TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 25 (Tunangan batal)Aku masih berdiri di teras. Setelah mobil pak Ridwan pergi, aku melangkah masuk secepatnya karena tak ingin bertemu mantan suamiku.Pintu kututup."Dinda! Din!" teriak kak Murni hingga mungkin sekampung mendengar suaranya.Aku berlari menghampiri kak Murni di kamarnya."Ada apa, Kak?" tanyaku khawatir."Ini tidak benar! Dosa! Haram!" Wajah kak Murni terlihat sangat tegang."Dosa kenapa? Aku tidak berzina atau mencuri," jawabku jujur."Astagfirullah'alazimm. Saking shock dengan lamaran dadakan, aku lupa tentang aturan agama. Ya Allah ..., tolong ampuni dosaku, ampuni aku ya Allah ...." Kak Murni panik. Ini kepanikan yang paling besar kulihat."Ada apa, Kak? Jangan bikin aku khawatir.""Lamaran ini tidak benar! Tunangan ini tidak sah. Justru haram, Din."Deg!Jantungku berdetak tak enak. Aku baru dilamar tapi tiba-tiba kak Murni bilang ini tidak sah dan bahkan haram?"Ma-maksudnya, Kak?" Tergagap. Aku memegang lengan kak Murni."
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 26 (Berusaha profesional)Aku harus dengar kata kak Murni. Hanya dia yang kupercaya. Aku tak ingin hidupku kacau lantaran kesalahan yang kuperbuat dan kurangnya ilmu. Jika ada yang mengingatkan berarti ada yang peduli."Din, Dinda!" Silvi memanggil dari kursi kerjanya.Kupalingkan mata ke dia."Ya," jawabku."Pak Ridwan ngapain cari kamu? Tak biasanya, loh." Kepo Silvi keluar nih."Urusan kerja," jawabku datar, lalu melihat layar komputer lagi meneruskan pekerjaan."Oooh, kirain mau melamar.""A-apa?" tanyaku tergagap.Silvi bangkit dari duduknya, lalu mendekat."Kenapa sih nggak bilang kalau statusmu sekarang tunangan Pak Ridwan?"Pasti gara-gara mulut mang Jojo. Seperti gosib seleb saja, cepat tercium netizen."Udah batal," jawabku cuek."Apa? Bukannya baru kemaren lamaran? Kapan batalnya? Trus kenapa?" Mata Silvi membulat. Kali ini ia duduk di kursi depan mejaku."Jangan keras-keras ngomongnya, ntar didengar loh." Jantungku terasa mau copot den
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 27 (saingan)Inilah yang membuatku semakin ingin menjauhi mantan suami. Ia bukan lelaki yang pantas menjadi imamku. Bicara merendahkan, bahkan aku tampak seperti wanita tak berharga di matanya. Tak segan ia berucap buruk padahal masih dalam lingkungan kantor."Ada apa ini, Pak Angga?" tanya pak Ridwan ke dua kalinya. Ia melangkah mendekat."M-mm, maaf Pak, saya tak sengaja menjatuhkan asbak rokok," jawab kak Angga tampak ragu."Tapi saya lihat Pak Angga tidak lagi merokok.""Tersenggol, Pak. Maaf, saya minta OB untuk bersihkan." Kak Angga bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke meja menelpon.Pak Ridwan duduk lagi di sampingku.Kuhela nafas panjang berusaha tenang. Jika bukan di lingkungan kantor, sudah melayang tamparanku ke pipinya. "Pak Angga, tolong urus surat pindah jabatan Debi, nanti saya tanda tangan." Pak Ridwan bangkit dari duduknya."Iya, Pak, nanti pasti saya urus."Dalam perjalanan balik ke kantor, aku diam dan masih sulit menahan e
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 28 (saingan 2)Aku menatap Debi saat kata-kata itu diucapkannya. Ini seperti sebuah kompetisi. Dulu saja ia mengincar mantan suamiku karena kepala cabang, sekarang levelnya naik. "Hey, Dinda." Istri pak Ilham muncul, lalu kami salam cium pipi kana-kiri."Kiraain tak jadi datang.""Maaf, Bu, tadi ada sedikit masalah di jalan.""Makanya dijemput saja, kata Ridwan kamu ingin datang sendiri.""Iya, Bu, tak enak merepotkan," jawabku."Justru aku suka direpotkan," timpa pak Ridwan tiba-tiba."Tuh, yang direpotkan tak masalah, Din." Kali ini pak Ilham yang bersuara."Iya, Pak, Bu. Aku kalau direpotkan Pak Ridwan malah senang," timpa Debi ikut masuk dalam pembicaraan. Mulai nih, cari muka."Debi juga mau direpotkan?" tanya istri pak Ilham menyambung candaan Debi."Malah senang, Bu.""Oooh, Debi peduli juga, ya." "Betul itu Debi? Kalau sering direpotkan malah pusing," kata pak Ilham.Akan tetapi pak Ridwan tidak ikut menyambung candaan Debi. Ia diam samb
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 29 (mantan kakak ipar cemburu?)"Loh, Pak, kok tidak berhenti? Itu rumah Dinda sudah terlewat," ucap Debi ke dua kali."Iya ..., aku tau," jawab pak Ridwan santai, dan tetap menatap kedepan menyetir."Bukankah agar tak bolak balik ya, Pak?" tanya Debi lagi."Sama saja, toh selesai pulang mengantarmu, aku juga lewat jalan ini, lagian malas sendirian selesai ngantar kamu, Deb.""I-iya, sih, tapi sepertinya Dinda sudah ngantuk tuh, sudah berapa kali kulihat ia menguap."Waduh, si rambut jagung perhatian juga. Meskipun aku duduk di bangku belakang, ia tahu aku menguap berulang kali."Benar, Pak Ridwan, aku ngantuk, sebaiknya antarin aku pulang dulu, Debi sepertinya belum ngantuk, mungkin mau jalan-jalan dulu." Kuperjelas ucapan Debi."Iya iya, Dinda benar tuh, Pak." He he, Debi setuju dengan ideku. Apa yang dimaunya kupelancar saja. Ini juga bisa penilaian bagiku terhadap pak Ridwan. Aku juga tak ingin berharap banyak."Kamu ngantuk kali 'kan, Din?" S
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 30 (sakit)Malas sekali rasanya bangkit dari ranjang. Rasanya kurang enak badan. Sudah jam setengah tujuh pagi. Biasanya aku sudah dandan siap-siap ke kantor. Selesai salat subuh kuulangi berbaring."Din, Dinda." Kak Murni muncul di pintu kamarku."Ya, Kak," jawabku lesu."Kok belum siap-siap berangkat kerja?" Kak Murni membuka jendela kamarku."Iya, nih mau siap-siap," jawabku lalu bangkit duduk."Kenapa? Kamu sakit?""Nggak, Kak. Hanya capek."Mungkinkah ini efek kurang istirahat? Tubuhku terasa kurang bertenaga. Tapi aku harus tetap kerja. Hidupku tak ada yang membiayai setelah diceraikan, padahal aku bisa tuntut, tapi dari pada bertemu mantan suami, dan ujung-ujungnya merendahkanku. Lebih baik aku usaha sendiri.Seperti biasa, selesai dandan, tak perlu waktu lama menunggu ojek langganan. Aku yakin hari ini telat masuk kantor. Sampai depan kantor, kulangkahkan kaki masuk. Lalu menaiki anak tangga ke lantai dua. Langkahku terasa berat."Tumben
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 31 (sakit_2 / pov Angga)Tidak tidak! Dua lelaki menyentuh lenganku bersamaan? Aku harus bertindak."Lepaskan ...." Tersekat, tapi aku berusaha bersuara. Dan tangan mereka terus menahanku, dan ini yang membuatku tak jadi jatuh."Jangan pegang aku ....""Dinda, kamu tak apa-apa? Ayo duduk," ucap pak Ridwan."Sini aku bantu, Din." Kali ini suara kak Angga.Sejenak tubuhku terasa di tarik berlawanan. Aku kesulitan lepas karena tak kuat."Sakit, lepas ...." Aku berusaha bicara agar mereka tidak menarikku."Pak Angga, biar saya yang bantu Dinda, ia karyawan saya di sini." Terdengar suara pak Ridwan tegas hingga tangan kak Angga lepas dari lenganku.Pandangan masih berputar. Kupejamkan mata dan berusaha agar tetap berdiri. Tapi kenapa rasanya jalan di atas kapal."Ayo duduk." Kedua lenganku dipegang pak Ridwan, lalu menuntunku menuju sofa.Kini aku sudah duduk di sofa. Bersandar, kupejamkan mata karna tak kuat melihat dunia berputar.Pintu terdengar ber
TERIMA KASIH TELAH MENCERAIKANKUPart 32 (Dikira istri Rio Dewanto KW)Selesai mendaftakanku berobat, duduk di kursi tunggu. Pak Rudwan terlihat santai duduk, jarak kami duduk dibentang satu kursi."Sepertinya aku sudah baikan, mungkin perlu istirahat saja, Pak," ucapku masih terasa lemah. Dari dulu aku paling anti berobat, bukan berobatnya, tapi lebih tepat minum obat. Selagi bisa ditahan, aku tak akan pergi ke dokter."Kita sudah di sini, sepertinya tak ada pilihan untukmu," jawabnya melihat layar ponselnya sekilas.Tak ada pilihan? Seperti aku miliknya saja. Lagian kenapa sih tiba-tiba tubuhku oleng dan dunia seperti berputar. Tubuh tak kompromi di situasi yang salah. Aku paling anti terlihat sakit atau sedih depan orang."Dinda Kurniawan!" Terdengar perawat memanggil namaku dari arah ruangan dokter. Spontan kami melihatnya."Ya, Bu," sahut pak Ridwan. Kok dia yang semangat. Yang sakit 'kan aku."Ayok, Din," ajak pak Ridwan lalu ia memegang lengan kananku seperti membantu melangka