Clara melempar ponselnya ke samping bantal. Ia sangat menyayangkan cuti tahunan yang sudah berusaha ia hemat demi seminggu bersama Benny mubazir sudah. Padahal awalnya ia membayangkan setiap malam akan memasakkan makanan spesial untuk Benny tak peduli kalau pria itu pulang tengah malam sekalipun. Terlebih besok hari ulang tahun Benny. Ah sial, semuanya hancur.
Clara juga sudah me-list alternatif lain, tapi sama sekali tidak menemukan orang yang pas untuk menghabiskan waktu bersamanya. Semua teman-temannya sibuk bekerja dan memiliki jadwal sendiri. Sepertinya ia hanya akan di rumah saja, makan dan tidur seperti zombi.
Clara menarik selimutnya, bersiap untuk tidur. Namun, suara bel bergantian dengan suara ketukan pintu pagar membuatnya terduduk. Diliriknya jam dinding di kamar yang kini menunjukkan pukul sebelas malam. Orang gila mana yang bertamu jam segini? Pikirnya.
Ah, tiba-tiba terbesit dalam benak Clara, mungkinkah itu Benny? Setelah kejadian tadi siang, pria itu memang sama sekali belum mendatanginya. Clara hanya tahu kalau pria itu terintimidasi oleh ancamannya, tapi Benny sama sekali belum menemuinya langsung setidaknya untuk meminta maaf.
Sungguh, Clara tidak berharap Benny meminta maaf. Toh, ia juga tidak akan memaafkannya. Namun, Clara hanya ingin memberikan pelajaran berharga pada pria itu agar sadar kalau sudah menyakiti orang yang salah.
Clara lalu tersadar saat ketukannya terdengar semakin berisik. Bel juga terus terdengar seolah sang tamu sangat tidak sabaran. Untungnya Clara tinggal sendiri. Selain itu, kanan dan kiri rumahnya masih beum berpenghuni sehingga tidak ada yang terganggu.
Tak lama kemudian, Clara langsung bergegas untuk membuka pintu pagar. Ia masih mengenakan setelan tidurnya, piama dengan lengan pendek sedangkan celananya panjang.
Saat pagar terbuka lebar, ia terkejut dan bingung dalam waktu bersamaan. Seorang sopir taksi sedang merangkul pria yang mabuk berat. Anehnya Clara merasa familier pada pria mabuk itu, meskipun ia sendiri lupa pernah bertemu di mana.
"Apa benar yang tertulis di kertas adalah alamat rumah ini?" tanya sopir taksi seraya menyerahkan alamat yang sedari tadi dipegangnya.
Sejenak, Clara menerima secarik kertas itu dan membacanya. "Be-benar, tapi kenapa dia dibawa ke sini, Pak?" tanya Clara. "Dan sebenarnya dia siapa?"
"Sebelumnya izinkan saya bawa dia masuk dulu, Non. Berat."
Antara linglung dan tidak tahu harus bagaimana, Clara kemudian menyingkir sehingga sopir itu bisa membawa Revan masuk.
"Sebelumnya maaf atas ketidaknyamanan ini, tapi saya hanya menuruti perintah untuk menuju ke alamat ini. Sekarang, karena sudah sampai ... saya permisi, ya," pamit sopir taksi itu setelah merebahkan tubuh Revan di sofa.
"Eh, Pak ... tunggu! Aku nggak kenal dia, Pak."
"Tapi alamatnya betul, kan?"
"Iya, tapi—"
"Duh, maaf ... ini sudah malam. Saya pamit dan saya nggak mau ikut campur. Dia sudah bayar, kok. Jadi saya hanya menjalankan tugas sebagai sopir, yaitu mengantarnya ke alamat yang diinginkan."
Belum sempat Clara menjawab, sopir itu sudah meninggalkan mereka berdua. Apa-apaan ini?!
Clara memperhatikan wajah pria yang kini terbaring di sofa, aroma alkohol sangat menyengat membuatnya refleks menutup hidung. "Halo?" ucapnya seraya menggoyang-goyangkan lengan Revan, berharap agar pria itu sadar dan segera pergi dari sini.
Tidak mendapat respons, Clara kemudian menyentuh pipi Revan. Ah, lebih tepatnya menampar karena sampai terdengar bunyi pukulan. Namun, Revan masih tetap memejamkan matanya.
"Hei, bangun!" Clara terus beteriak untuk membangunkan Revan sampai ia frustrasi sendiri.
Beberapa saat kemudian, Clara terkejut bukan main saat tubuhnya ditarik paksa. Dalam keadaan masih memejamkan mata, Revan menariknya sehingga tubuh Clara berada tepat di atas tubuh pria itu.
Tentu saja Clara secepatnya berusaha bangun dan melepaskan diri, tapi sialnya tenaga Revan begitu kuat untuk ukuran orang yang mabuk. Revan terus menahan Clara hingga wanita itu tidak bisa bergerak. Bahkan, tangan Clara sudah dikuncinya.
"Sialan! Lepasin!" umpat Clara. "Tolooong!" teriaknya lagi, berharap ada orang yang mendengar lalu menolongnya.
"Aku menginginkanmu, Baby," balas Revan parau. "Mari bercinta sampai pagi."
Apa? Bercinta? Jelas hal itu membuat Clara makin emosi. Kenal saja tidak, tiba-tiba datang ke sini dan mengajaknya bercinta. Benar-benar sinting!
"To—"
Ucapan Clara terpotong saat tangan Revan menarik kepalanya agar mendekat, membuat wajah mereka berjarak sangat dekat. Bukan ... ini bukan dekat lagi, melainkan nempel. Secepatnya Revan melumat bibir Clara dengan penuh gairah. Sepertinya hasrat bercinta pria itu sudah berada di tingkatan paling tinggi. Tanpa ampun, Revan terus melumat bibir Clara sangat cepat seolah menuntut balasan. Tangannya bahkan terus menahan kepala Clara agar tetap berada di posisi terbaik untuk berciuman.
Tangan Clara yang masih terkunci, terus meronta meminta dilepaskan. Sekuat tenaga ia melepaskan diri dan beberapa saat kemudian Clara berhasil, otomatis ciuman paksa yang Revan lakukan bisa dihentikan.
"Berengsek!" bentak Clara seraya menampar pipi Revan. Namun, tanpa diduga tubuh rampingnya kembali dilempar ke sofa oleh pria itu. Clara sedikit menjerit dengan perlakuan Revan yang sangat tiba-tiba itu.
Jika tadi Clara yang berada di atas, kini posisinya berbalik. Ya, kali ini Clara berada di bawah dan Revan menindihnya. Kedua tangan Clara pun sudah kembali terkunci di kanan dan kiri kepalanya. Hal itu memudahkan Revan untuk kembali melumat bibirnya. Lidah Revan bahkan sudah berani menelusuri leher jenjang Clara. Clara memang hampir kalah, tapi ia tidak menyerah. Ia terus berusaha untuk melepaskan diri.
Revan yang bersiap membuka kancing teratas piama Clara, otomatis melepaskan kuncian pada tangan wanita itu. Dengan gerakan cepat, Clara meraih rambut Revan dan menjambaknya dengan membabi buta.
"Aww, sakit!" teriak Revan.
Tak sampai di situ, Revan yang mulai lengah membuat Clara dengan mudah menendang organ vital pria itu. Revan kini tersungkur ke lantai sembari menjerit kesakitan sambil memegangi bagian bawahnya.
Sedangkan Clara secepatnya ke kamar untuk mengambil ponselnya. Ia akan menelepon Benny agar datang ke sini untuk mendamprat pria itu. Namun, detik berikutnya ia tersadar perbuatan Benny tadi siang. Sial, nyaris saja ia menelepon pria berengsek itu. Beruntung ia langsung ingat.
Dengan tangan gemetar, Clara berusaha menghubungi polisi melalui nomor darurat. Di saat panik dan ketakutan seperti ini, semua seakan terasa sulit. Sekadar membuka kode keamanan ponsel pun sulit. Sialnya lagi, menggunakan fingerprint pun seakan tak mau berfungsi pada jari gemetarnya.
"Sayang...." Suara berat membuat Clara melebarkan matanya. Ia berbalik, rupanya Revan sudah berada di ambang pintu dengan masih memegangi bagian bawahnya. Pria itu berjalan tertatih mendekati Clara dengan setengah memejamkan matanya.
"Jangan mendekat!" teriak Clara. "Aku lapor polisi, nih." Ia kemudian mengambil bantal lalu melemparkannya hingga tepat mengenai kepala Revan. Revan yang memang sudah oleng kembali tersungkur. Kali ini kepalanya terbentur kosen pintu.
"Dibilangin jangan mendekat, rasakan akibatnya kalau nggak nurut," sambung Clara.
"Kenapa kamu ngelakuin ini, Ariana?" Itu adalah kalimat terakhir Revan yang Clara dengar sebelum pria itu benar-benar memejamkan mata.
Mendengar itu, tentu saja Clara makin terkejut. Tunggu ... Ariana?! Apa maksudnya Ariana Fransisca?
Selama beberapa saat, Clara berusaha mencerna semua ini. Sampai kemudian, ia membuka ponselnya. Bukan untuk menelepon polisi, pikirannya bahkan tidak ke sana lagi. Sekarang, yang Clara lakukan adalah ... membuka situs pencarian lalu mengetikkan sesuatu di sana. Dalam hitungan detik, keluarlah banyak artikel.
Clara tidak meng-klik satu pun artikel yang ditampilkan. Ia malah beralih ke image dan saking terkejut melihat hasil pencariannya, Clara sampai menutup mulutnya. Perlahan, ia berjalan mendekati Revan untuk memastikan sekali lagi dengan harapan apa yang dilihatnya salah besar.
Namun, saat membandingkan image di ponselnya dengan pria yang sudah tergeletak di lantai itu ... Clara makin tercengang. "Sial, dia CEO WE!"
Suara desahan penuh gairah bersahutan seakan memenuhi kamar yang kini ditempati oleh Benny dan Ariana. Kamar tempat biasa mereka melakukan aktivitas seks tanpa takut ketahuan. Sebenarnya kemarin mereka sempat ketahuan oleh Clara.Meskipun sampai detik ini Benny masih khawatir dengan ancaman Clara, tapi Ariana berhasil mengalihkan segalanya. Apalagi Ariana menjamin kalau Revan pasti bisa membereskan ini semua, sehingga Benny bisa agak tenang. Mereka juga sudah mengganti password sehingga seratus persen yakin kalau Clara tidak mungkin bisa masuk lagi.Keduanya masih sama-sama telanjang, dan tubuh mereka masih menyatu dengan Benny yang berada di atas tubuh telanjang Ariana. Benny lalu mempercepat gerakan yang semula perlahan. Ariana yang semakin terpacu gairahnya, seakan meminta Benny lebih cepat lagi. Sampai pada akhirnya wanita itu berhasil mencapai puncaknya, kemudian Benny menyusulnya."Sarapan pagi yang nikmat," bisik Ariana seraya tertidur menyamping menghadap Benny yang tampak kel
Tangan dan kaki Revan sudah terbebas dari syal yang sempat terikat kuat. Sekarang Revan dan Clara sudah duduk berhadapan di sofa yang saling berseberangan. Ada meja bundar yang menjadi jarak antara mereka. Di meja itu terdapat dua gelas minuman yang sebelumnya disiapkan oleh Clara."Tentang bukti yang aku punya ... aku nggak mau kasih lihat sekarang."Revan lalu berusaha tenang dan bertanya, "Kenapa?""Kamu bisa lihat sendiri nanti kalau aku udah share. Aku yakin bakal merajai pencarian utama dan dibahas semua media," jawab Clara penuh keyakinan. "Lagian nggak ada untungnya juga ngasih lihat."Sudah Revan duga, Clara pasti tetap teguh pada pendiriannya."Jadi, apa maumu sekarang?" tanya Revan to the point."Keinginanku sederhana, aku mau karier Ben berantakan."Revan mengernyit. "Itu menurut kamu sederhana?""Ya, aku cuma mau dia menyesal udah berani selingkuh. Padahal, kalau dia udah bosan atau hubungan kami nggak bisa dilanjutkan lagi ... seharusnya dia putusin aku secara baik-baik,
"Maaf, Bos ... kenapa tiba-tiba ada di rumah Clara?" tanya Angga setelah mobil yang dikemudikannya mulai berjalan meninggalkan area tempat tinggal Clara. Sungguh, ia kira bosnya itu pulang ke rumah yang mereka tinggali, terlebih ia tidak mengecek lagi apakah Revan sudah benar-benar sampai di rumah atau belum."Aku rasa karena alamat yang kamu berikan kemarin sore, sopir taksi membawaku ke sana. Atau mungkin secara tidak sadar aku yang memintanya. Entahlah, aku juga nggak terlalu ingat.""Padahal saya sudah meminta sopir taksi itu—""Bukan masalah. Aku rasa ini kesalahanku yang mabuk berat," potong Revan. "Hmm, tapi Ariana nggak tahu hal ini, kan? Dia memang nggak kenal siapa Clara, tapi dia pasti makin marah kalau tahu aku bermalam di rumah wanita lain. Aku mabuk aja udah bikin dia marah, apalagi kalau tahu hal ini. Bisa-bisa semakin ngamuk. Ditambah dia lagi datang bulan.""Saya rasa dia nggak tahu, Bos."Revan mengembuskan napas lega. Ia hanya tidak ingin wanita yang dicintainya sal
Di sela-sela pesta, Revan memasuki sebuah kamar hotel. Ia masuk duluan dan Ariana akan menyusulnya beberapa menit kemudian. Mereka memang sengaja masuk secara terpisah untuk menghindari orang-orang mengetahui hal ini.Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya Ariana masuk. Revan langsung menyambutnya dengan senyuman penuh kerinduan. Sedangkan Ariana segera menghampiri pria yang kini duduk santai bersama ponselnya di sofa dekat jendela."Maaf membuatmu menunggu lama, Mas."Setelah Ariana duduk di sampingnya, Revan secepatnya meletakkan ponselnya di meja. Ia kemudian merangkul Ariana. "Aku yang seharusnya minta maaf. Maaf untuk kejadian kemarin malam ya, Sayang. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku tadinya mau ke rumahmu pagi-pagi sekali, tapi—""Sejujurnya aku ingin marah, terlebih tamu bulanan membuatku mudah mengeluarkan tanduk. Tapi ... aku ingat seminggu lagi aku berangkat dan kita akan LDR selama kurang lebih tiga Minggu. Bukankah terlalu membuang-buang waktu untuk merajuk?" ucap Ar
Ariana berbohong. Tadi ia bilang pada Revan akan langsung pulang dengan diantar oleh manajernya. Namun nyatanya, saat ini ia berada di tempat biasa bersama Benny. Ia bahkan sempat membuat Rima mabuk sehingga manajernya itu tidak perlu mengantarnya. Malah sebaliknya, ia yang menyetir untuk mengantar Rima pulang kemudian lanjut naik taksi ke apartemen Benny."Syukurlah aku tenang sekarang. Revan benar-benar bilang semua bakalan teratasi, kan?""Iya, Ben. Sekarang waktunya move-on dari wanita sialan itu," balas Ariana."Aku nggak nyangka, Clara yang bantu aku sampai berada di titik ini ... tapi dia juga yang mengancam mau menghancurkannya."Ariana berjalan ke arah sofa yang Benny duduki, lalu ikut duduk di sampingnya. "Keterlaluan, kan? Hanya karena diselingkuhi doang sampai segitunya. Menghancurkan karier? Dasar wanita nggak tahu diri!"Sejujurnya Benny juga merasa bersalah. Walau bagaimanapun Clara sudah mewarnai harinya selama bertahun-tahun. Namun, saat nasi sudah menjadi bubur seper
Setelah cuti selama satu Minggu. Kini tiba saatnya Clara kembali bekerja. Ia sudah membayangkan beberapa pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk di meja. Itu sebabnya di Senin yang pasti sangat sibuk ini, Clara memutuskan berangkat lebih awal.Clara terkejut sekaligus bingung saat memasuki ruang kerjanya. Bagaimana tidak, mejanya tampak bersih. Semua barang-barangnya sudah rapi disimpan dalam satu kotak. Sayangnya beberapa rekan kerja yang juga menempati ruangan ini belum ada yang datang sehingga tidak ada yang bisa ia tanyai tentang hal ini.Clara tidak habis pikir, padahal ia cuti hanya seminggu saja, tapi keadaan sudah berubah drastis seperti ini. Sebenarnya ada apa? Sungguh, ia kebingungan sekarang.Beberapa saat kemudian, salah satu rekan kerjanya masuk. Rahma, dengan tatapan bingung meletakkan tas tangannya di meja kerjanya, tepat di samping meja Clara. Ia juga sama bingungnya dengan Clara saat melihat barang-barang Clara sudah dikemas rapi."Mau ke mana, Cla?""Aku yang harusn
'Jagalah musuhmu agar selalu tetap berada dalam jangkauan'. Ya, itulah yang Revan lakukan sekarang. Ia melakukan hal yang mungkin menurut orang licik dan terkesan gila. Namun, ini ia lakukan demi melindungi WE dan aktornya. Revan berhasil membawa Clara masuk ke dalam perangkapnya dan bisa dipastikan wanita itu tidak akan berani macam-macam lagi.Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi jika saja Clara mau bersepakat dengannya. Namun, karena wanita itu sulit diatur, Revan tidak memiliki pilihan selain mencari cara agar bisa mengendalikan wanita itu. Ia yakin, Clara menyesal setengah mati sudah berurusan dengannya.Sambil duduk di sofa bersama secangkir kopi yang tersisa setengah, Revan menatap Clara yang masih memejamkan matanya. Ya, Clara masih tertidur menyamping ke arah matahari terbit. Sepertinya sebentar lagi wanita itu akan bangun, pikir Revan.Benar saja, matahari pagi menerobos masuk pada dinding kaca yang tirainya sudah dibuka. Sinarnya menerpa tepat di wajah Clara yang masih mem
Setelah berpakaian lengkap, Clara duduk di depan meja rias. Sejujurnya ia sedikit merasa janggal dengan meja rias itu, kenapa terdapat kosmetik dan produk-produk kecantikan lainnya? Sebenarnya ini kamar siapa?Hal yang membuat ini lebih janggal adalah ... produk-produk kecantikan di meja itu, sebagian besar merupakan merek yang biasa Clara gunakan. Apa ini hanya kebetulan?Clara melihat ke luar melalui dinding kaca. Detik itu juga ia menyadari sedang berada di lantai atas. Sungguh, kepalanya terasa ingin pecah memikirkan hal buruk yang terjadi padanya. Mungkinkah ia benar-benar bercinta dengan Revan semalam? Tapi kenapa ia tidak ingat apa pun?Ingatan Clara hanya berakhir di restoran, ia sama sekali tidak merasa 'menikmati' seperti yang Revan katakan. Lagi pula, bukankah katanya jika berhubungan badan untuk pertama kalinya itu terasa sakit? Lalu bagamana ceritanya Clara merasa biasa saja? Ya, saat melangkah pun Clara merasa tidak ada perubahan apa-apa pada cara berjalannya.Sial, Clar