Aku menangis di dalam pesawat. Tidak mengira akan menjadi begini. Di sebelahku seorang wanita. Dia tidak bertanya mungkin orang kaya. Mana mau bertanya dan ramah dengan wanita sepertiku. Hanya seorang pembantu. Ingin merutuki nasibku. Sejak kecil aku sangat rajin belajar dan disiplin berharap akan menjadi seorang yang sukses. Tapi teori itu tidak berlaku untukku. Mungkin karena tidak ada biaya sehingga aku tidak bisa melanjutkkan kuliah ke perguruan tinggi.Jalan yang ku tempuh juga salah yaitu menikah dan tergila-gila dengan Mas Dani. Hingga mempunyai dua anak. Orang pasti menyangka aku ini wanita dan gadis yang bisa saja dibodohi. Padahal waktu sekolah aku sangat pandai namun kalah dengan pesona seorang laki-laki.Seorang pramugari sudah berdiri di depan untuk memberikan instruksi tentang tata cara penyelamatan selama berada di dalam pesawat. Setelah semuanya siap. pesawat yang kutumpangi kemudian tinggal landas menembus pekatnya negara itu. Harus menempuh perjalanan satu jam sampai
"Dek MInah, aku mau pinjam uangmu, boleh?" tanya Mbak Ningsih.Aku berhenti memasukkan nasi ke dalam mulut. Ya Allah, kenapa ketika aku baru mempunyai uang sedikit saja. Ada saja orang yang bilang mau pinjam uang. Padahal kalau aku sedang susah tidak ada yang datang untuk mendekat. Kali ini aku menolaknya. Dengan alasan uangnya sudah aku berikan pada anaku dan biaya untuk pulang kampung nanti."Maaf Mbak Ningsih, aku tidak punya uang banyak. Ini sisa gajiku untuk beli susu Zaki dan nmengontrak rumah nantinya. Serta membayar semua hutang Bibi yang merawat Zaki. Katanya hutang di warung banyak," tolakku. Walaupun aku melihat wajah Mbak Ningsih langsung berubah ketika aku tidak memberikan pinjaman pada Mbak Ningsih."Oh ya sudah kalau begitu," ujar wanita itu langsung pergi.Mas Nono datang dan memandang istrinya dengan pandangan yang aneh. Dia ikut sarapan denganku lalu menanyakan apa yang terjadi."Ada apa dengan mbakyumu, Minah. Kok langsung masuk kamar dengan membanting pintu?" tanya
Sepanjang perjalanan menuju kota R itu, aku dan pemuda yang duduk di sebelahku banyak bercerita tentang banyak hal. Ternyata dia juga sangat kecewa kekasihnya yang begitu saja meninggalkan dia dan menikah dengan orang lain yang lebih kaya. Memang di dunia ini masih diukur dengan uang. Apa saja harus mempunyai uang. Itulah alasan kenapa aku bekerja di luar negeri. Ketika banyak yang bicara dan menghinaku karena sudah punya suami dan anak masih saja bekerja. Pasti tidak bersyukur dengan penghasilan suami. Ingin mempunyai seperti yang lainnya. Aku tidak pernah terbersit sedikitpun untuk tidak bersyukur dengan penghasilan suamiku, namun ini memang masih kurang. Dia hanya memberikan jatah tidak tentu malah lebih sering kurang. Ini anak-anak masih kecil. Bagaimana kalau anak-anak nanti sudah sekolah dan membutuhkan dana lebih banyak? Tentu aku yang harus pontang panting mencari biaya itu. Mas Dani tidak pernah ambil pusing dan menganggap semuanya santai. Pernah aku meminta uang untuk belanj
Dari mana Mas Dani tahu nomer baruku. Padahal tidak ada yang tahu selain Mas Nono. Apa dia meminta Mas Nono.(Hei, istri durhaka. Dulu kamu pergi kerja atas izinku sekarang kamu pulang pura-pura lupa dan tidak mau kenal aku lagi. Pria mana yang telah mmenghasutmu hingga kamu bisa berbuat seperti itu?) pesan Mas Dani.Akhirnya nomernya aku blokir. Tidak mau berurusan dengan dia lagi. Pria yang tidak mau tanggung jawab. Bisanya hanya meminta uang saja.Ingin pergi jauh dari orang parasit macam dia.Aku mencari kyai untuk memberikan air agar Zaki mau aku bawa pulang. Sementara bulek masih saja menangis ingin mempertahankan Zaki di sana. Setelah semuanya beres, aku membawa Zaki pulang. Sementara aku kembali akan mengontrak di tempat yang dulu sambil mencari kesempatan untuk mengambil Arsyad. Tekadku sudah bulat untuk mengajukan gugat cerai pada Mas Dani.Paginya aku membawa Zaki kembali ke kotaku. Walaupun dia menangis tapi aku berusaha untuk kuat. Teringat akan Mas Riski apakah dia jadi
Aku merasa sangat muak dan ingin muntah dengan diriku sendiri. Bagaimana tidak. Kebencianu pada Mas Dani luntur begitu melihat senyum manisnya. Aku tidak berdaya melihat wajah ganteng dan tubuh yang gagah di depanku. Tanpa daya aku melayani hasrat suamiku yang lama terpendam. Padahal jela-jelas aku sangat membencinya dan ingin pisah dengannya. Apa yang terjadi denganku.Malam itu aku malah lebih beringas dari sebelumnya setelah Mas Dani memberikan jamu untukku. Entah jamu apa. Tapi badanku ini mendadak sangat panas dan bergairah. Bahkan kami melakukan hubungan tidak hanya sekali.Seperti biasa, setelah meminta jatah dariku, pagi sebelum subuh Mas Dani sudah tidak ada di kamar Mbak Desi, entah dia pergi kemana. Ingin aku merutuk diriku sendiri. Karena aku juga kehilangan uangku hampir satu juta lebih. Wanita macam apa aku ini. Bisa saja dibodohi dengan pria macam dia.Mbak Desi sudah bersikap manis denganku. Kini dua anaku sudah kumpul semua. Aku bertekad untuk meninggalkan rumah Mbak
"Kamu sudah ada persediaan untuk makan besok, Minah?" tanya Mas Nono sangat khawatir ketika akan pulang."Sudah Mas. Oh ya tolong bantu saya untuk lapor pada Rt kalau saya mengontrak di sini," ujarku.Aku membetulkan bantal tipis untuk tidur kedua anakku. Ya, aku belum membeli bantal untuk mereka berdua. Nanti minta tolong sama MAs Nono untuk pesan bantal dan kasur. Ucapan Mas Nono mendadak menjadi pikiran. Hubungan sekali di malam itu apa mungkin aku langsung hamil. Lalu, bagaimana seandainya aku langsung hamil. Apa aku akan kembali pada Mas Dani? Ah tidak. Aku tidak mau kejadian ini terulang lagi. Marah dan kembali begitu seterusnya tidak ada habisnya.Mas Nono mengambil KTPku untuk melaporkannya pada Pak RT setempat. Juga surat nikah yang aku punya. Surat nikah yang tinggal satu karena satunya aku sobek-sobek saat tahu kalau Mas Dani kembali pada Tini. Ingat aku belum membuatkan anak-anak akte kelahiran. Sebelum bercerai aku juga ingin membaut surat kelahiran untuk anak-anaku. Biar
B.Sore harinya Mas Nono datang. Dia membawa sepeda motor untuk menjemputku dan anak-anak. Kalau diantar Mas Nono, aku juga tidak tinggal diam. Pasti aku juga akan memberikan sesuatu untuk Mas Nono. Atau sedikit uang agar dia bisa beli rokok atau untuk membeli bensin.Aku dan kedua anaku sudah siap untuk pergi ke swalayan terdekat."Minah, tadi Mbakyumu Ningsih suruh belikan makanan dan buah. Dia nanya aku pergi ke mana," ucap Mas Nono ketika kami sudah jalan menuju swalayan yang terdekat dengan komplek perumahan itu."Iya Mas, Nanti aku beli makanan dan buah untuk Mbak Ningsih," ujarku akhirnya.Aku dan anak-anak menikmati sore itu dengan membeli mainan dan makanan serta bahan sembako. Sekitar pukul delapan malam kami pulang. Terlihat wajah yang bahagia dari Arsyad dan Zaki karena sudah mendapatkan mainan yang mereka inginkan. Arsyad bahkan melupakan ayahnya. Dia sudah tidak menanyakan pria itu lagi. Sampai rumah aku memberikan buah dan makanan untuk oleh-oleh Mbakyu Ningsih.Dengan
Pria tampan itu hanya diam dan terlihat pasrah ketika supir mengangkat tubuhnya di ranjang yang biasa aku gunakan untuk memijit semua pasienku. Selama ini aku memang tidak melayani pasien laki-laki sesuai dengan prinsipku, Hanya wanita dan anak kecil. Itupun aku hanya menolong kerok dan pijit capek saja. Tidak berani dan menolak kalau ada yang datang dengan keluhan kesleo. Takut terjadi apa-apa dan bertambah parah.Karena wanita itu sudah jauh-jauh datang dari Jakarta dengan membawa dia, terpaksa aku juga akan melakukan terapi. Sebelumnya aku sudah bilang dengan wanita tua itu."Maaf Nyonya, saya ini bukan tukang terapi untuk kaki yang lumpuh tapi saya hanya bisa dan menolong untuk kerok dan pijit capek saja. Juga saya sebenarnya tidak melayani pasien laki-laki takut timbul fitnah," ujarku dengan sopan.Wanita itu berjalan dan mendekatiku. Dengan lembut dia memegang tanganku seolah mohon dengan penuh sangat."Mbak, aku tidak tahu harus berobat ke mana lagi. Sudah banyak tempat terapi