"Mas, jadi mau ke ruang CCTV nggak?" tanya Leona, saat mereka masuk ke dalam rumah setelah mengantarkan Saras pergi.
Denis mengangguk pelan, seraya mengusap puncak kepala istrinya dengan penuh kasih sayang. "lya, aku pinjam sebentar ya, berkas itu sudah agak lama, jadi aku agak lupa taruh di mana," ujarnya berbohong, menutupi rencananya yang sesungguhnya. Tak sengaja, obrolan keduanya terdengar jelas oleh Tuti. Wanita itu merasa semakin cemas, keringat dingin bercucuran di keningnya saat mereka berpapasan. Denis tersenyum dengan sisa-sisa kejahatan di bibirnya, matanya yang tajam menatap Tuti yang hanya mampu menundukkan kepala. Raut panik yang tak tertahankan pun melukiskan wajah tuanya. "Aku temani kamu masuk ke sana ya, sayang," tawar Leona dengan tulus, ia sama sekali tidak menaruh curiga atau menyadari Denis yang masih terus menatap Tuti. Denis, dengLeona menatap langit-langit kamarnya, pikiran nya tak bisa lepas dari sikap aneh pembantu rumah tangganya. la merasa jika Tuti menyembunyikan sesuatu, namun wanita paruh baya itu terus mengelak saat ditanya. Alasan yang diungkapkan Tuti adalah meminjam uang untuk mengirimkan ke kampung. Menurut Leona, itu sangat mencurigakan. "Sayang, kok ngelamun?" tanya Denis, membuyarkan lamunan Leona mengenai Tuti. "Mas, udah mandinya?" sahut Leona seraya menatap sang suami yang sedang menyisir rambutnya dengan rapi. Denis melangkah mendekati ranjang, pria itu mencium bibir istrinya dengan penuh gairah. "Kenapa melamun, Sayang? Apa yang sedang kamu pikirkan?" Leona menghela napas dalam-dalam, ia terduduk sambil menatap wajah tampan Denis. Entah mengapa, ketika mendiang ayahnya meminta ia menikah dengan Denis, ia langsung menerima tanpa menolak atau mencari tahu lebih dalam. Sikap Denis yang le
"Mbok!" Pekik Leona, suara lantang wanita itu mengejutkan Denis yang berada di sampingnya. Denis segera mengikuti arah pandangan istrinya, ekspresi kaget pun tak bisa disembunyikan ketika melihat sosok Tuti tergeletak di bawah dengan darah menggenang di sekitarnya. Mereka pun bergegas turun untuk memastikan keadaannya. Jantung Leona berdetak kencang, dihantui oleh rasa syok dan ketakutan. Setibanya di lantai bawah, Leona hanya bisa mematung menatap tubuh Tuti, wanita paruh baya yang sudah lama setia bekerja di rumah mereka. "Mas... Mbok Tuti, kenapa?" tanya Leona, tubuhnya gemetar hebat. Denis bersimpuh di samping Tuti, pria itu dengan hati-hati menempelkan jari-jarinya di hidung Tuti, berharap masih merasakan hembusan nafasnya. Namun, apa yang didapati hanya kehampaan. Denis menatap Leona lalu menggeleng perlahan, memberi kabar duka bahwa Tuti sudah tak lagi bernyawa. "Nyonya, Tu
Jarum jam menunjukkan angka satu dini hari. Leona terlarut dalam lamunan, matanya menatap jalanan gelap yang dilewati mobil mereka. Percakapan antara dia dan anak-anak Tuti tadi masih terngiang-ngiang di telinganya, menciptakan rasa kegelisahan di dalam hatinya. Entah mengapa, ada sesuatu yang meresahkan tentang kematian ART mereka tersebut. Pagi tadi, Tuti sempat berbicara terbata, seperti hendak menyampaikan sesuatu, namun ketika suaminya tiba, wanita paruh baya itu malah beralasan meminjam uang untuk kebutuhan mendesak. Padahal anak-anaknya tidak menyebut hal seperti itu. Mungkinkah mereka tidak tahu apa-apa? Berpikir tentang itu membuat kepala Leona pening. la berusaha memejamkan mata, menyandarkan tubuhnya di samping Denis yang tampak sibuk memainkan ponselnya. "Mas, tadi aku bicara sama anak-anak mbok Tuti, kalau ada yang butuh pekerjaan, aku minta mereka datang ke rumah kita," ucap Leona, memecah keheningan malam itu.
Suara gemercik air membangunkan Leona. Wanita itu baru tersadar ketika jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Setelah shalat subuh, ia kembali terlelap, begitu pula dengan suaminya. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan sosok Denis yang tampak segar dengan handuk melilit pinggulnya. Leona berharap hari ini Denis tidak lagi bersikap dingin dan marah karena perkataan semalam. "Sayang, sudah bangun?" tanya Denis, dengan tatapan lembut pada sang istri yang kini duduk dan tengah memperhatikan dirinya. Leona mengangguk, lalu bertanya dengan suara lirih, " Kamu ngantor hari ini?" "Aku ada pertemuan penting, harus bertemu dengan klien. Kamu istirahat saja di rumah, jangan pergi kemana-mana ya, soalnya Tomi akan menemaniku," interupsi Denis seraya menggunakan pakaiannya. Dalam hati, Leona merasa lega sekaligus cemas. la berharap kehangatan suami-istrinya kembali
"Sayang, kamu ngapain?" Tanya itu seakan menghujam jantung Leona. Wanita itu terkesiap, sadar itu adalah suaminya. Secepat kilat, ia mengumpulkan tenaga untuk menguasai diri, berdoa agar suaminya tak curiga. "Mas, aku baru saja mau menghubungi Tomi. Mau bilang kalau hp Mas ketinggalan. Tadi aku merapikan bantal, trus lihat hp Mas," jawab Leona dengan nafas yang berat, ia mendekati Denis yang memperhatikannya tajam. "Ada yang hubungi aku nggak?" tanya pria itu, tatapannya penuh curiga. Leona menggeleng. "Nggak tahu, aku nggak liat, aku cuma liat hp Mas trus mau hubungi Tomi. Eh, malah Mas udah balik aja," ia menyembunyikan kegelisahan di balik senyum tipis. Denis terdiam, matanya menelusuri layar ponselnya. Tak lama, ia mendekati Leona, mencium dahinya dengan lembut lalu meninggalkan ruangan itu. "Aku balik ke kantor, nanti pulang
Langit malam mulai terasa semakin pekat, Leona baru saja menyelesaikan shalat magribnya. Dalam dera kelelahan, ia masih asik berbaring di atas ranjang dengan mukena menutupi tubuh rampingnya. Rasanya malas sekali untuk makan malam, terlebih dengan ketidak pastian kapan Denis akan kembali ke rumah. Jemari lentik Leona bermain-main dengan ponselnya, berharap ada kabar atau pesan singkat dari Denis. Namun sayang, pria itu terasa berbeda hari ini, tidak seperti biasanya. Denis hanya menghubungi sekali sepanjang hari, itupun sore tadi. Entah mengapa, hati Leona terus menerawang pada pesan singkat misterius yang terlihat di ponsel Denis. la bertanya-tanya, apakah Denis sedang menemui 'klien 1' itu? Leona berusaha keras untuk menepis dugaan negatif yang menyeruak dalam hatinya, yakin bahwa nomor tersebut milik seorang laki-laki. Namun, detik demi detik perasaan gelisah dan kesepian terus menghantui, merasuki sudut-sudut hati ya
Leona mengepal tangannya saat membaca surat yang Tuti tinggalkan. Air mata mengalir deras di wajahnya yang pucat, membuat napasnya terasa tercekat. Hatinya menolak untuk percaya pada apa yang ditulis Tuti dalam surat itu. Namun, di lubuk hati yang paling dalam, sebuah keraguan mulai tumbuh. Menyangkut pernikahan, suami, dan masa depan yang seakan hancur di hadapannya. "Nggak mungkin, Mas Denis dan Mbak Saras nggak mungkin melakukan ini," Leona berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang goyah. Sekilas Leona menatap kembali surat itu, menggenggamnya begitu erat hingga tulisan pada kertas menjadi kerut. Kertas yang mungkin menjadi wasiat terakhir Tuti, pembantu rumah tangganya yang telah tiada. Leona menelan ludah, berusaha menepis rasa curiga yang makin menghantuinya. Dia merenung, mencoba mengingat momen-momen yang mencurigakan antara Denis dan Saras. Malam sebelum kejadian nahas itu, dia mendapati sua
Ceklek.. Dengan perlahan, Leona membuka pintu ruangan tersebut, matanya tak henti menelusuri setiap sudut ruangan. Tak dapat dipungkiri, rasa takut menggelayut erat di hatinya, hingga bulu kuduknya merinding. Bayangan wajah Tuti masih saja menghantuinya. Leona duduk di depan layar CCTV yang terpasang, dengan cepat ia mulai memutar kembali rekaman selama satu minggu terakhir, sejak Saras ada di rumahnya. Namun hasilnya nihil, tidak ada rekaman apa pun, bahkan sampai hari ini pun tidak ada. Leona tersenyum pahit, ia mengusap wajahnya yang pucat, rasa ketakutan itu memang sudah ada sejak lama, namun ia terus berusaha menepisnya, tak ingin urusan sepele menghancurkan bahtera rumah tangganya bersama Denis. Namun, setelah hari ini, setelah ia membaca surat itu dan melihat layar rekaman CCTV yang kosong, kepercayaan yang selama ini Leona bangun dengan tulus di atas cinta suci mereka, seolah runtuh tak bersisa.
Di sinilah Ferdy berada di ruang UGD. Pria tampan itu tengah di periksa dokter di dalam, dan setelah beberapa saat menunggu akhirnya sang dokter keluar juga.Leona menghampiri dokter itu lebih dulu dan bertanya pada sang dokter bagaimana keadaan suaminya. Tari dan Rendy mengikuti Leona dari belakang."Dok gimana keadaan suami saya" tanya Leona dengan wajah cemasnya.Dokter itu tersenyum dan menjawab pertanyaan Leona."Ibu tenang saja suami ibu tidak apa-apa hanya saja dia kekurangan asupan makanan dan membuat tubuhnya menjadi tak bertenaga. Apa sebelumnya suami ibu sering muntah" tanya sang dokter di akhir kalimat."Iya dok sejak saya hamil dia sering muntah di pagi hari dan suami saya juga gak nafsu makan dok" jawab Leona."Nah di situ kendalanya buk, suami ibu ini tengah mengalami yang namanya morning sikcnees setiap pagi atau nama lainnya sindrom couvade pada calon ayahnya, ini memang biasa terjadi buk di setiap pasangan yang
Dua bulan kemudianPagi-pagi sekali suara muntahan pria tampan memenuhi kamar mandi, ia tengah memuntahkan isi perutnya yang sama sekali tak mengeluarkan apa-apa yang keluar hanyalah cairan bening dan kental. Siapa lagi kalau bukan Ferdy ya Ferdy tengah mengalami morning sickness atau bisa di sebut sindrom couvade, morning sickness seharusnya Leona yang mengalami kini berbanding balik Ferdy lah yang mengalaminya, dua Minggu sudah Ferdy tak masuk kerja di karnakan tubuhnya yang tak bertenaga dan nafsu makan pun berkurang.Ya Leona tengah hamil anak pertamanya, dan morning sickness itu Ferdy yang mengalami bukan Leona, awalnya memang baik-baik saja tetapi saat kandungan Leona memasuki 2 Minggu mual muntah selalu menghampiri Ferdy tiap pagi. Leona terkadang merasa khawatir akan kondisi Ferdy yang semakin lama semakin lemas tak bertenaga Leona pernah menyuruhnya untuk pergi ke rumah sakit agar di berikan beberapa vitamin atau semacam obat agar Ferdy bisa bertenaga lagi
Ferdy mengemudi mobilnya dengan kecepatan sedang sembari tangannya mengelus puncak kepala sang istri, senyuman Ferdy tak pernah luntur sejak tadi pria tampan benar-benar sangat bahagia setelah dirinya menikahi wanita yang amat ia cintai, sebelum pulang. Leona meminta Ferdy mengantarkan dirinya ke makam sang ayah dan ibunya, wanita cantik itu merindukan orang tuanya, Ferdy dengan cepat mengiyakan ucapan sang istri.Sesampainya di pemakam, Ferdy dan Leona sama-sama turun dari mobil. Ferdy menggandeng tangan Leona menuju makam ayahnya yang bersebelahan dengan makam ibunya."Assalamualaikum Pah Mah "ucap Leona dan Ferdy yang saat ini sudah berada di tengah makam orang tuanya."Pah Mah, lihatlah Leona sekarang gak sendiri lagi. Leona udah ada yang jagain" ucap Leona pertama kali."Sekarang Papa sama Mama jangan sedih lagi liat Leona dari atas sana, Leona sekarang udah bahagia seperti yang pernah ayah bilang" ucap Leona dengan suara serak, Leona berusah
Tangan lebar nan kasar itu kini berada di bukit kembar Leona, Ferdy merasakan bukit Leona yang masih terasa padat dan berisi, dan perlahan tapi pasti Ferdy meremas bukit kembar Leona dengan lembut hingga membuat Leona sedikit melenguh di sela-sela lumatan bibir mereka. Setelah di rasa Leona kehabisan patokan oksigen, barulah Ferdy melepaskan tautan bibirnya dari bibir Leona. Leona menghirup udara sebanyak-banyaknya seakan udara di kamar mandi tidak cukup untuk dirinya.Ferdy belum menghentikan aksinya, kini kepalanya berada di ceruk leher sang istri dan kembali membuat tanda kepemilikan di sana, padahal tanda semalam belum hilang dan sekarang Ferdy memberikannya lagi.Leona menutup matanya merasakan Ferdy yang menghisap lehernya sedikit kuat dan itu membuat Leona meleguh karnanya apa lagi di tambah sensasi yang di berikan Ferdy yaitu meremas salah satu bukit kembar Leona."Ah Mas hentikan sudah cukup gumam Leona sambil menahan sesuatu yang bergej
Leona melebarkan matanya melihat pusaka Ferdy yang besar dan sedikit panjang.Leona meringis sendiri dalam hatinya. Apakah muat punya Ferdy masuk ke goa kenikmatannya, ah rasanya pasti menyakitkan tapi enak batin Leona.Perlahan Ferdy memposisikan tubuhnya di tengah-tengah paha Leona, "Kamu siap sayang?" tanya Ferdy.Leona mengangguk sebagai jawaban.Melihat anggukan sang istri. Pria tampan itu mulai meluruskan posisinya, dan perlahan tapi pasti pusaka yang sudah berdiri tegak itu mulai memasuki goa surganya."Gak usah di tutup matanya, ga usah malu. Teriak aja sayang, mendesah aja yah gak bakalan ada yang dengar kamar ini kedap suara kamu bisa teriak sekerasnya" ucap Ferdy.Sebelum melakukannya lagi Ferdy melumat bibir Leona, ia juga mulai memasukkan Pusakanya di goa kenikmatan istrinya kali ini Ferdy tidak pelan-pelan lagi, melainkan sekaligus sebab dirinya sudah penuhi oleh nafsu yang tertahan."Aahhh Mas enak banget"ucap
Ragu-ragu Leona mengangguk kecil, melihat anggukan sang istri. Ferdy mendekati Leona dan menyuruh istrinya itu membalikkan tubuh.Leona berbalik dengan wajahnya menghadap cermin wastafel sembari memandang Ferdy yang mulai membuka perlahan resleting gaun nya.Jantung Leona saat ini tidak sedang baik-baik saja, ia merasakan detak jantung yang begitu cepat serta keringat dingin di telapak tangannya, Leona benar-benar sangat gugup, apa lagi saat melihat Ferdy yang sudah melepaskan resleting gaun dan menatap punggungnya yang putih bersih tanpa noda."Putih banget kulit kamu sayang" ucap Ferdy pelan.Leona tersenyum malu mendengar perkataan sang suami.Ferdy mulai membuka gaun yang tak berlengan itu. Cara Ferdy membukanya yaitu dengan menurunkan gaun tersebut ke bawah tetapi sebelum melakukannya Leona menahan tangan Ferdy agar tak meneruskan membuka gaun tersebut."Kenapa sayang?" tanya Ferdy yang bingung."Kamu mau ngapain" tanya
Setelah ijab qobul disebutkan oleh Ferdy para tamu pun memberikan selamat pada kedua mempelai, kini Ferdy dan Leona berdiri di pelaminan, beberapa tamu masih ada yang belum memberikan selamat dan mereka juga menyempatkan diri menyalami Ferdy dan Leona lalu mengucapkan kata samawa pada kedua mempelai.Dan sebagian tamu juga ada yang sudah pulang dan ada yang masih betah di acara tersebut.Pak Anwar pun mendekati pengantin baru itu, " Selamat yah nak atas pernikahan kalian, bapak berharap kalian bahagia hingga maut memisahkan, Pak Ferdy saya titipkan nak Leona yah, sayangi dia" Ucap Pak Anwar sembari menepuk pundak Ferdy kemudian menyalami mereka berdua.Tari dan Rendy juga tak lupa memberikan selamat untuk Ferdy dan Leona, mereka berdua pun segera menghampiri sahabatnya itu."Selamat yah Leona sekarang kamu udah jadi istri Ferdy. Semoga pernikahan kalian samawa sampai kakek nenek" Ucap Tari pada Leona, tangan mereka saling bertautan di udara.
Satu bulan kemudian.......Dan satu minggu penuh Ferdy dan Leona habiskan untuk persiapan acara pernikahannya, dari fitting baju pengantin sampai dekorasi ballroom hotel yang mereka sewa satu minggu yang lalu.Dan hari itu pun tiba. Ferdy yang ingin menikahi Leona setelah perjuangan panjang yang ia lewati. Semua kesalah pahaman yang pernah singgah di sela-sela hubungannya, dan drama lainnya semua ia lewati. Dan akhirnya semua telah selesai.Semenjak kembalinya Leona di sisi Ferdy, lelaki tampan itu selalu tersenyum dan tampak sekali kebahagiaan di wajahnya sebab Leona yang selalu membuat Fedry tersenyum di saat-saat suka dukanya.Dan disinilah Leona sekarang tengah memandang baju pengantin dan di temani Tari ,sedari tadi ia menatap wajahnya di cermin, di saat hari bahagianya kedua orang tuanya sudah tidak ada jujur Leona begitu sangat merindukan kedua orang tuanya. Andai mereka masih hidup pasti ibu dan ayah Leona sangat bahagia anaknya menikah de
Setelah meninggalkan bandara, Ferdy berjalan dengan langkah berat menuju rumahnya. Langit senja mulai meredup, menambah suasana kelam yang menyelimuti hatinya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Leona, setiap tawa, tangis, dan kebahagiaan yang pernah mereka bagi.Sesampainya di rumah, Ferdy merasa hampa. Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang foto Leona yang selalu ada di meja kecil di samping tempat tidur. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya."Saat kamu pergi, Leona, aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku. Tapi aku tahu, kamu memilih jalan ini untuk kebaikan kita berdua. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari, takdir akan mempertemukan kita kembali," gumam Ferdy dengan suara bergetar.Beberapa hari berlalu, dan Ferdy mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Namun, hatinya tetap terasa kosong. Ia terus merindukan Leona, meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya di dep