Bab 1
“Kapan kamu mau menceraikan istrimu, Sayang?” Dengan sangat jelas aku mendengar pertanyaan itu. Suara itu milik Mbak Lilik, kakak iparku sendiri.
Tangan yang hendak menarik handle pintu aku tahan di udara. Demi mendengar obrolan di dalam sana aku memilih mematung di depan pintu.
Siapa yang ditanya Mbak Lilik? Kenapa istri kakakku bertanya demikian? Apa dia sedang selingkuh dengan laki-laki beristri?
Tega sekali kakak iparku berselingkuh di belakang suaminya, abangku satu-satunya. Padahal, saat ini suaminya sedang berjuang mencari nafkah di luar negeri untuk membahagiakannya.
Dengan dada yang bergemuruh, lekas aku mengambil handphone dari dalam tas selempang. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Lalu, dengan gerakan cepat aku mulai merekam suara perempuan yang telah dinikahi kakakku lima tahun lalu itu.
Niat hati pulang ke rumah Abang mau numpang istirahat, setelah semalaman begadang di rumah sakit menunggu Ibu. Namun, harus mendengar obrolan yang sangat menjijikan seperti ini.
Alasan aku memilih pulang ke rumah bang Fikri karena lebih dekat dari rumah sakit, hanya lima belas menit perjalanan. Sementara, dari rumah sakit menuju kediaman ku membutuhkan empat puluh lima menit perjalanan. Aku sengaja ingin istirahat di sini, mumpung ada bibi yang menjaga ibu di rumah sakit. Tapi, rupanya itu hanya wacana saja. Tidak mungkin aku bisa istirahat dengan tenang setelah mengetahui sebuah rahasia besar ini.
Mungkin, dengan cara ini Allah menunjukkan sebuah kebobrokan kakak iparku yang selama ini terlihat sangat manis di depan kami semuanya.
Ya Allah … kasihan kakakku, capek-capek mencari nafkah di luar negeri demi mencukupi kebutuhan istrinya, nyatanya di sini bininya main serong. Terbuat dari apa hati Mbak Lilik?
“Sayang, jangan diam aja dong. Ayo, ambil keputusan?” Suara perempuan itu semakin mendayu.
Dadaku bergemuruh semakin riuh. Sakit sekali hati ini mendengarnya.
Apa kurangnya abangku hingga perempuan itu sanggup menduakannya? Abangku di sana kerja keras banting tulang demi memenuhi semua kebutuhannya, tapi dia di sini malah enak-enak selingkuh dengan pria lain.
Mbak Lilik hanya gadis sebatang kara yang dinikahi oleh kakakku walaupun sempat ditentang oleh ibu kami. Kini hidupnya dimuliakan oleh abangku. Diusahakan untuk tidak kekurangan materi. Dijadikan ratu satu-satunya di dalam hidupnya meski belum memiliki keturunan. Dibuatkan istana ternyaman untuknya, tapi begini balasan yang ia berikan untuk abangku? Adik mana yang tidak terluka akibat perbuatan ipar seperti ini?
Sungguh, aku tidak terima dengan kelakuan Mbak Lilik seperti ini. Namun, aku tidak boleh gegabah. Aku harus tenang dan pura-pura tidak tahu apa-apa agar semua rencana berjalan dengan lancar.
“Kenapa diam saja? Kamu tidak siap berpisah dengan istrimu?” Suara kakak iparku kembali mencecar lawan bicaranya.
“Masih ragu dengan aku, Sayang? Masih kurang pembuktikan cintaku kepadamu selama ini, Sayang?” Ya Allah … seagresif itu iparku. Tidak tahu malu sekali!
Tidak ada yang menjawab suara Mbak Lilik. Entah di mana lawan bicaranya itu berada. Ada di rumah ini atau di sebarang telepon sana?
“Ceraikan dia, maka aku pun akan segera mengurus perceraian dengan suamiku. Lalu, kita menikah. Jujur saja, aku sudah tidak sanggup lagi melihat kemesraan kamu dengannya, Sayang. Aku ingin menjadi satu-satunya dalam hidupmu.” Rayuan Mbak Lilik membuat tanganku mengepal kuat-kuat hingga buku-bukunya memutih.
Perempuan murahan!
Dadaku terasa sesak, darahku terasa panas, menggelegak hingga ke ubun-ubun. Meskipun yang dikhianati itu kakakku, tapi aku tidak terima. Perempuan macam apa yang dinikahi oleh kakakku hingga sanggup menjual harga dirinya pada laki-laki lain?
Sekuat mungkin aku menekan emosi agar tidak meledak saat ini. Aku mengatur napas agar sesaknya dada bisa berkurang.
Tenang Amira. Tenang. Menghadapi orang licik semacam dia, tidak bisa dengan cara gegabah. Aku harus bersabar sedikit saja untuk mengumpulkan bukti perselingkuhannya di belakang kakakku. Aku mau Bang Fikri segera menceraikan dan mengembalikan perempuan itu ke tempatnya asalnya.
“Kenapa kamu begitu ingin menjadi istriku?” Akhirnya ada yang menjawab pertanyaan Mbak Lilik. Tapi, tunggu….
Aku menggeleng kuat-kuat. Tidak, tidak mungkin itu suaranya. Aku pasti salah dengar. Dia sedang ada di tempat kerja. Iya, ini masih jam kerja. Tidak mungkin ia keluyuran sampai sini.
“Sebaiknya kita jalani saja seperti ini, Sayang. Kamu dengan suamimu, aku dengan istriku. Toh, selama bermain cantik semua tidak akan ketahuan.”
Deg!
Telingaku tidak salah dengar. Itu semua benar, suara itu … suara suamiku.
Sesak, rasanya aku kehabisan oksigen untuk bernapas. Seolah batu sebesar gajah baru saja dijatuhkan ke dada ini. Dengan sisa kekuatan yang ada, aku segera memasukkan handphone ke dalam rok Levis yang aku kenakan. Mendengar suara laki-laki itu, tubuhku luruh ke lantai. Aku tidak memiliki kekuatan untuk menopang tubuhku. Hatiku hancur berkeping-keping. Sakit, sakit sekali. Aku membengkak mulut kuat-kuat agar isaknya tidak terdengar sampai di dalam sana.
Ya Allah … dosa apa hamba, sampai harus mendapatkan hukuman suami selingkuh dengan ipar sendiri?
“Karena hanya kamu satu-satunya laki-laki yang mampu membuat duniaku berwarna kembali. Bang Fikri mana bisa membuatku melayang seperti saat penyatuan raga bersamamu. Kamu tidak ada duanya, Sayang.”
Astaghfirullah … Allah … mereka sudah melakukan hal kotor itu? Menjijikkan sekali.
“Aku memang sangat ingin bersamamu, tapi tidak secepat ini. Aku butuh waktu untuk bisa lepas dari Amira, Sayang.”
Aku memukul-mukul dada yang sangat nyeri. Sungguh, aku tidak menyangka Mas Tama sanggup berbuat nista dengan iparnya sendiri. Kapan mereka memulai hubungan terlarang itu? Sungguh, saat ini aku tak sanggup lagi memikirkan tentang mereka.
Aku segera pergi dari rumah itu meski dengan terseok-seok, pikiranku kusut. Tujuanku kali ini ke rumah Mbak Mayang, sepupuku. Aku harus menenangkan diri di sana. Jaraknya hanya tiga rumah dari kediaman kakakku.
“Amira? Kenapa kamu menangis, De?” Mbak Mayang menyapaku setelah membuka pintu. Ia segera merangkulku meskipun tidak tahu apa permasalahan yang sedang aku hadapi.
Perempuan itu melerai pelukannya, lalu memegang kedua pundakku. Kekhawatiran jelas terpancar dari sorot matanya.
“Ada apa dengan Bulik Sumi? Apa beliau semakin parah?” tanya Mbak Mayang.
Pasti dia penasaran apa yang menjadi penyebab aku menangis.
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Lalu, apa penyebab kamu menangis seperti ini?” Mbak Mayang menuntunku ke arah sofa di ruang tamu miliknya.
Perempuan itu berlalu pergi ke arah dapur, membiarkan aku menangis. Lalu kembali menemui aku dengan membawa segelas air putih.
“Minum dulu biar tenang.” Mbak Mayang menyodorkan gelas tersebut kepadaku.
“Ceritakan apa yang menyebabkan kamu sesenggukan seperti tadi?” pinta Mbak Mayang setelah aku sedikit tenang.
Aku kelas menyusut air mata. Lalu, tanpa ada yang dilebihkan ataupun dikurangi aku ceritakan semua obrolan mereka tadi.
“Lalu apa rencanamu setelah ini, De?” tanya Mbak Mayang, tatapannya penuh selidik.
“Aku akan segera menggugat cerai Mas Tama. Aku pun akan meminta Bang Fikri untuk menceraikan dan mengembalikan perempuan itu ke tempat asalnya.”
“Kapan?” Mbak Mayang kembali melontarkan pertanyaan.
“Secepatnya, Mbak. Aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengan manusia-manusia pengkhianat macam mereka.” Tanganku mengepal kuat-kuat. Mbak Mayang menepuk-nepuk pundak ku.
“Jangan gegabah. Rencanamu bisa membuat penyakit Bulik Sumi semakin parah. Bagaimana kondisinya bila mendengar anak-anaknya bercerai secara bersamaan?”
Pertanyaan Mbak Mayang membuat aku tersentak kaget. Mbak Mayang benar, bagaimana kesehatan ibu kalau mengetahui kami bercerai secara bersamaan? Pasti kondisi beliau semakin parah. Tentu aku tidak mau itu terjadi, tapi terus hidup berdampingan dengan para pengkhianat pun aku tidak sanggup. Ya Allah … apa yang harus hamba lakukan?