Tepat pukul delapan pagi, Denis dan Leona turun untuk bersarapan. Berbarengan dengan Saras yang juga baru saja keluar dari kamar bersama anak-anaknya. Wanita itu membawa koper dan ransel siap untuk berangkat, karena hari ini memang ia akan meninggalkan rumah ini.
"Loh, Mbak, kok udah siap-siap? Aku pikir Mbak pergi nanti sore," ucap Leona dengan heran. Saras tersenyum tipis, mencoba untuk tetap tenang. Keluarga suamiku udah nggak sabar pengen ketemu Mayra dan Miko, Leona. Mereka bahkan sudah mengirim taksi online untuk menjemput kami," jawabnya, menciptakan sebuah alasan. Padahal, semua ini adalah rencana yang disusun oleh Denis dan Saras sendiri. Keduanya sengaja merubah niat utama, takut perbuatan mereka semalam sampai ditelinga Leona. "Sayang sekali, Mbak. Hari ini, Mas Denis libur, loh. Dia bisa mengantar kita jalan-jalan," sahut Leona dengan semangat."Mas, jadi mau ke ruang CCTV nggak?" tanya Leona, saat mereka masuk ke dalam rumah setelah mengantarkan Saras pergi. Denis mengangguk pelan, seraya mengusap puncak kepala istrinya dengan penuh kasih sayang. "lya, aku pinjam sebentar ya, berkas itu sudah agak lama, jadi aku agak lupa taruh di mana," ujarnya berbohong, menutupi rencananya yang sesungguhnya. Tak sengaja, obrolan keduanya terdengar jelas oleh Tuti. Wanita itu merasa semakin cemas, keringat dingin bercucuran di keningnya saat mereka berpapasan. Denis tersenyum dengan sisa-sisa kejahatan di bibirnya, matanya yang tajam menatap Tuti yang hanya mampu menundukkan kepala. Raut panik yang tak tertahankan pun melukiskan wajah tuanya. "Aku temani kamu masuk ke sana ya, sayang," tawar Leona dengan tulus, ia sama sekali tidak menaruh curiga atau menyadari Denis yang masih terus menatap Tuti. Denis, deng
Leona menatap langit-langit kamarnya, pikiran nya tak bisa lepas dari sikap aneh pembantu rumah tangganya. la merasa jika Tuti menyembunyikan sesuatu, namun wanita paruh baya itu terus mengelak saat ditanya. Alasan yang diungkapkan Tuti adalah meminjam uang untuk mengirimkan ke kampung. Menurut Leona, itu sangat mencurigakan. "Sayang, kok ngelamun?" tanya Denis, membuyarkan lamunan Leona mengenai Tuti. "Mas, udah mandinya?" sahut Leona seraya menatap sang suami yang sedang menyisir rambutnya dengan rapi. Denis melangkah mendekati ranjang, pria itu mencium bibir istrinya dengan penuh gairah. "Kenapa melamun, Sayang? Apa yang sedang kamu pikirkan?" Leona menghela napas dalam-dalam, ia terduduk sambil menatap wajah tampan Denis. Entah mengapa, ketika mendiang ayahnya meminta ia menikah dengan Denis, ia langsung menerima tanpa menolak atau mencari tahu lebih dalam. Sikap Denis yang le
"Mbok!" Pekik Leona, suara lantang wanita itu mengejutkan Denis yang berada di sampingnya. Denis segera mengikuti arah pandangan istrinya, ekspresi kaget pun tak bisa disembunyikan ketika melihat sosok Tuti tergeletak di bawah dengan darah menggenang di sekitarnya. Mereka pun bergegas turun untuk memastikan keadaannya. Jantung Leona berdetak kencang, dihantui oleh rasa syok dan ketakutan. Setibanya di lantai bawah, Leona hanya bisa mematung menatap tubuh Tuti, wanita paruh baya yang sudah lama setia bekerja di rumah mereka. "Mas... Mbok Tuti, kenapa?" tanya Leona, tubuhnya gemetar hebat. Denis bersimpuh di samping Tuti, pria itu dengan hati-hati menempelkan jari-jarinya di hidung Tuti, berharap masih merasakan hembusan nafasnya. Namun, apa yang didapati hanya kehampaan. Denis menatap Leona lalu menggeleng perlahan, memberi kabar duka bahwa Tuti sudah tak lagi bernyawa. "Nyonya, Tu
Jarum jam menunjukkan angka satu dini hari. Leona terlarut dalam lamunan, matanya menatap jalanan gelap yang dilewati mobil mereka. Percakapan antara dia dan anak-anak Tuti tadi masih terngiang-ngiang di telinganya, menciptakan rasa kegelisahan di dalam hatinya. Entah mengapa, ada sesuatu yang meresahkan tentang kematian ART mereka tersebut. Pagi tadi, Tuti sempat berbicara terbata, seperti hendak menyampaikan sesuatu, namun ketika suaminya tiba, wanita paruh baya itu malah beralasan meminjam uang untuk kebutuhan mendesak. Padahal anak-anaknya tidak menyebut hal seperti itu. Mungkinkah mereka tidak tahu apa-apa? Berpikir tentang itu membuat kepala Leona pening. la berusaha memejamkan mata, menyandarkan tubuhnya di samping Denis yang tampak sibuk memainkan ponselnya. "Mas, tadi aku bicara sama anak-anak mbok Tuti, kalau ada yang butuh pekerjaan, aku minta mereka datang ke rumah kita," ucap Leona, memecah keheningan malam itu.
Suara gemercik air membangunkan Leona. Wanita itu baru tersadar ketika jarum jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Setelah shalat subuh, ia kembali terlelap, begitu pula dengan suaminya. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan sosok Denis yang tampak segar dengan handuk melilit pinggulnya. Leona berharap hari ini Denis tidak lagi bersikap dingin dan marah karena perkataan semalam. "Sayang, sudah bangun?" tanya Denis, dengan tatapan lembut pada sang istri yang kini duduk dan tengah memperhatikan dirinya. Leona mengangguk, lalu bertanya dengan suara lirih, " Kamu ngantor hari ini?" "Aku ada pertemuan penting, harus bertemu dengan klien. Kamu istirahat saja di rumah, jangan pergi kemana-mana ya, soalnya Tomi akan menemaniku," interupsi Denis seraya menggunakan pakaiannya. Dalam hati, Leona merasa lega sekaligus cemas. la berharap kehangatan suami-istrinya kembali
"Sayang, kamu ngapain?" Tanya itu seakan menghujam jantung Leona. Wanita itu terkesiap, sadar itu adalah suaminya. Secepat kilat, ia mengumpulkan tenaga untuk menguasai diri, berdoa agar suaminya tak curiga. "Mas, aku baru saja mau menghubungi Tomi. Mau bilang kalau hp Mas ketinggalan. Tadi aku merapikan bantal, trus lihat hp Mas," jawab Leona dengan nafas yang berat, ia mendekati Denis yang memperhatikannya tajam. "Ada yang hubungi aku nggak?" tanya pria itu, tatapannya penuh curiga. Leona menggeleng. "Nggak tahu, aku nggak liat, aku cuma liat hp Mas trus mau hubungi Tomi. Eh, malah Mas udah balik aja," ia menyembunyikan kegelisahan di balik senyum tipis. Denis terdiam, matanya menelusuri layar ponselnya. Tak lama, ia mendekati Leona, mencium dahinya dengan lembut lalu meninggalkan ruangan itu. "Aku balik ke kantor, nanti pulang
Langit malam mulai terasa semakin pekat, Leona baru saja menyelesaikan shalat magribnya. Dalam dera kelelahan, ia masih asik berbaring di atas ranjang dengan mukena menutupi tubuh rampingnya. Rasanya malas sekali untuk makan malam, terlebih dengan ketidak pastian kapan Denis akan kembali ke rumah. Jemari lentik Leona bermain-main dengan ponselnya, berharap ada kabar atau pesan singkat dari Denis. Namun sayang, pria itu terasa berbeda hari ini, tidak seperti biasanya. Denis hanya menghubungi sekali sepanjang hari, itupun sore tadi. Entah mengapa, hati Leona terus menerawang pada pesan singkat misterius yang terlihat di ponsel Denis. la bertanya-tanya, apakah Denis sedang menemui 'klien 1' itu? Leona berusaha keras untuk menepis dugaan negatif yang menyeruak dalam hatinya, yakin bahwa nomor tersebut milik seorang laki-laki. Namun, detik demi detik perasaan gelisah dan kesepian terus menghantui, merasuki sudut-sudut hati ya
Leona mengepal tangannya saat membaca surat yang Tuti tinggalkan. Air mata mengalir deras di wajahnya yang pucat, membuat napasnya terasa tercekat. Hatinya menolak untuk percaya pada apa yang ditulis Tuti dalam surat itu. Namun, di lubuk hati yang paling dalam, sebuah keraguan mulai tumbuh. Menyangkut pernikahan, suami, dan masa depan yang seakan hancur di hadapannya. "Nggak mungkin, Mas Denis dan Mbak Saras nggak mungkin melakukan ini," Leona berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang goyah. Sekilas Leona menatap kembali surat itu, menggenggamnya begitu erat hingga tulisan pada kertas menjadi kerut. Kertas yang mungkin menjadi wasiat terakhir Tuti, pembantu rumah tangganya yang telah tiada. Leona menelan ludah, berusaha menepis rasa curiga yang makin menghantuinya. Dia merenung, mencoba mengingat momen-momen yang mencurigakan antara Denis dan Saras. Malam sebelum kejadian nahas itu, dia mendapati sua