Aku sudah takut saja kalau Mas Dani sampai menemukan tempat kontrakanku. Sangat tahu dengan sifatnya yang terkadang sedikit nekat. Jangankan Jakarta di mana saja pasti bisa bertemu dengannya. Ah, tapi sekarang aku yakin dia tidak akan menemukanku. Memang pergi ke Jakarta tidak membutuhkan biaya."Mas, apa Mas Dani memaksa untuk memberitahu dimana kontrakanku?" tanyaku sangat penasaran."Iya dia memaksa bahkan mengancam tapi aku tidak memberitahu keberadaan kamu dan anak-anak. Dia bahkan mau membuat emak celaka. Aku bilang dengannya lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Di sini negara hukum aku tidak pernah takut," ujar Mas Nono."Terima kasih ya Mas. Seandainya dia tahu aku ada di mana pasti dia langsung ke sini.""Lagian aku kan sudah bilang untuk segera meninggalkan pria kayak dia tapi kamu masih bertahan. Kalau sudah kayak gini mau bilang apa? Oh ya bagaimana proses sidangmu di pengadilan?" tanya Mas Nono."Tinggal nunggu ketok palu saja, Mas. Semua sudah tak serahkan pada pengacara
Aku menyingkirkan rasa sedihku sejenak. Malam minggu ini, aku akan menengok Arsyad yang ada di sekolah sekaligus pesantren. Aku sangat gembira ketika tahu kalau Arsyad mulai kerasan di pesantren itu. Khusus anak kecil saja tidak ada anak yang besar. Sampai di rumah, aku meminta Arsyad untuk mandi dan ganti dengan baju baru yang aku belikan."Kita mau kemana, Buk?" tanya Arsyad."Kita akan jalan-jalan. Teman ibu mau ajak makan malam di sebuah restoran di kota," ujarku menjelaskan dengan pelan."Lalu pulangnya bagaimana. Apakah tempatnya jauh dari sini?" tanya Arsyad lagi."Iya ada di kota besar. Tenang nanti kita nginep di hotel ya?""Baik, Buk," jawab Arsyad tidak tanya lagi. Dia mandi dan mengenakan kaos pendek dan celana panjang yang aku belikan. Sementara Zaki juga ganti pakaian. Mereka sangat ganteng langsung nonton film kartun di televisi menunggu jemputan dari Dimas.Aku menyiapkan tas yang berisi baju ganti anaku dan bajuku. Memang sangat repot kalau pergi dan ingin menginap.
Pria itu menatapku lekat. Aku berusaha mencari apa yang tersembunyi di balik mata hitam sipit itu."Aku ingin ikut denganmu, Minah. Ajari aku untuk mengenal Tuhanmu. Aku memang belum mengenal Tuhan selama ini. Mama dan Papa serta Oma bukan muslim. Kami orang keturunan. Apakah kamu percaya dengan apa yang aku ucapkan?" Dimas.Aku hanya diam. Belum berani ambil keputusan."Kasih aku waktu, Dim," ujarku lirih.Baru saja kami asyik berbincang, mendadak ada wanita dengan rambut yang bergelombang dengan rok sepaha. Dia sangat cantik. Aku mungkin tidak ada apa-apanya dibanding dia."Hei Dimas Cahya Wijaya?" teriak wanita itu langsung memeluk Dimas yang sedang duduk. Dia juga terkejut dengan kehadiran wanita itu. Tidak mampu menolak ketika wanita itu mencium pipi DImas. Sampai memerah wajahku melihat cara dia memeluk dan mencium Dimas. AKu menduga dia adalah pacar Dimas."Kamu Vika, kan?" tanya Dimas sambil tersenyum lebar."Iya,aku Vika yang sedang bekerja di Singapura. Kamu sekarang ganteng
Aku memang pernah punya mimpi untuk menjadi kaya suatu hari nanti. Waktu kecil setiap malam, aku dan saudaraku selalu tiduran di tikar luar rumah. Sambil menikamti singkong rebus buatan emak. Aku memandang bintang yang bertaburan di langit dan selalu bergumam. "Kalau jadi orang kaya pasti enak ya. Semua makanan akan tersedia. Pengen ini itu tinggal nunjuk. Tinggal di rumah mewah kayak di film televisi yang aku lihat," gumamku hingga terdengar oleh emak. Dia tidak marah justru mengangkat kedua tangan mengaminkan impian dan khayalanku. Siapa sangka setelah menempuh perjalanan panjang yang sangat melelahkan penuh dengan duri dan tikungan tajam. Penuh dengan linangan air mata, aku hampir sampai pada impian yang aku wujudkan. Kini, setelah beberapa puluh tahun. Ketika aku sudah tidak remaja lagi bahkan akan menyandang status janda dengan dua anak berada di sebuah kamar yang ukurannya sangat luas dengan vasilitas serba ada. Kamar mandi yang mewah berada di dalam kamar. Tempat tidur yang
Akhir pekan yang sangat menggembirakan. Bahkan kedua anaku sangat menikmati ketika berada di keluarga Dimas. Kami pulang hanya diantar Pak Dikin. Dengan membawa oleh-oleh dan mainan yang sangat banyak. Sorenya aku kembali mengantar Arsyad ke pesantren. Selalu kutekankan pada anak sulungku bahwa aku tidak membuangnya atau memisahkan dengan adiknya tapi ini semua demi masa depannya agar kelak menjadi anak yang pandai mengaji dan tahu sopan santun. Setelah yakin dengan apa yang diucapkan, aku meminta waktu untuk beberapa bulan sambil menunggu surat cerai yang akan keluar dari pengadilan. Aku juga butuh waktu untuk masa idahku. Hanya aku memang setiap sabtu sore datang ke rumah Dimas untuk memberikan terapi dan merawatnya. Nyonya Veronica juga memberikan uang yang cukup lumayan. Dia juga tidak keberatan kalau Dimas menikahiku. Hanya saudara -saudara Dimas dan keluarganya yang agak keberatan apalagi harus pindah keyakinan. Hidupku yang mulai terangkat dari kemiskinan dengan usaha terapi
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d