Ceklek..
Dengan perlahan, Leona membuka pintu ruangan tersebut, matanya tak henti menelusuri setiap sudut ruangan. Tak dapat dipungkiri, rasa takut menggelayut erat di hatinya, hingga bulu kuduknya merinding. Bayangan wajah Tuti masih saja menghantuinya. Leona duduk di depan layar CCTV yang terpasang, dengan cepat ia mulai memutar kembali rekaman selama satu minggu terakhir, sejak Saras ada di rumahnya. Namun hasilnya nihil, tidak ada rekaman apa pun, bahkan sampai hari ini pun tidak ada. Leona tersenyum pahit, ia mengusap wajahnya yang pucat, rasa ketakutan itu memang sudah ada sejak lama, namun ia terus berusaha menepisnya, tak ingin urusan sepele menghancurkan bahtera rumah tangganya bersama Denis. Namun, setelah hari ini, setelah ia membaca surat itu dan melihat layar rekaman CCTV yang kosong, kepercayaan yang selama ini Leona bangun dengan tulus di atas cinta suci mereka, seolah runtuh tak bersisa.Leona tersentak kaget ketika mendengar suara pintu terbuka. Detak jantungnya berpacu cepat, matanya menatap sekitar dengan wajah pucat, takut Denis memergokinya. Leona tak tahu alasan apa yang harus diutarakan. Terlebih lagi kertas putih dalam genggaman tangannya, ia bergegas menutup tas Denis, seketika merobek selembar kertas yang diambilnya dari dalam. Dalam sekejap, ia mendekati lemari sambil mencoba menyembunyikan kertas itu, seraya mencari alasan yang tepat untuk mengelak. "Sayang, kamu ngapain?" Denis menyernyitkan dahi, menatap istrinya dengan pandangan curiga yang menusuk ."Eh, aku.. nih, aku siapin baju buat kamu, Mas. Aku tahu kamu pasti capek banget kan?" Otak kecil Leona bergerak cepat mencari alasan, mengalihkan kecurigaan suaminya. Semoga saja Denis takkan curiga lebih jauh. Kecurigaan dalam hati Denis seketika memuncak, seiring dengan kegelisahan yang melanda jiwa. Sejak kematian Tuti, ia merasa tak tenang
Selama ini, meskipun ia adalah pemilik sah perusahaan, Leona sama sekali tidak ingin turun campur dalam pengambilan keputusan. Semuanya sudah ia serahkan pada Denis, termasuk soal keuangan. Betapa menyakitkan ketika harus merasakan sakit hati akibat perbuatan orang yang selama ini dianggap sebagai tempat bersandar. "Iya, aku tahu sayang. Kamu pasti akan melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Aku sudah menyiapkan berkasnya; kamu hanya tinggal membubuhi tanda tangan seperti biasa," ujar Denis dengan serius, menatap Leona tepat di matanya. Denis bangkit dari ranjang, melangkah cepat menuju ruang ganti. Sudah pasti ia mencari surat yang Leona sembunyikan. Beruntung Leona berhasil menemukan surat tersebut lebih dahulu. Jika tidak, ia akan menandatangani surat itu tanpa membaca atau bahkan melihat detail isi surat itu. Hatinya berkecamuk, kekecewaan dan amarah bercampur aduk menjadi satu. "Kenapa kamu tegas ma
"Darimana aku harus memulai mencari tahu semuanya?" Gumamnya lirih, seraya langkah kakinya terasa berat menapaki anak tangga satu demi satu. Sekelebat bayangan Tuti melintas dalam benaknya, membuat dada Leona sesak, dan mata berair. "Mbok, Leona janji, kalau memang ternyata Denis ada hubungannya dengan kematian mbok, Leona akan memastikan dia mendekam di balik jeruji besi," ucapnya berjanji dalam hati, tak ingin memberatkan Tuti yang kini telah tiada. "Loh, kok diberesin, Nin? Nyonya kemana?" tanya Sulis, merasa heran melihat keadaan tersebut. "Naik ke atas, katanya mau pergi sama temannya," jawab Nina. Dahi Sulis berkerut, penasaran dengan kelakuan Nyonya mudanya. la merasa perlu memberitahu Denis. Mungkin saja Leona belum mengabarkan rencananya itu pada suaminya. "Ya sudah, kamu sama Bik Lastri makan, saya mau hubungin orang rumah saya dulu," pamit Suli
"Iya, sama mertua kamu juga malahan, emang kenapa?" tanya Tari, seraya mencoba mencerna kekhawatiran Leona. Leona tak menjawab, ia hanya menunjukkan ponselnya pada Tari, membuat wanita itu mengerutkan dahi, bingung. Dengan hati-hati, Tari mengambil alih ponsel milik Leona, memeriksa gambar yang sahabatnya tunjukkan. "Nah, iya! Anak perempuan ini yang digendong Denis," jelas Tari dengan yakin. Dia ingat betul melihat Denis bersama wanita dan dua anak kecil dalam foto tersebut, ada juga wanita paruh baya yang ia tahu sebagai mertua dari sahabatnya. Mendengar jawaban Tari, seketika Leona merasa terhempas ke palung yang dalam. Suami yang selama ini dia anggap setia ternyata telah membohonginya sejak lama. Air matanya berlinang, seakan menjerit menggugat. "Apakah benar yang Tuti katakan, jika Denis dan Saras main api? Tak mungkin wanita itu dan suamiku ada di bandara, apalagi ada mertuaku juga di sana..."
Leona meneguk ludah, mengingat bagaimana Denis begitu perhatian pada anak-anak Saras. Logika yang diungkapkan Tuti terasa semakin masuk akal. Tidak mungkin ada kedekatan begitu besar antara mereka, sementara Arya dan Denis yang seharusnya memiliki hubungan lebih erat, malah seolah terpisah. Mendalamnya lukisan hati yang tercabik-cabik, bagaikan tikaman sembilu merobek hati dan jantung Leona, membuat perih yang menyayat-nyayat batinnya. "Dari mana aku harus memulai Untuk mencari tahu, sementara selama ini aku sudah begitu percaya pada Denis, aku bahkan tidak pernah terbayang bahwa dia akan melakukan hal ini padaku," ujar Leona dengan lirih dan sendu. "Kamu tahu sendiri, sejak menikah aku nggak pernah terlibat dalam urusan perusahaan. Aku menyerahkan semua kepercayaan itu pada Denis, dia mengatur semuanya. Bagaimana mungkin aku bisa mengurus perusahaan tanpa dia?" tanya Leona pesimis, menggelengkan kepala dengan lemah. Ter
Leona menahan napas, menunggu respons dari dalam ruangan. Tak ada jawaban, namun derap langkah terdengar mendekat ke arah mereka. Hati Leona berdebar lebih cepat, hingga akhirnya terlihat sosok seorang pria paruh baya yang mungkin berumur sekitar 50 tahunan. "Leona, ayo masuk nak." la mengajak Leona, sambil tersenyum simpul. Terakhir kali mereka bertemu adalah 1,5 tahun yang lalu. Meski begitu, wajah pria itu tak pernah pudar dari ingatan Leona. Leona meresapi ruangan yang cukup luas itu. pandangan wanita itu menyapu setiap sudut ruangan. "Saya kaget ketika mendengar kamu datang, apa kabarmu, Nak?" Dalam suasana yang begitu mendalam, mereka saling menjabat tangan, sebelum akhirnya Anwar mempersilakan Leona duduk di sofa yang empuk. "Saya baik, Pak. Bapak sendiri apa kabarnya? Saya harap Bapak senantiasa sehat," ucap Leona dengan senyuman menghiasi wajah cantiknya. Tanpa disadari,
Leona termenung di atas sajadah, setelah baru saja menunaikan shalat Magrib. Kesal menunggu Denis yang tak kunjung datang, bukan lantaran rindu yang mendalam seperti biasanya. Kali ini, Leona ingin mengetahui reaksi Denis terkait sikapnya yang berubah drastis sepanjang hari. Denis hanya mengirim pesan singkat padannya siang hari. Itupun dia hanya menanyakan apakah Leona sudah kembali atau belum, entah apa yang telah terjadi. Seiring kebenaran yang mulai terungkap, Leona merasa lelah memikirkan masalah-masalah yang menghampiri hidupnya. la mengira bahwa kehidupannya akan berjalan tenang dan damai bersama Denis. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, namun siapa sangka, saat menginjak tahun ketiga pernikahannya, satu per satu kebusukan laki-laki itu mulai terbongkar. Leona kemudian mengerti mengapa Denis enggan untuk memiliki anak dengannya, barangkali Saras-lah yang melarang pria itu untuk melakukannya. S
Tadi malam Saras sempat begitu bahagia, ia yakin Denis akan meninggalkan Leona dan merebut semua harta yang dimiliki. Namun, kenyataan berkata lain; masih ada banyak rintangan yang harus dihadapi Denis. Mimpi yang sempat Saras harapkan untuk menguasai harta Leona, tampaknya masih harus tertunda. "Ya sudah, aku pulang dulu, sudah malam," ujar Denis sebelum bangkit dari duduknya. Dengan lembut, ia mencium bibir Saras, namun Saras menahannya. Mata wanita itu berbinar, memohon pada sang suami untuk menyentuhnya lebih dalam lagi. Denis yang paham akan keinginan Saras pun menghela napas berat. la tengah lelah dan stres, namun tak kuasa menolak godaan istrinya yang begitu menggoda. Akhirnya, keduanya menuntaskan hasrat mereka, melakukan pergumulan mesra di atas sofa yang luas itu. Sementara itu, tidak seperti sebelumnya, Leona tidak lagi merasa gelisah menunggu suaminya pulang. Malam ini, tak ada rasa cemas di ha