Di dunia ini pasti ada sisi baik dan buruk dimanapun berada. Begitu juga dengan yang aku alami. Usaha terapi yang aku jalankan juga membuat tetangga satu komplek kontrakan itu ada yang iri. Bahkan terdengar desas desus yang tidak enak. Itu aku dengar dari Mpok Ros yang datang dan bercerita kepadaku. Entah mana yang benar. Tapi jika langsung percaya pada omongan Mpok Ros justru akan membuat sakit hati yang belum ada bukti. Atau wanita yang biasa menggibah itu sengaja menyiram pada kompor yang menyala agar aku merasa jengkel. Tapi kali ini tidak. Setelah banyak kejadian yang aku alami aku lebih hati-hati menyaring setiap omongan orang yang datang dan memberitahu padaku."Mbak Minah, tahu tidak yang janda sebelah sana itu. Yang dandannya menor. Masak bilang kalau Mbak Minah itu berusaha merayu para bapak di sini. Katanya juga akan membuka terapi untuk kaum bapak-bapak," ujar Mpok Ros yang kebetulan main ke rumah. Aku masih sibuk membersihkan rumah."Oh iya, yang tiap hari jumat datang pa
Menempuh perjalanan hampir satu jam karena terjebak kemacetan panjang daerah Cengkareng,akhirnya mobil memasuki kawasan elit di Perumahan Elit Pantai Indah Kapuk. Dulu waktu aku muda sering nongkrong di sini menikmati minggu pagi bersama dengan teman-teman. Tidak menyangka kalau setelah sepuluh tahun ke depan aku bisa berkunjung ke salah satu rumah elit di kawasan ini. Hatiku berdebar ketika mobil itu memasuki halaman yang ada pohon palemnya. Juga ada satpam yang membukakan pintu gerbang utama.Rumah dengan tipe masa kini yang dicat warna kuning gading. Banyak sekali tanaman hias di depan rumah. Juga ada taman dan kolam ikan kecill terdengar di sudut halaman. AKu menggendong Zaki turun dari mobil itu. Juga menyangklong tas milik anaku. Pak Dikin ikut membawakan tas yang aku bawa."Sini saya bawakan tasnya, Mbak," tawar Pak Dikin ketika melihat sangat repot sambil menggendong Zaki."Di mana saya bertemu dengan Mas Dimas?" tanyaku."Oh dia sedang berada di kamarnya lantai dua. Mari saya
Setelah hampir satu jam merawat Dimas, Nyonya Veronica menelpon Pak Dikin, Supirnya.Terdengar olehku pria itu seperti membicarakan sesuatu. Namun, entah apa? Hingga Pak Dikin menghampiriku."Mbak, Nyonya bilang bentar lagi akan pulang. Suruh tunggu sampai sore bisa tidak?" tanya Pak Dikin padaku.Aku mengernyitkan dahi. Menunggu Nyonya Veronica pulang? Sampai kapan? Bagaimana dengan Zaki, putraku. Apa dia tidak terlalu lama menunggu di rumah Dimas."Bagaimana dengan anaku,Pak?" tanyaku sedikit gusar."Oh sepertinya dia asyik bermain dengan mbak sehingga lupa.""Tapi tidak ada yang mengantar Mbak Minah pulang. Karena saya akan menjemput Nyonya di Bandara,"ujar Pak Dikin."Mas Dimas, Bagaimana sudah enakan?" tanyaku pada pria yang masih duduk di atas ranjangnya. Dia tersenyum sendiri. Entah apa yang dipikirkan.Dia hanya mengangguk. Kemudian membuka selimut tebal dan berusaha menggerakkan kakinya."Tolong bantu aku ingin keluar," pinta Dimas pada Pak Dikin.Gegas dia mengham
Salah satu asisten Dimas yang sejak tadi mengajak Zaki bermain datang sambil menggendong Zaki. Dia menghampiriku dan menyerahkan Zaki padaku."Terima kasih ya Mbak. Sudah menjaga anaku. Oh ya sambil nunggu Nyonya Veronca pulang aku mau menidurkan Zaki, kasiham. Tak taruh di karpet saja ya Mbak," ujarku."iya Mbak, silakan. Oh ya aku tinggal dulu. Mau menyiapkan makanan untuk makan siang," ujar Septi pamit membantu temannya yang sudah duluan di dapur. Namun, Dimas memanggilnya."Mbak, tolong antar Mbak Minah ke kamarku. Biar putranya tidur di kamarku saja. Oh ya jangan lupa nyalakan ACnya!" titah Dimas. Mendengar titah yang aneh dahi Septi mengerti seolah tidak percaya. Dia hanya memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.Buru-buru aku menolaknya agar tidak ada pikiran yang aneh-aneh."Tidak usah, Dimas. Anaku bisa tidur di mana saja. Aku gak enak sama dengan Mbak Septi," tolakku."Sudah bawa naik anakmu atau kamu mau gendong terus sampai dia bangun," ketus Dimas.Mungkin denga
Akhirnya aku tidak jadi meminjam mukena pada Septi, dengan mata yang basah ingin menangis. Sampai luar asisten yang usianya sudah agak tua datang menghampiriku. Dia memegang pundakku. "Mbak Minah, ada apa? Mbak Minah adalah tamu kehormatan di rumah ini bahkan Nyonya Veronica juga sudah berpesan untuk melayani Mbak Minah. Maafkan temanku ya, Mbak," ucap wanita itu. "Oh ndak apa-apa, Mbak. Mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan. Mudah sedih dan menangis. "Mbak Minah mau perlu apa? Bilang pada saya. Septi itu masih muda mungkin dia belum bisa mengontrol emosinya." Wanita itu tersenyum, aku berusaha menyembunyikan kesedihanku. "Aku mau solat, Mbak. Mau pinjem mukena," ujarku setelah bisa menguasai diri. Tangannya meraih pundakku dan mengajak ke kamar di sebelah dapur. Ya, ada dua kamar kecil yang bersebelahan dengan dapur. Rupanya tiap asisten mempunyai kamar sendiri. Dia mengajaku ke kamarnya. "Silakan masuk, Mbak. Alhamdulillah selama kerja di sini mendapatkan kamar yang cukup
Aku hanya diam mendengar ucapan Dimas barusan. Mungkin dia masih belum sadar atau sarafnya terganggu hingga mengucapkan kalimat itu. Mungkin bagi dia biasa saja tapi bagiku sangat berbeda. Aku yang berusaha keluar dari trauma masa lalu. Hidup dimadu dan tidak mendapakan nafkah untuk anak-anaku. Kini mendadak mendengar ucapan itu bagaikan angin surga yang menghembus dan menerpa wajahku. Rasanya adem dan menyejukkan. Bagai air pegunungan yang dingin dan langsung bisa menghilangkan dahaga yang ada. Aku tersipu malu tapi harus bisa mengendalikan diri. Harus tahu berhadapan dengan siapa."Maaf, Dimas. Jangan terburu-buru. Kamu ini masih bujangan dan masih banyak wanita di luar sana yang menunggumu. Tugasku adalah merawat dan menyembuhkanmu tidak lebih. Lagian aku juga masih terikat dengan suamiku. Memang saat ini aku sedang mengajukan gugatan cerai di pengadilan. Tapi selama itu aku tidak mau punya harapan lebih padamu. AKu tidak ingin terbang bersama khayalan yang terlalu tinggi dan mend
Langsung kumatikan ponselku. Tidak sanggup mendengar suara itu. Dulu suara itu sangat aku rindukan kini ketika mendengar suara itu begitu memuakkan.Aku menyandarkan punggung pada dinding kamar mandi. Seolah tubuh ini tidak ada tenaganya lagi. Sedikit harapan yang ada kembali musnah. Sebenarnya aku ingin bertanya pada semesta. Apa salahku hingga aku harus terjebak dengan situasi yang sangat rumit seperti ini. Aku pergi ke Jakarta untuk menghindari orang itu. Sudah memblokir namanya dalam kontakku namun nyatanya dia masih saja datang untuk menggangguku. Bisakah aku hidup tenang sekali saja. Tanpa bayang-bayang dia.Air mataku kembali kembali membasahi pipi. Tidak sanggup rasanya seolah hidup sendiri tidak punya saudara. Dulu waktu aku masih remaja tidak pernah melakukan apa yang dilarang. Juga menjadi anak yang penurut. Namun, kenapa aku harus menerima kejadian seperti ini. Tidak ada teman atau saudara sebagai tempat untuk bercerita.Untung saja Mpok Ros tidak tahu kalau aku sedang men
Aku sudah takut saja kalau Mas Dani sampai menemukan tempat kontrakanku. Sangat tahu dengan sifatnya yang terkadang sedikit nekat. Jangankan Jakarta di mana saja pasti bisa bertemu dengannya. Ah, tapi sekarang aku yakin dia tidak akan menemukanku. Memang pergi ke Jakarta tidak membutuhkan biaya."Mas, apa Mas Dani memaksa untuk memberitahu dimana kontrakanku?" tanyaku sangat penasaran."Iya dia memaksa bahkan mengancam tapi aku tidak memberitahu keberadaan kamu dan anak-anak. Dia bahkan mau membuat emak celaka. Aku bilang dengannya lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Di sini negara hukum aku tidak pernah takut," ujar Mas Nono."Terima kasih ya Mas. Seandainya dia tahu aku ada di mana pasti dia langsung ke sini.""Lagian aku kan sudah bilang untuk segera meninggalkan pria kayak dia tapi kamu masih bertahan. Kalau sudah kayak gini mau bilang apa? Oh ya bagaimana proses sidangmu di pengadilan?" tanya Mas Nono."Tinggal nunggu ketok palu saja, Mas. Semua sudah tak serahkan pada pengacara
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek