Langit malam mulai terasa semakin pekat, Leona baru saja menyelesaikan shalat magribnya. Dalam dera kelelahan, ia masih asik berbaring di atas ranjang dengan mukena menutupi tubuh rampingnya. Rasanya malas sekali untuk makan malam, terlebih dengan ketidak pastian kapan Denis akan kembali ke rumah.
Jemari lentik Leona bermain-main dengan ponselnya, berharap ada kabar atau pesan singkat dari Denis. Namun sayang, pria itu terasa berbeda hari ini, tidak seperti biasanya. Denis hanya menghubungi sekali sepanjang hari, itupun sore tadi. Entah mengapa, hati Leona terus menerawang pada pesan singkat misterius yang terlihat di ponsel Denis. la bertanya-tanya, apakah Denis sedang menemui 'klien 1' itu? Leona berusaha keras untuk menepis dugaan negatif yang menyeruak dalam hatinya, yakin bahwa nomor tersebut milik seorang laki-laki. Namun, detik demi detik perasaan gelisah dan kesepian terus menghantui, merasuki sudut-sudut hati yaLeona mengepal tangannya saat membaca surat yang Tuti tinggalkan. Air mata mengalir deras di wajahnya yang pucat, membuat napasnya terasa tercekat. Hatinya menolak untuk percaya pada apa yang ditulis Tuti dalam surat itu. Namun, di lubuk hati yang paling dalam, sebuah keraguan mulai tumbuh. Menyangkut pernikahan, suami, dan masa depan yang seakan hancur di hadapannya. "Nggak mungkin, Mas Denis dan Mbak Saras nggak mungkin melakukan ini," Leona berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang goyah. Sekilas Leona menatap kembali surat itu, menggenggamnya begitu erat hingga tulisan pada kertas menjadi kerut. Kertas yang mungkin menjadi wasiat terakhir Tuti, pembantu rumah tangganya yang telah tiada. Leona menelan ludah, berusaha menepis rasa curiga yang makin menghantuinya. Dia merenung, mencoba mengingat momen-momen yang mencurigakan antara Denis dan Saras. Malam sebelum kejadian nahas itu, dia mendapati sua
Ceklek.. Dengan perlahan, Leona membuka pintu ruangan tersebut, matanya tak henti menelusuri setiap sudut ruangan. Tak dapat dipungkiri, rasa takut menggelayut erat di hatinya, hingga bulu kuduknya merinding. Bayangan wajah Tuti masih saja menghantuinya. Leona duduk di depan layar CCTV yang terpasang, dengan cepat ia mulai memutar kembali rekaman selama satu minggu terakhir, sejak Saras ada di rumahnya. Namun hasilnya nihil, tidak ada rekaman apa pun, bahkan sampai hari ini pun tidak ada. Leona tersenyum pahit, ia mengusap wajahnya yang pucat, rasa ketakutan itu memang sudah ada sejak lama, namun ia terus berusaha menepisnya, tak ingin urusan sepele menghancurkan bahtera rumah tangganya bersama Denis. Namun, setelah hari ini, setelah ia membaca surat itu dan melihat layar rekaman CCTV yang kosong, kepercayaan yang selama ini Leona bangun dengan tulus di atas cinta suci mereka, seolah runtuh tak bersisa.
Leona tersentak kaget ketika mendengar suara pintu terbuka. Detak jantungnya berpacu cepat, matanya menatap sekitar dengan wajah pucat, takut Denis memergokinya. Leona tak tahu alasan apa yang harus diutarakan. Terlebih lagi kertas putih dalam genggaman tangannya, ia bergegas menutup tas Denis, seketika merobek selembar kertas yang diambilnya dari dalam. Dalam sekejap, ia mendekati lemari sambil mencoba menyembunyikan kertas itu, seraya mencari alasan yang tepat untuk mengelak. "Sayang, kamu ngapain?" Denis menyernyitkan dahi, menatap istrinya dengan pandangan curiga yang menusuk ."Eh, aku.. nih, aku siapin baju buat kamu, Mas. Aku tahu kamu pasti capek banget kan?" Otak kecil Leona bergerak cepat mencari alasan, mengalihkan kecurigaan suaminya. Semoga saja Denis takkan curiga lebih jauh. Kecurigaan dalam hati Denis seketika memuncak, seiring dengan kegelisahan yang melanda jiwa. Sejak kematian Tuti, ia merasa tak tenang
Selama ini, meskipun ia adalah pemilik sah perusahaan, Leona sama sekali tidak ingin turun campur dalam pengambilan keputusan. Semuanya sudah ia serahkan pada Denis, termasuk soal keuangan. Betapa menyakitkan ketika harus merasakan sakit hati akibat perbuatan orang yang selama ini dianggap sebagai tempat bersandar. "Iya, aku tahu sayang. Kamu pasti akan melakukan yang terbaik untuk perusahaan. Aku sudah menyiapkan berkasnya; kamu hanya tinggal membubuhi tanda tangan seperti biasa," ujar Denis dengan serius, menatap Leona tepat di matanya. Denis bangkit dari ranjang, melangkah cepat menuju ruang ganti. Sudah pasti ia mencari surat yang Leona sembunyikan. Beruntung Leona berhasil menemukan surat tersebut lebih dahulu. Jika tidak, ia akan menandatangani surat itu tanpa membaca atau bahkan melihat detail isi surat itu. Hatinya berkecamuk, kekecewaan dan amarah bercampur aduk menjadi satu. "Kenapa kamu tegas ma
"Darimana aku harus memulai mencari tahu semuanya?" Gumamnya lirih, seraya langkah kakinya terasa berat menapaki anak tangga satu demi satu. Sekelebat bayangan Tuti melintas dalam benaknya, membuat dada Leona sesak, dan mata berair. "Mbok, Leona janji, kalau memang ternyata Denis ada hubungannya dengan kematian mbok, Leona akan memastikan dia mendekam di balik jeruji besi," ucapnya berjanji dalam hati, tak ingin memberatkan Tuti yang kini telah tiada. "Loh, kok diberesin, Nin? Nyonya kemana?" tanya Sulis, merasa heran melihat keadaan tersebut. "Naik ke atas, katanya mau pergi sama temannya," jawab Nina. Dahi Sulis berkerut, penasaran dengan kelakuan Nyonya mudanya. la merasa perlu memberitahu Denis. Mungkin saja Leona belum mengabarkan rencananya itu pada suaminya. "Ya sudah, kamu sama Bik Lastri makan, saya mau hubungin orang rumah saya dulu," pamit Suli
"Iya, sama mertua kamu juga malahan, emang kenapa?" tanya Tari, seraya mencoba mencerna kekhawatiran Leona. Leona tak menjawab, ia hanya menunjukkan ponselnya pada Tari, membuat wanita itu mengerutkan dahi, bingung. Dengan hati-hati, Tari mengambil alih ponsel milik Leona, memeriksa gambar yang sahabatnya tunjukkan. "Nah, iya! Anak perempuan ini yang digendong Denis," jelas Tari dengan yakin. Dia ingat betul melihat Denis bersama wanita dan dua anak kecil dalam foto tersebut, ada juga wanita paruh baya yang ia tahu sebagai mertua dari sahabatnya. Mendengar jawaban Tari, seketika Leona merasa terhempas ke palung yang dalam. Suami yang selama ini dia anggap setia ternyata telah membohonginya sejak lama. Air matanya berlinang, seakan menjerit menggugat. "Apakah benar yang Tuti katakan, jika Denis dan Saras main api? Tak mungkin wanita itu dan suamiku ada di bandara, apalagi ada mertuaku juga di sana..."
Leona meneguk ludah, mengingat bagaimana Denis begitu perhatian pada anak-anak Saras. Logika yang diungkapkan Tuti terasa semakin masuk akal. Tidak mungkin ada kedekatan begitu besar antara mereka, sementara Arya dan Denis yang seharusnya memiliki hubungan lebih erat, malah seolah terpisah. Mendalamnya lukisan hati yang tercabik-cabik, bagaikan tikaman sembilu merobek hati dan jantung Leona, membuat perih yang menyayat-nyayat batinnya. "Dari mana aku harus memulai Untuk mencari tahu, sementara selama ini aku sudah begitu percaya pada Denis, aku bahkan tidak pernah terbayang bahwa dia akan melakukan hal ini padaku," ujar Leona dengan lirih dan sendu. "Kamu tahu sendiri, sejak menikah aku nggak pernah terlibat dalam urusan perusahaan. Aku menyerahkan semua kepercayaan itu pada Denis, dia mengatur semuanya. Bagaimana mungkin aku bisa mengurus perusahaan tanpa dia?" tanya Leona pesimis, menggelengkan kepala dengan lemah. Ter
Leona menahan napas, menunggu respons dari dalam ruangan. Tak ada jawaban, namun derap langkah terdengar mendekat ke arah mereka. Hati Leona berdebar lebih cepat, hingga akhirnya terlihat sosok seorang pria paruh baya yang mungkin berumur sekitar 50 tahunan. "Leona, ayo masuk nak." la mengajak Leona, sambil tersenyum simpul. Terakhir kali mereka bertemu adalah 1,5 tahun yang lalu. Meski begitu, wajah pria itu tak pernah pudar dari ingatan Leona. Leona meresapi ruangan yang cukup luas itu. pandangan wanita itu menyapu setiap sudut ruangan. "Saya kaget ketika mendengar kamu datang, apa kabarmu, Nak?" Dalam suasana yang begitu mendalam, mereka saling menjabat tangan, sebelum akhirnya Anwar mempersilakan Leona duduk di sofa yang empuk. "Saya baik, Pak. Bapak sendiri apa kabarnya? Saya harap Bapak senantiasa sehat," ucap Leona dengan senyuman menghiasi wajah cantiknya. Tanpa disadari,
Di sinilah Ferdy berada di ruang UGD. Pria tampan itu tengah di periksa dokter di dalam, dan setelah beberapa saat menunggu akhirnya sang dokter keluar juga.Leona menghampiri dokter itu lebih dulu dan bertanya pada sang dokter bagaimana keadaan suaminya. Tari dan Rendy mengikuti Leona dari belakang."Dok gimana keadaan suami saya" tanya Leona dengan wajah cemasnya.Dokter itu tersenyum dan menjawab pertanyaan Leona."Ibu tenang saja suami ibu tidak apa-apa hanya saja dia kekurangan asupan makanan dan membuat tubuhnya menjadi tak bertenaga. Apa sebelumnya suami ibu sering muntah" tanya sang dokter di akhir kalimat."Iya dok sejak saya hamil dia sering muntah di pagi hari dan suami saya juga gak nafsu makan dok" jawab Leona."Nah di situ kendalanya buk, suami ibu ini tengah mengalami yang namanya morning sikcnees setiap pagi atau nama lainnya sindrom couvade pada calon ayahnya, ini memang biasa terjadi buk di setiap pasangan yang
Dua bulan kemudianPagi-pagi sekali suara muntahan pria tampan memenuhi kamar mandi, ia tengah memuntahkan isi perutnya yang sama sekali tak mengeluarkan apa-apa yang keluar hanyalah cairan bening dan kental. Siapa lagi kalau bukan Ferdy ya Ferdy tengah mengalami morning sickness atau bisa di sebut sindrom couvade, morning sickness seharusnya Leona yang mengalami kini berbanding balik Ferdy lah yang mengalaminya, dua Minggu sudah Ferdy tak masuk kerja di karnakan tubuhnya yang tak bertenaga dan nafsu makan pun berkurang.Ya Leona tengah hamil anak pertamanya, dan morning sickness itu Ferdy yang mengalami bukan Leona, awalnya memang baik-baik saja tetapi saat kandungan Leona memasuki 2 Minggu mual muntah selalu menghampiri Ferdy tiap pagi. Leona terkadang merasa khawatir akan kondisi Ferdy yang semakin lama semakin lemas tak bertenaga Leona pernah menyuruhnya untuk pergi ke rumah sakit agar di berikan beberapa vitamin atau semacam obat agar Ferdy bisa bertenaga lagi
Ferdy mengemudi mobilnya dengan kecepatan sedang sembari tangannya mengelus puncak kepala sang istri, senyuman Ferdy tak pernah luntur sejak tadi pria tampan benar-benar sangat bahagia setelah dirinya menikahi wanita yang amat ia cintai, sebelum pulang. Leona meminta Ferdy mengantarkan dirinya ke makam sang ayah dan ibunya, wanita cantik itu merindukan orang tuanya, Ferdy dengan cepat mengiyakan ucapan sang istri.Sesampainya di pemakam, Ferdy dan Leona sama-sama turun dari mobil. Ferdy menggandeng tangan Leona menuju makam ayahnya yang bersebelahan dengan makam ibunya."Assalamualaikum Pah Mah "ucap Leona dan Ferdy yang saat ini sudah berada di tengah makam orang tuanya."Pah Mah, lihatlah Leona sekarang gak sendiri lagi. Leona udah ada yang jagain" ucap Leona pertama kali."Sekarang Papa sama Mama jangan sedih lagi liat Leona dari atas sana, Leona sekarang udah bahagia seperti yang pernah ayah bilang" ucap Leona dengan suara serak, Leona berusah
Tangan lebar nan kasar itu kini berada di bukit kembar Leona, Ferdy merasakan bukit Leona yang masih terasa padat dan berisi, dan perlahan tapi pasti Ferdy meremas bukit kembar Leona dengan lembut hingga membuat Leona sedikit melenguh di sela-sela lumatan bibir mereka. Setelah di rasa Leona kehabisan patokan oksigen, barulah Ferdy melepaskan tautan bibirnya dari bibir Leona. Leona menghirup udara sebanyak-banyaknya seakan udara di kamar mandi tidak cukup untuk dirinya.Ferdy belum menghentikan aksinya, kini kepalanya berada di ceruk leher sang istri dan kembali membuat tanda kepemilikan di sana, padahal tanda semalam belum hilang dan sekarang Ferdy memberikannya lagi.Leona menutup matanya merasakan Ferdy yang menghisap lehernya sedikit kuat dan itu membuat Leona meleguh karnanya apa lagi di tambah sensasi yang di berikan Ferdy yaitu meremas salah satu bukit kembar Leona."Ah Mas hentikan sudah cukup gumam Leona sambil menahan sesuatu yang bergej
Leona melebarkan matanya melihat pusaka Ferdy yang besar dan sedikit panjang.Leona meringis sendiri dalam hatinya. Apakah muat punya Ferdy masuk ke goa kenikmatannya, ah rasanya pasti menyakitkan tapi enak batin Leona.Perlahan Ferdy memposisikan tubuhnya di tengah-tengah paha Leona, "Kamu siap sayang?" tanya Ferdy.Leona mengangguk sebagai jawaban.Melihat anggukan sang istri. Pria tampan itu mulai meluruskan posisinya, dan perlahan tapi pasti pusaka yang sudah berdiri tegak itu mulai memasuki goa surganya."Gak usah di tutup matanya, ga usah malu. Teriak aja sayang, mendesah aja yah gak bakalan ada yang dengar kamar ini kedap suara kamu bisa teriak sekerasnya" ucap Ferdy.Sebelum melakukannya lagi Ferdy melumat bibir Leona, ia juga mulai memasukkan Pusakanya di goa kenikmatan istrinya kali ini Ferdy tidak pelan-pelan lagi, melainkan sekaligus sebab dirinya sudah penuhi oleh nafsu yang tertahan."Aahhh Mas enak banget"ucap
Ragu-ragu Leona mengangguk kecil, melihat anggukan sang istri. Ferdy mendekati Leona dan menyuruh istrinya itu membalikkan tubuh.Leona berbalik dengan wajahnya menghadap cermin wastafel sembari memandang Ferdy yang mulai membuka perlahan resleting gaun nya.Jantung Leona saat ini tidak sedang baik-baik saja, ia merasakan detak jantung yang begitu cepat serta keringat dingin di telapak tangannya, Leona benar-benar sangat gugup, apa lagi saat melihat Ferdy yang sudah melepaskan resleting gaun dan menatap punggungnya yang putih bersih tanpa noda."Putih banget kulit kamu sayang" ucap Ferdy pelan.Leona tersenyum malu mendengar perkataan sang suami.Ferdy mulai membuka gaun yang tak berlengan itu. Cara Ferdy membukanya yaitu dengan menurunkan gaun tersebut ke bawah tetapi sebelum melakukannya Leona menahan tangan Ferdy agar tak meneruskan membuka gaun tersebut."Kenapa sayang?" tanya Ferdy yang bingung."Kamu mau ngapain" tanya
Setelah ijab qobul disebutkan oleh Ferdy para tamu pun memberikan selamat pada kedua mempelai, kini Ferdy dan Leona berdiri di pelaminan, beberapa tamu masih ada yang belum memberikan selamat dan mereka juga menyempatkan diri menyalami Ferdy dan Leona lalu mengucapkan kata samawa pada kedua mempelai.Dan sebagian tamu juga ada yang sudah pulang dan ada yang masih betah di acara tersebut.Pak Anwar pun mendekati pengantin baru itu, " Selamat yah nak atas pernikahan kalian, bapak berharap kalian bahagia hingga maut memisahkan, Pak Ferdy saya titipkan nak Leona yah, sayangi dia" Ucap Pak Anwar sembari menepuk pundak Ferdy kemudian menyalami mereka berdua.Tari dan Rendy juga tak lupa memberikan selamat untuk Ferdy dan Leona, mereka berdua pun segera menghampiri sahabatnya itu."Selamat yah Leona sekarang kamu udah jadi istri Ferdy. Semoga pernikahan kalian samawa sampai kakek nenek" Ucap Tari pada Leona, tangan mereka saling bertautan di udara.
Satu bulan kemudian.......Dan satu minggu penuh Ferdy dan Leona habiskan untuk persiapan acara pernikahannya, dari fitting baju pengantin sampai dekorasi ballroom hotel yang mereka sewa satu minggu yang lalu.Dan hari itu pun tiba. Ferdy yang ingin menikahi Leona setelah perjuangan panjang yang ia lewati. Semua kesalah pahaman yang pernah singgah di sela-sela hubungannya, dan drama lainnya semua ia lewati. Dan akhirnya semua telah selesai.Semenjak kembalinya Leona di sisi Ferdy, lelaki tampan itu selalu tersenyum dan tampak sekali kebahagiaan di wajahnya sebab Leona yang selalu membuat Fedry tersenyum di saat-saat suka dukanya.Dan disinilah Leona sekarang tengah memandang baju pengantin dan di temani Tari ,sedari tadi ia menatap wajahnya di cermin, di saat hari bahagianya kedua orang tuanya sudah tidak ada jujur Leona begitu sangat merindukan kedua orang tuanya. Andai mereka masih hidup pasti ibu dan ayah Leona sangat bahagia anaknya menikah de
Setelah meninggalkan bandara, Ferdy berjalan dengan langkah berat menuju rumahnya. Langit senja mulai meredup, menambah suasana kelam yang menyelimuti hatinya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Leona, setiap tawa, tangis, dan kebahagiaan yang pernah mereka bagi.Sesampainya di rumah, Ferdy merasa hampa. Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang foto Leona yang selalu ada di meja kecil di samping tempat tidur. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah, membasahi pipinya."Saat kamu pergi, Leona, aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku. Tapi aku tahu, kamu memilih jalan ini untuk kebaikan kita berdua. Aku hanya bisa berharap bahwa suatu hari, takdir akan mempertemukan kita kembali," gumam Ferdy dengan suara bergetar.Beberapa hari berlalu, dan Ferdy mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa. Namun, hatinya tetap terasa kosong. Ia terus merindukan Leona, meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya di dep