Pria tampan itu hanya diam dan terlihat pasrah ketika supir mengangkat tubuhnya di ranjang yang biasa aku gunakan untuk memijit semua pasienku. Selama ini aku memang tidak melayani pasien laki-laki sesuai dengan prinsipku, Hanya wanita dan anak kecil. Itupun aku hanya menolong kerok dan pijit capek saja. Tidak berani dan menolak kalau ada yang datang dengan keluhan kesleo. Takut terjadi apa-apa dan bertambah parah.Karena wanita itu sudah jauh-jauh datang dari Jakarta dengan membawa dia, terpaksa aku juga akan melakukan terapi. Sebelumnya aku sudah bilang dengan wanita tua itu."Maaf Nyonya, saya ini bukan tukang terapi untuk kaki yang lumpuh tapi saya hanya bisa dan menolong untuk kerok dan pijit capek saja. Juga saya sebenarnya tidak melayani pasien laki-laki takut timbul fitnah," ujarku dengan sopan.Wanita itu berjalan dan mendekatiku. Dengan lembut dia memegang tanganku seolah mohon dengan penuh sangat."Mbak, aku tidak tahu harus berobat ke mana lagi. Sudah banyak tempat terapi
B"Mpok Ros, kok penciumannya tajam ya. Bau aja kalau ada uang," sindirku."Iya Mbak Minah, maklum lagi gak punya uang. Tadi sempat aku lihat tamunya Mbak Minah ngajak Arsyad dan Zaki beli es krim banyak. Terus beli jajanan lainnya. Pasti kalau ngasih banyak ya, Mbak?" tanya Mpok Ros merayu."Hmm, baiklah. Ini seratus ribu tapi janji ya kalau suaminya gajian dibalikin," ujarku dengan memberikan uang itu pada Mpok Ros."Alhamdulillah, Mbak Minah. Semoga rejekinya tambah banyak dan mendapatkan tamu yang banyak," do'a Mpok Ros dengan mata yang berbinar.Setelah mendapatkan uang dariku langsung saja di pergi. Tidak lupa menowel pipi Zaki yang sedang menikmati es krim yang dibelikan tamuku.Awas saja ya Mpok. Aku berbuat baik kalau kamu melanggar janjimu sampai kapan aku tidak akan meminjami kamu lagi.Salon terapiku sudah mulai terkenal. Aku sudah tidak lagi menghubungi saudaraku. Biar aku lakukan sendiri. Hanya Mas Nono yang masih setia membantuku. AKhirnya aku sudah mempunyai uang send
Di dunia ini pasti ada sisi baik dan buruk dimanapun berada. Begitu juga dengan yang aku alami. Usaha terapi yang aku jalankan juga membuat tetangga satu komplek kontrakan itu ada yang iri. Bahkan terdengar desas desus yang tidak enak. Itu aku dengar dari Mpok Ros yang datang dan bercerita kepadaku. Entah mana yang benar. Tapi jika langsung percaya pada omongan Mpok Ros justru akan membuat sakit hati yang belum ada bukti. Atau wanita yang biasa menggibah itu sengaja menyiram pada kompor yang menyala agar aku merasa jengkel. Tapi kali ini tidak. Setelah banyak kejadian yang aku alami aku lebih hati-hati menyaring setiap omongan orang yang datang dan memberitahu padaku."Mbak Minah, tahu tidak yang janda sebelah sana itu. Yang dandannya menor. Masak bilang kalau Mbak Minah itu berusaha merayu para bapak di sini. Katanya juga akan membuka terapi untuk kaum bapak-bapak," ujar Mpok Ros yang kebetulan main ke rumah. Aku masih sibuk membersihkan rumah."Oh iya, yang tiap hari jumat datang pa
Menempuh perjalanan hampir satu jam karena terjebak kemacetan panjang daerah Cengkareng,akhirnya mobil memasuki kawasan elit di Perumahan Elit Pantai Indah Kapuk. Dulu waktu aku muda sering nongkrong di sini menikmati minggu pagi bersama dengan teman-teman. Tidak menyangka kalau setelah sepuluh tahun ke depan aku bisa berkunjung ke salah satu rumah elit di kawasan ini. Hatiku berdebar ketika mobil itu memasuki halaman yang ada pohon palemnya. Juga ada satpam yang membukakan pintu gerbang utama.Rumah dengan tipe masa kini yang dicat warna kuning gading. Banyak sekali tanaman hias di depan rumah. Juga ada taman dan kolam ikan kecill terdengar di sudut halaman. AKu menggendong Zaki turun dari mobil itu. Juga menyangklong tas milik anaku. Pak Dikin ikut membawakan tas yang aku bawa."Sini saya bawakan tasnya, Mbak," tawar Pak Dikin ketika melihat sangat repot sambil menggendong Zaki."Di mana saya bertemu dengan Mas Dimas?" tanyaku."Oh dia sedang berada di kamarnya lantai dua. Mari saya
Setelah hampir satu jam merawat Dimas, Nyonya Veronica menelpon Pak Dikin, Supirnya.Terdengar olehku pria itu seperti membicarakan sesuatu. Namun, entah apa? Hingga Pak Dikin menghampiriku."Mbak, Nyonya bilang bentar lagi akan pulang. Suruh tunggu sampai sore bisa tidak?" tanya Pak Dikin padaku.Aku mengernyitkan dahi. Menunggu Nyonya Veronica pulang? Sampai kapan? Bagaimana dengan Zaki, putraku. Apa dia tidak terlalu lama menunggu di rumah Dimas."Bagaimana dengan anaku,Pak?" tanyaku sedikit gusar."Oh sepertinya dia asyik bermain dengan mbak sehingga lupa.""Tapi tidak ada yang mengantar Mbak Minah pulang. Karena saya akan menjemput Nyonya di Bandara,"ujar Pak Dikin."Mas Dimas, Bagaimana sudah enakan?" tanyaku pada pria yang masih duduk di atas ranjangnya. Dia tersenyum sendiri. Entah apa yang dipikirkan.Dia hanya mengangguk. Kemudian membuka selimut tebal dan berusaha menggerakkan kakinya."Tolong bantu aku ingin keluar," pinta Dimas pada Pak Dikin.Gegas dia mengham
Salah satu asisten Dimas yang sejak tadi mengajak Zaki bermain datang sambil menggendong Zaki. Dia menghampiriku dan menyerahkan Zaki padaku."Terima kasih ya Mbak. Sudah menjaga anaku. Oh ya sambil nunggu Nyonya Veronca pulang aku mau menidurkan Zaki, kasiham. Tak taruh di karpet saja ya Mbak," ujarku."iya Mbak, silakan. Oh ya aku tinggal dulu. Mau menyiapkan makanan untuk makan siang," ujar Septi pamit membantu temannya yang sudah duluan di dapur. Namun, Dimas memanggilnya."Mbak, tolong antar Mbak Minah ke kamarku. Biar putranya tidur di kamarku saja. Oh ya jangan lupa nyalakan ACnya!" titah Dimas. Mendengar titah yang aneh dahi Septi mengerti seolah tidak percaya. Dia hanya memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.Buru-buru aku menolaknya agar tidak ada pikiran yang aneh-aneh."Tidak usah, Dimas. Anaku bisa tidur di mana saja. Aku gak enak sama dengan Mbak Septi," tolakku."Sudah bawa naik anakmu atau kamu mau gendong terus sampai dia bangun," ketus Dimas.Mungkin denga
Akhirnya aku tidak jadi meminjam mukena pada Septi, dengan mata yang basah ingin menangis. Sampai luar asisten yang usianya sudah agak tua datang menghampiriku. Dia memegang pundakku. "Mbak Minah, ada apa? Mbak Minah adalah tamu kehormatan di rumah ini bahkan Nyonya Veronica juga sudah berpesan untuk melayani Mbak Minah. Maafkan temanku ya, Mbak," ucap wanita itu. "Oh ndak apa-apa, Mbak. Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan. Mudah sedih dan menangis. "Mbak Minah mau perlu apa? Bilang pada saya. Septi itu masih muda mungkin dia belum bisa mengontrol emosinya." Wanita itu tersenyum, aku berusaha menyembunyikan kesedihanku. "Aku mau solat, Mbak. Mau pinjem mukena," ujarku setelah bisa menguasai diri. Tangannya meraih pundakku dan mengajak ke kamar di sebelah dapur. Ya, ada dua kamar kecil yang bersebelahan dengan dapur. Rupanya tiap asisten mempunyai kamar sendiri. Dia mengajaku ke kamarnya. "Silakan masuk, Mbak. Alhamdulillah selama kerja di sini mendapatkan kamar yang cukup
Aku hanya diam mendengar ucapan Dimas barusan. Mungkin dia masih belum sadar atau sarafnya terganggu hingga mengucapkan kalimat itu. Mungkin bagi dia biasa saja tapi bagiku sangat berbeda. Aku yang berusaha keluar dari trauma masa lalu. Hidup dimadu dan tidak mendapakan nafkah untuk anak-anaku. Kini mendadak mendengar ucapan itu bagaikan angin surga yang menghembus dan menerpa wajahku. Rasanya adem dan menyejukkan. Bagai air pegunungan yang dingin dan langsung bisa menghilangkan dahaga yang ada. Aku tersipu malu tapi harus bisa mengendalikan diri. Harus tahu berhadapan dengan siapa."Maaf, Dimas. Jangan terburu-buru. Kamu ini masih bujangan dan masih banyak wanita di luar sana yang menunggumu. Tugasku adalah merawat dan menyembuhkanmu tidak lebih. Lagian aku juga masih terikat dengan suamiku. Memang saat ini aku sedang mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Tapi selama itu aku tidak mau punya harapan lebih padamu. AKu tidak ingin terbang bersama khayalan yang terlalu tinggi dan mend