Menempuh perjalanan hampir satu jam karena terjebak kemacetan panjang daerah Cengkareng,akhirnya mobil memasuki kawasan elit di Perumahan Elit Pantai Indah Kapuk. Dulu waktu aku muda sering nongkrong di sini menikmati minggu pagi bersama dengan teman-teman. Tidak menyangka kalau setelah sepuluh tahun ke depan aku bisa berkunjung ke salah satu rumah elit di kawasan ini. Hatiku berdebar ketika mobil itu memasuki halaman yang ada pohon palemnya. Juga ada satpam yang membukakan pintu gerbang utama.Rumah dengan tipe masa kini yang dicat warna kuning gading. Banyak sekali tanaman hias di depan rumah. Juga ada taman dan kolam ikan kecill terdengar di sudut halaman. AKu menggendong Zaki turun dari mobil itu. Juga menyangklong tas milik anaku. Pak Dikin ikut membawakan tas yang aku bawa."Sini saya bawakan tasnya, Mbak," tawar Pak Dikin ketika melihat sangat repot sambil menggendong Zaki."Di mana saya bertemu dengan Mas Dimas?" tanyaku."Oh dia sedang berada di kamarnya lantai dua. Mari saya
Setelah hampir satu jam merawat Dimas, Nyonya Veronica menelpon Pak Dikin, Supirnya.Terdengar olehku pria itu seperti membicarakan sesuatu. Namun, entah apa? Hingga Pak Dikin menghampiriku."Mbak, Nyonya bilang bentar lagi akan pulang. Suruh tunggu sampai sore bisa tidak?" tanya Pak Dikin padaku.Aku mengernyitkan dahi. Menunggu Nyonya Veronica pulang? Sampai kapan? Bagaimana dengan Zaki, putraku. Apa dia tidak terlalu lama menunggu di rumah Dimas."Bagaimana dengan anaku,Pak?" tanyaku sedikit gusar."Oh sepertinya dia asyik bermain dengan mbak sehingga lupa.""Tapi tidak ada yang mengantar Mbak Minah pulang. Karena saya akan menjemput Nyonya di Bandara,"ujar Pak Dikin."Mas Dimas, Bagaimana sudah enakan?" tanyaku pada pria yang masih duduk di atas ranjangnya. Dia tersenyum sendiri. Entah apa yang dipikirkan.Dia hanya mengangguk. Kemudian membuka selimut tebal dan berusaha menggerakkan kakinya."Tolong bantu aku ingin keluar," pinta Dimas pada Pak Dikin.Gegas dia mengham
Salah satu asisten Dimas yang sejak tadi mengajak Zaki bermain datang sambil menggendong Zaki. Dia menghampiriku dan menyerahkan Zaki padaku."Terima kasih ya Mbak. Sudah menjaga anaku. Oh ya sambil nunggu Nyonya Veronca pulang aku mau menidurkan Zaki, kasiham. Tak taruh di karpet saja ya Mbak," ujarku."iya Mbak, silakan. Oh ya aku tinggal dulu. Mau menyiapkan makanan untuk makan siang," ujar Septi pamit membantu temannya yang sudah duluan di dapur. Namun, Dimas memanggilnya."Mbak, tolong antar Mbak Minah ke kamarku. Biar putranya tidur di kamarku saja. Oh ya jangan lupa nyalakan ACnya!" titah Dimas. Mendengar titah yang aneh dahi Septi mengerti seolah tidak percaya. Dia hanya memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.Buru-buru aku menolaknya agar tidak ada pikiran yang aneh-aneh."Tidak usah, Dimas. Anaku bisa tidur di mana saja. Aku gak enak sama dengan Mbak Septi," tolakku."Sudah bawa naik anakmu atau kamu mau gendong terus sampai dia bangun," ketus Dimas.Mungkin denga
Akhirnya aku tidak jadi meminjam mukena pada Septi, dengan mata yang basah ingin menangis. Sampai luar asisten yang usianya sudah agak tua datang menghampiriku. Dia memegang pundakku. "Mbak Minah, ada apa? Mbak Minah adalah tamu kehormatan di rumah ini bahkan Nyonya Veronica juga sudah berpesan untuk melayani Mbak Minah. Maafkan temanku ya, Mbak," ucap wanita itu. "Oh ndak apa-apa, Mbak. Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan. Mudah sedih dan menangis. "Mbak Minah mau perlu apa? Bilang pada saya. Septi itu masih muda mungkin dia belum bisa mengontrol emosinya." Wanita itu tersenyum, aku berusaha menyembunyikan kesedihanku. "Aku mau solat, Mbak. Mau pinjem mukena," ujarku setelah bisa menguasai diri. Tangannya meraih pundakku dan mengajak ke kamar di sebelah dapur. Ya, ada dua kamar kecil yang bersebelahan dengan dapur. Rupanya tiap asisten mempunyai kamar sendiri. Dia mengajaku ke kamarnya. "Silakan masuk, Mbak. Alhamdulillah selama kerja di sini mendapatkan kamar yang cukup
Aku hanya diam mendengar ucapan Dimas barusan. Mungkin dia masih belum sadar atau sarafnya terganggu hingga mengucapkan kalimat itu. Mungkin bagi dia biasa saja tapi bagiku sangat berbeda. Aku yang berusaha keluar dari trauma masa lalu. Hidup dimadu dan tidak mendapakan nafkah untuk anak-anaku. Kini mendadak mendengar ucapan itu bagaikan angin surga yang menghembus dan menerpa wajahku. Rasanya adem dan menyejukkan. Bagai air pegunungan yang dingin dan langsung bisa menghilangkan dahaga yang ada. Aku tersipu malu tapi harus bisa mengendalikan diri. Harus tahu berhadapan dengan siapa."Maaf, Dimas. Jangan terburu-buru. Kamu ini masih bujangan dan masih banyak wanita di luar sana yang menunggumu. Tugasku adalah merawat dan menyembuhkanmu tidak lebih. Lagian aku juga masih terikat dengan suamiku. Memang saat ini aku sedang mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Tapi selama itu aku tidak mau punya harapan lebih padamu. AKu tidak ingin terbang bersama khayalan yang terlalu tinggi dan mend
Langsung kumatikan ponselku. Tidak sanggup mendengar suara itu. Dulu suara itu sangat aku rindukan kini ketika mendengar suara itu begitu memuakkan.Aku menyandarkan punggung pada dinding kamar mandi. Seolah tubuh ini tidak ada tenaganya lagi. Sedikit harapan yang ada kembali musnah. Sebenarnya aku ingin bertanya pada semesta. Apa salahku hingga aku harus terjebak dengan situasi yang sangat rumit seperti ini. Aku pergi ke Jakarta untuk menghindari orang itu. Sudah memblokir namanya dalam kontakku namun nyatanya dia masih saja datang untuk menggangguku. Bisakah aku hidup tenang sekali saja. Tanpa bayang-bayang dia.Air mataku kembali kembali membasahi pipi. Tidak sanggup rasanya seolah hidup sendiri tidak punya saudara. Dulu waktu aku masih remaja tidak pernah melakukan apa yang dilarang. Juga menjadi anak yang penurut. Namun, kenapa aku harus menerima kejadian seperti ini. Tidak ada teman atau saudara sebagai tempat untuk bercerita.Untung saja Mpok Ros tidak tahu kalau aku sedang men
Aku sudah takut saja kalau Mas Dani sampai menemukan tempat kontrakanku. Sangat tahu dengan sifatnya yang terkadang sedikit nekat. Jangankan Jakarta di mana saja pasti bisa bertemu dengannya. Ah, tapi sekarang aku yakin dia tidak akan menemukanku. Memang pergi ke Jakarta tidak membutuhkan biaya."Mas, apa Mas Dani memaksa untuk memberitahu dimana kontrakanku?" tanyaku sangat penasaran."Iya dia memaksa bahkan mengancam tapi aku tidak memberitahu keberadaan kamu dan anak-anak. Dia bahkan mau membuat emak celaka. Aku bilang dengannya lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Di sini negara hukum aku tidak pernah takut," ujar Mas Nono."Terima kasih ya Mas. Seandainya dia tahu aku ada di mana pasti dia langsung ke sini.""Lagian aku kan sudah bilang untuk segera meninggalkan pria kayak dia tapi kamu masih bertahan. Kalau sudah kayak gini mau bilang apa? Oh ya bagaimana proses sidangmu di pengadilan?" tanya Mas Nono."Tinggal nunggu ketok palu saja, Mas. Semua sudah tak serahkan pada pengacara
Aku menyingkirkan rasa sedihku sejenak. Malam minggu ini, aku akan menengok Arsyad yang ada di sekolah sekaligus pesantren. Aku sangat gembira ketika tahu kalau Arsyad mulai kerasan di pesantren itu. Khusus anak kecil saja tidak ada anak yang besar. Sampai di rumah, aku meminta Arsyad untuk mandi dan ganti dengan baju baru yang aku belikan."Kita mau kemana, Buk?" tanya Arsyad."Kita akan jalan-jalan. Teman ibu mau ajak makan malam di sebuah restoran di kota," ujarku menjelaskan dengan pelan."Lalu pulangnya bagaimana. Apakah tempatnya jauh dari sini?" tanya Arsyad lagi."Iya ada di kota besar. Tenang nanti kita nginep di hotel ya?""Baik, Buk," jawab Arsyad tidak tanya lagi. Dia mandi dan mengenakan kaos pendek dan celana panjang yang aku belikan. Sementara Zaki juga ganti pakaian. Mereka sangat ganteng langsung nonton film kartun di televisi menunggu jemputan dari Dimas.Aku menyiapkan tas yang berisi baju ganti anaku dan bajuku. Memang sangat repot kalau pergi dan ingin menginap.