Tangan Revan mengepal, ia memukul meja kerjanya dengan penuh emosi. Sungguh, ia tidak menyangka Clara akan sangat berani dan lancang seperti itu. Ia jadi mulai berpikir, sebenarnya apa yang wanita itu miliki sampai-sampai tidak kenal rasa takut?
Sambil menunggu Angga kembali, Revan memerintahkan salah satu anak buahnya untuk mencari tahu semua tentang Clara. Setelah anak buahnya undur diri, bersamaan dengan itu Ariana masuk ke ruangannya. Rasa kesal yang semula dirasakannya perlahan menghilang saat melihat senyuman manis Ariana. Wanita yang sangat Revan sayangi.
Ariana memastikan pintu ruangan Revan benar-benar terkunci, setelah itu ia langsung duduk di pangkuan pria itu, membuat paha mulusnya langsung terekspos karena rok yang dikenakannya sangat pendek.
"Sayang, aku tadi sempat menelepon Rima. Katanya, kamu sedang tidur nyenyak," ucap Revan seraya memeluk Ariana dari belakang.
"Itu tadi, tapi sekarang aku sudah bangun dan langsung ke sini untuk menemui Mas Revanku tersayang." Jika sedang berdua seperti ini, Ariana memang memanggil Revan dengan sebutan Mas, bukan Pak.
Revan mulai menggigit kecil telinga Ariana, memberikan sensasi nikmat di sana. Desahan Ariana, seakan membuka jalan untuk Revan melanjutkan aksinya. Tangannya mulai membuka kancing baju yang Ariana kenakan. Namun, Ariana langsung terperanjat.
"Sayang, maaf ... sebenarnya aku juga ada meeting dengan sutradara dan para pemain sebentar lagi, di rumah produksi," jelas Ariana seraya berdiri. Ia lalu berjalan ke belakang kursi Revan agar bisa memeluk pria itu dari belakang, setidaknya hal itu bisa mengurangi kekecewaan Revan.
"Aku janji, nanti malam akan datang ke rumahmu, Mas," tambahnya seraya mengecup pipi Revan.
Revan tersenyum. "Boleh, kita harus melepas rindu sepanjang malam, Sayang. Siap?"
"Tentu saja, Mas."
"Tunggu, kamu mau meeting?" tanya Revan memastikan dan dijawab anggukan mantap oleh Ariana.
"Iya, Mas. Sekitar setengah jam lagi."
"Dengan pakaian seperti itu?!" Nada bicara Revan mulai meninggi.
Ariana meringis. "Bukankah aku sangat cantik?"
"Pakaianmu memancing para pria untuk melirik, Baby. Bisakah kamu menggantinya?"
"Hmm. Bagaimana, ya?" Ariana pura-pura berpikir. Nada bicaranya sengaja menggoda Revan.
"Ariana...."
"Bisa, Mas ... bisa. Jangan keluarkan tanduknya, oke? Aku akan menggantinya, kok." Ariana tersenyum lalu berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. "Ngomong-ngomong ... apa Mas sedang ada masalah? Saat aku masuk, wajahmu tampak sangat kusut."
"Biasa, ada aktor yang membuat masalah. Aku hanya sedang berusaha membereskannya. Kamu tahu sendiri, hal-hal seperti itu kadang membuatku pusing," jelas Revan. "Tapi Angga sudah berusaha berbicara dengan yang bersangkutan. Dan sekarang aku sedang menunggunya kembali."
Ariana tahu, pasti orang bersangkutan yang Revan maksud adalah Clara. Ariana juga yakin pasti Revan sudah mendengarkan pembicaraan Clara dan Angga melalui alat penyadap yang Angga bawa. Ia hafal betul karena Revan biasa melakukannya.
Mengingat Revan tetap bersikap biasa saja padanya, jelas Ariana merasa lega. Pasti Clara tidak mengungkit-ungkit namanya. Bagus, dengan begitu Ariana tetap aman.
"Kalau begitu aku siap-siap dulu ya, Sayang. Aku juga harus ganti baju, sesuai keinginanmu, Mas." Ariana kembali berjalan menghampiri Revan. Sejenak ia mencium bibir pria itu dan berkata, "I love you, semoga masalahnya cepat selesai. Aku juga berharap para aktris maupun aktormu berhenti membuat masalah lagi. Aku nggak mau calon suamiku ini terus-terusan pusing dan membereskan keonaran yang mereka buat."
Revan tersenyum, lalu balas mencium bibir Ariana. "Aku tunggu nanti malam. Dandan yang cantik dan seksi, oke?"
Ariana mengedipkan sebelah matanya, lalu bergegas meninggalkan Revan. Di luar ruangan, ia mendapati Angga sedang berdiri.
"Mas Revan sudah menunggumu," bisik Ariana. Angga adalah asisten pribadi Revan dan salah satu orang yang tahu tentang hubungan Revan dan Ariana. Itu sebabnya Ariana santai saja menyebut Revan dengan sebutan Mas.
"Baik." Angga pun membungkuk hormat pada Ariana lalu bergegas masuk ke ruangan Revan.
Sedangkan Ariana berjalan menuju ruang ganti. Pasti Rima sudah menunggunya di sana.
***
Revan saat ini berada di night club yang biasa ia kunjungi ketika ingin melepas penat atau sedang stres. Ia berencana sedikit minum di sana sambil menunggu Ariana menghubunginya dan siap menghabiskan malam bersamanya. Menurut Revan, jika menunggu di rumah rasanya lebih membosankan. Lagi pula sudah lama ia tidak pernah datang ke sini karena sangat sibuk.
Sambil menuangkan wine ke gelasnya, Revan melihat ke arah lantai dansa yang sudah dipenuhi orang-orang yang tengah berjoget sekaligus menikmati alunan musik super keras yang dimainkan oleh seorang disc jockey.
Di ruangan bernuansa gelap dan hanya bermodalkan lampu sorot yang berputar-putar serta lampu hias lainnya itu, nyaris semua orang berbaur. Tak peduli mereka belum saling mengenal atau tengah diliputi masalah, di sini adalah tempat untuk bersenang-senang.
Angga berjalan menghampiri Revan yang sedang menenggak minumannya. "Bos."
"Bagaimana? Ariana udah ke sini?" tanya Revan, sangat jelas kalau pria itu sudah sangat mabuk.
Angga menggeleng berulang saat menyadari ternyata bosnya sudah menghabiskan beberapa botol alkohol dengan dosis tinggi. Padahal sebelumnya Revan hanya berkata akan minum sedikit.
"Ariana ada di mobil, Bos," jawab Angga sambil membantu Revan berdiri. Ya, tidak mungkin Ariana masuk dan menghampiri Revan. Selain merusak reputasi Ariana sebagai aktris berkelakuan baik, juga jangan sampai ada yang tahu tentang status hubungan mereka.
Sambil membantu Revan berjalan, Angga kemudian berkata, "Tapi dia sedang kesakitan, Bos."
Revan berhenti sejenak. "Kesakitan?"
"Dia bilang, baru saja tamu bulanannya datang," bisik Angga.
"Shit!" Revan baru ingat, tanggal-tanggal segini Ariana memang datang bulan. Tanpa Revan sadari, sebenarnya Ariana berbohong.
Sesampai di mobil, Revan langsung duduk di samping Ariana. Ariana tampak menutup mulut dan hidungnya menggunakan telapak tangan. "Berapa banyak yang kamu minum, Sayang?! Kamu sangat mabuk, Mas," ujar Ariana dengan nada tinggi. Ia kesal. Malas sekali jika harus satu mobil dengan pria yang sedang mabuk. Andai tahu hal ini akan terjadi, lebih baik ia pulang bersama Rima.
"Aku nggak jadi menginap di rumahmu. Angga pasti sudah memberitahumu, kan? Ditambah aku harus syuting pagi-pagi sekali, aku ingin istirahat dan tidur lebih awal," tambah Ariana.
"Ya, aku mengerti. Sekarang aku antar kamu pulang ya," balas Revan.
"Kamu serius? Dalam kondisi begini?"
"Maksudku, Angga yang menyetir, Baby." Entahlah, Revan sepertinya sudah antara sadar dan tidak sadar.
"Revan, ya Tuhan ... kamu tahu sendiri aku benci saat dekat-dekat dengan pria yang mabuk berat, nggak terkecuali kamu."
Revan tidak menjawab.
"Angga, kenapa kamu membiarkan bos minum sebanyak ini, sih?!" marah Ariana.
"Maaf, Ar ... saya tidak tahu-menahu karena diperintahkan untuk menjemputmu," jawab Angga yang sudah siap di kursi kemudi.
"Kalau begitu, aku mau naik taksi saja. Jadi, kalian langsung pulang aja, oke?"
Saat Ariana hendak turun, Revan dengan cepat menahan tangan wanita itu. "Biar aku yang naik taksi. Kamu pulang bersama Angga," ucapnya setengah sadar. Ia lalu beralih pada Angga. "Carikan taksi untukku."
"Ba-baik, Bos."
Beberapa saat kemudian, sesuai perintah Revan bahwa Angga mengantar Ariana pulang. Sedangkan Revan kini sudah berada di dalam taksi. Sambil memejamkan mata, secara tidak sadar ia menyerahkan sebuah alamat yang ada di saku kemejanya pada sopir taksi. Alamat yang Angga berikan padanya tadi sore, yakni alamat seorang wanita yang sempat Angga datangi hari ini. Clara.
"Loh, jadi yang benar yang mana?" tanya sopir taksi itu. Sebelumnya Angga memang sudah memberi tahu alamat rumah Revan, jelas saja sang sopir menjadi bingung.
"Jangan banyak tanya, lebih baik cepat ke alamat itu," balas Revan, masih memejamkan mata.
"Ba-baik, Tuan. Saya akan mengantarkan ke alamat ini."
Clara melempar ponselnya ke samping bantal. Ia sangat menyayangkan cuti tahunan yang sudah berusaha ia hemat demi seminggu bersama Benny mubazir sudah. Padahal awalnya ia membayangkan setiap malam akan memasakkan makanan spesial untuk Benny tak peduli kalau pria itu pulang tengah malam sekalipun. Terlebih besok hari ulang tahun Benny. Ah sial, semuanya hancur.Clara juga sudah me-list alternatif lain, tapi sama sekali tidak menemukan orang yang pas untuk menghabiskan waktu bersamanya. Semua teman-temannya sibuk bekerja dan memiliki jadwal sendiri. Sepertinya ia hanya akan di rumah saja, makan dan tidur seperti zombi.Clara menarik selimutnya, bersiap untuk tidur. Namun, suara bel bergantian dengan suara ketukan pintu pagar membuatnya terduduk. Diliriknya jam dinding di kamar yang kini menunjukkan pukul sebelas malam. Orang gila mana yang bertamu jam segini? Pikirnya.Ah, tiba-tiba terbesit dalam benak Clara, mungkinkah itu Benny? Setelah kejadian tadi siang, pria itu memang sama sekal
Suara desahan penuh gairah bersahutan seakan memenuhi kamar yang kini ditempati oleh Benny dan Ariana. Kamar tempat biasa mereka melakukan aktivitas seks tanpa takut ketahuan. Sebenarnya kemarin mereka sempat ketahuan oleh Clara.Meskipun sampai detik ini Benny masih khawatir dengan ancaman Clara, tapi Ariana berhasil mengalihkan segalanya. Apalagi Ariana menjamin kalau Revan pasti bisa membereskan ini semua, sehingga Benny bisa agak tenang. Mereka juga sudah mengganti password sehingga seratus persen yakin kalau Clara tidak mungkin bisa masuk lagi.Keduanya masih sama-sama telanjang, dan tubuh mereka masih menyatu dengan Benny yang berada di atas tubuh telanjang Ariana. Benny lalu mempercepat gerakan yang semula perlahan. Ariana yang semakin terpacu gairahnya, seakan meminta Benny lebih cepat lagi. Sampai pada akhirnya wanita itu berhasil mencapai puncaknya, kemudian Benny menyusulnya."Sarapan pagi yang nikmat," bisik Ariana seraya tertidur menyamping menghadap Benny yang tampak kel
Tangan dan kaki Revan sudah terbebas dari syal yang sempat terikat kuat. Sekarang Revan dan Clara sudah duduk berhadapan di sofa yang saling berseberangan. Ada meja bundar yang menjadi jarak antara mereka. Di meja itu terdapat dua gelas minuman yang sebelumnya disiapkan oleh Clara."Tentang bukti yang aku punya ... aku nggak mau kasih lihat sekarang."Revan lalu berusaha tenang dan bertanya, "Kenapa?""Kamu bisa lihat sendiri nanti kalau aku udah share. Aku yakin bakal merajai pencarian utama dan dibahas semua media," jawab Clara penuh keyakinan. "Lagian nggak ada untungnya juga ngasih lihat."Sudah Revan duga, Clara pasti tetap teguh pada pendiriannya."Jadi, apa maumu sekarang?" tanya Revan to the point."Keinginanku sederhana, aku mau karier Ben berantakan."Revan mengernyit. "Itu menurut kamu sederhana?""Ya, aku cuma mau dia menyesal udah berani selingkuh. Padahal, kalau dia udah bosan atau hubungan kami nggak bisa dilanjutkan lagi ... seharusnya dia putusin aku secara baik-baik,
"Maaf, Bos ... kenapa tiba-tiba ada di rumah Clara?" tanya Angga setelah mobil yang dikemudikannya mulai berjalan meninggalkan area tempat tinggal Clara. Sungguh, ia kira bosnya itu pulang ke rumah yang mereka tinggali, terlebih ia tidak mengecek lagi apakah Revan sudah benar-benar sampai di rumah atau belum."Aku rasa karena alamat yang kamu berikan kemarin sore, sopir taksi membawaku ke sana. Atau mungkin secara tidak sadar aku yang memintanya. Entahlah, aku juga nggak terlalu ingat.""Padahal saya sudah meminta sopir taksi itu—""Bukan masalah. Aku rasa ini kesalahanku yang mabuk berat," potong Revan. "Hmm, tapi Ariana nggak tahu hal ini, kan? Dia memang nggak kenal siapa Clara, tapi dia pasti makin marah kalau tahu aku bermalam di rumah wanita lain. Aku mabuk aja udah bikin dia marah, apalagi kalau tahu hal ini. Bisa-bisa semakin ngamuk. Ditambah dia lagi datang bulan.""Saya rasa dia nggak tahu, Bos."Revan mengembuskan napas lega. Ia hanya tidak ingin wanita yang dicintainya sal
Di sela-sela pesta, Revan memasuki sebuah kamar hotel. Ia masuk duluan dan Ariana akan menyusulnya beberapa menit kemudian. Mereka memang sengaja masuk secara terpisah untuk menghindari orang-orang mengetahui hal ini.Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya Ariana masuk. Revan langsung menyambutnya dengan senyuman penuh kerinduan. Sedangkan Ariana segera menghampiri pria yang kini duduk santai bersama ponselnya di sofa dekat jendela."Maaf membuatmu menunggu lama, Mas."Setelah Ariana duduk di sampingnya, Revan secepatnya meletakkan ponselnya di meja. Ia kemudian merangkul Ariana. "Aku yang seharusnya minta maaf. Maaf untuk kejadian kemarin malam ya, Sayang. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku tadinya mau ke rumahmu pagi-pagi sekali, tapi—""Sejujurnya aku ingin marah, terlebih tamu bulanan membuatku mudah mengeluarkan tanduk. Tapi ... aku ingat seminggu lagi aku berangkat dan kita akan LDR selama kurang lebih tiga Minggu. Bukankah terlalu membuang-buang waktu untuk merajuk?" ucap Ar
Ariana berbohong. Tadi ia bilang pada Revan akan langsung pulang dengan diantar oleh manajernya. Namun nyatanya, saat ini ia berada di tempat biasa bersama Benny. Ia bahkan sempat membuat Rima mabuk sehingga manajernya itu tidak perlu mengantarnya. Malah sebaliknya, ia yang menyetir untuk mengantar Rima pulang kemudian lanjut naik taksi ke apartemen Benny."Syukurlah aku tenang sekarang. Revan benar-benar bilang semua bakalan teratasi, kan?""Iya, Ben. Sekarang waktunya move-on dari wanita sialan itu," balas Ariana."Aku nggak nyangka, Clara yang bantu aku sampai berada di titik ini ... tapi dia juga yang mengancam mau menghancurkannya."Ariana berjalan ke arah sofa yang Benny duduki, lalu ikut duduk di sampingnya. "Keterlaluan, kan? Hanya karena diselingkuhi doang sampai segitunya. Menghancurkan karier? Dasar wanita nggak tahu diri!"Sejujurnya Benny juga merasa bersalah. Walau bagaimanapun Clara sudah mewarnai harinya selama bertahun-tahun. Namun, saat nasi sudah menjadi bubur seper
Setelah cuti selama satu Minggu. Kini tiba saatnya Clara kembali bekerja. Ia sudah membayangkan beberapa pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk di meja. Itu sebabnya di Senin yang pasti sangat sibuk ini, Clara memutuskan berangkat lebih awal.Clara terkejut sekaligus bingung saat memasuki ruang kerjanya. Bagaimana tidak, mejanya tampak bersih. Semua barang-barangnya sudah rapi disimpan dalam satu kotak. Sayangnya beberapa rekan kerja yang juga menempati ruangan ini belum ada yang datang sehingga tidak ada yang bisa ia tanyai tentang hal ini.Clara tidak habis pikir, padahal ia cuti hanya seminggu saja, tapi keadaan sudah berubah drastis seperti ini. Sebenarnya ada apa? Sungguh, ia kebingungan sekarang.Beberapa saat kemudian, salah satu rekan kerjanya masuk. Rahma, dengan tatapan bingung meletakkan tas tangannya di meja kerjanya, tepat di samping meja Clara. Ia juga sama bingungnya dengan Clara saat melihat barang-barang Clara sudah dikemas rapi."Mau ke mana, Cla?""Aku yang harusn
'Jagalah musuhmu agar selalu tetap berada dalam jangkauan'. Ya, itulah yang Revan lakukan sekarang. Ia melakukan hal yang mungkin menurut orang licik dan terkesan gila. Namun, ini ia lakukan demi melindungi WE dan aktornya. Revan berhasil membawa Clara masuk ke dalam perangkapnya dan bisa dipastikan wanita itu tidak akan berani macam-macam lagi.Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi jika saja Clara mau bersepakat dengannya. Namun, karena wanita itu sulit diatur, Revan tidak memiliki pilihan selain mencari cara agar bisa mengendalikan wanita itu. Ia yakin, Clara menyesal setengah mati sudah berurusan dengannya.Sambil duduk di sofa bersama secangkir kopi yang tersisa setengah, Revan menatap Clara yang masih memejamkan matanya. Ya, Clara masih tertidur menyamping ke arah matahari terbit. Sepertinya sebentar lagi wanita itu akan bangun, pikir Revan.Benar saja, matahari pagi menerobos masuk pada dinding kaca yang tirainya sudah dibuka. Sinarnya menerpa tepat di wajah Clara yang masih mem