beli pons
Gavin terdiam. Disesapnya lagi espresso yang mulai dingin."Kayaknya, ada beberapa poin yang kudu diperjelas dulu sebelum elo ngambil langkah ke depan. Pertama, soal Nalini nolongin elo." Reza menatap serius. "Elo percaya begitu aja kalo dia yang nolong elo? Bukannya saksi mata banyak?"Gavin masih membisu. Dahinya berkerut, memeras ingatan setahun silam. Pascaoperasi bedah otak untuk menyingkirkan gumpalan darah beku dari selaput otaknya, Gavin dinyatakan amnesia retrogad. Ia tak mampu mengingat kejadian sebelum kecelakaan. Namun, kadang-kadang, sekelebatan bayangan samar penolongnya muncul dalam bentuk mimpi. Selama ini, Gavin mengabaikannya. Sekarang, ingatan akan mimpi-mimpi itu memaksanya berpikir."Kenapa lo nanya gitu?""Aneh aja. Gue inget, dalam rekam medis lo, tercatat kalo lo ditemukan ngalamin henti jantung beberapa kali. Berkat RJP sebelum di bawa ke rs, nyawa lo berhasil diselamatkan. Pertanyaannya, apakah Nalini mampu melakukan RJP?""Dia ngaku bisa, diajarin Prisha." G
Prisha mendelik gusar. "Saran apa itu? Menyesatkan!" serunya dongkol. "Gue ogah nerima tips dari jomlo yang minus pengalaman nikah!""Ish ish, trik itu gue dapet dari novel-novel digital. Dua cara jitu menarik hati suami, pertama lewat perutnya. Masakkin yang enak-enak, trus telaten nyiapin makannya. Kedua, lewat itunya. Lingerie tak pernah gagal. Setidaknya, itu yang gue baca," ungkap Keyko, sok tahu. Urat geli Prisha tergelitik. Ia nyaris terbahak. "Sumbermu fiksi semua." "Cerita fiksi itu mewakili realitas." Keyko tampak mengedikkan bahu di depan layar ponsel."Gue jadi ragu, lo lulus murni apa nggak waktu ujian skripsi." Keyko berdecak jengkel. "Nggak ada hubungannya." "Tentu saja. Ngeliat sumber saran lo, siapa pun nggak bakal percaya kalo elo udah wisuda sarjana kedokteran.""Astaga, mulut elo udah nyaingin Lambe Rubah, biang julid di tweeter.""Udah cukup omong kosong ini!" Prisha jadi kesal. "Gue masih punya harga diri! Nggak bisa disamain ama Mami gue! Gue bukan kucing g
Prisha mengeringkan air mata dengan tisu. Kepalanya sedikit pening. Perut pun semakin perih dan berkeriuk akibat peristaltik usus yang minta diisi. Ia harus makan. Menghadapi kenyataan pahit butuh energi.Gadis itu pun beranjak keluar sambil berharap tak berjumpa manusia salju. Harapannya sia-sia. Tak dinyana, Gavin malah sudah duduk di depan meja dalam ruang makan dekat dapur. Langkah Prisha tertunda. Pemuda itu tampak menghadapi hidangan makan malam sambil menempelkan ponsel di telinga kanan. Agaknya sibuk menyimak telepon dari seseorang. Kening halusnya berkerut. Sepasang mata abu-abu terlihat lebih dark. Ekspresinya dingin, mengandung kemarahan tertahan.Prisha merutuk dalam hati. Kenapa pria itu malah di dapur, tidak duduk di ruang makan saja? Prisha terpaksa menggagalkan niatnya memasak makan malam untuk diri sendiri. Menekan lapar, gadis itu berbalik. Akan tetapi, ingatan akan percakapan dengan ibunya barusan, tiba-tiba terlintas di benak. Prisha jadi memikirkan rencana baru
Gavin sebenarnya tidak serius mengajukan permintaan itu. Ia hanya ingin menindas Prisha yang dianggapnya berpura-pura. Walau jarang berinteraksi, Gavin cukup mengenal karakter gadis itu. Nalini juga sering bercerita kalau putrinya alim dan tak pernah punya pacar. Prisha tak pernah disentuh pria. Dalam hal ini, Gavin merasa ada kesamaan antara dirinya dan Prisha. Untouchable.Gavin paham, bagi seorang yang sangat menjaga interaksi, sekamar dengan lawan jenis, apalagi jika tak disukai, pasti cukup menakutkan. Sebagai dokter plus mantan dosen yang sering menghadapi beragam perilaku pasien dan mahasiswa, Gavin bisa menduga, Prisha hanya lips-service. Tak mungkin gadis itu berani sekamar dengannya.Senyum kemenangan mengembang di wajahnya saat menyaksikan Prisha salah tingkah dan tak kuasa mengangkat muka. Gavin melenggang ke kamar dengan kepuasan seperti anak-anak yang berhasil mengusili temannya.Dalam kamar yang merangkap jadi ruang kerja, dokter yang terpaksa merangkap jadi CEO itu, la
"Apakah saya tidak boleh mengartikannya lebih?" Prisha menindas rasa malunya. "Jangan mimpi!""Aduh!" pekik sang dara tiba-tiba, sambil menyentuh dada dengan sepasang tangan.Gavin spontan menoleh. "Kenapa?" Refleks pemuda itu turun dari bangku saat Prisha terduduk di lantai sambil meringis seperti orang kena serangan jantung.Sebenci-bencinya, Prisha adalah putri dari wanita yang dicintainya. Setitik perhatian sebagai calon ayah, masih ia miliki. Terlebih lagi, Gavin seorang dokter yang tak biasa membiarkan orang menderita tanpa pertolongan."Jantung saya, Dok ...." "Kenapa jantungnya?"Prisha menengadah hingga paras jelitanya sempurna berhadapan dengan wajah elok sang dokter."Jantung saya nyeri saking kuatnya berdebar. Palpitasi. Semoga bukan aritmia ...."Gavin terkesima. Jantungnya kembali berdegup aneh menyaksikan wajah kemerahan dan rekahan bibir Prisha yang mirip kelopak bunga mekar saat berbicara. Ia menggali file memori bersama Nalini. Nalini seorang wanita dengan daya ta