Share

Bab 0003

“Kamu mau ke mana dulu ini, De?” Dari balik kemudi Mbak Mayang bertanya.

“Ke rumahku dulu, Mbak.” Diantara desauan angin aku menjawab.

Tujuanku absen menjaga ibu malam ini adalah, mengamankan seluruh aset yang kami miliki. Harta ku dan juga milik kakakku. Tak rela bila nanti kami berpisah harta itu dijadikan gono gini. Enak saja. Toh, harta itu kami hasilkan dari kerja keras kami sendiri tanpa melibatkan pasangan.

Meskipun sudah menikah, bukan berarti aku menjadi ibu rumah tangga biasa yang tidak memiliki penghasilan sendiri. Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta.

Dua hari lalu, sewaktu ibu masuk rumah sakit aku langsung mengajukan resign. Beruntungnya, di perusahaan tempat aku mencari uang selama ini tidak harus menunggu satu bulan setelah mengajukan surat pengunduran diri. Bisa langsung resign asal sudah menyerahkan surat pengunduran diri.

Dua puluh menit berlalu, dan kami telah sampai di depan rumah kami.

“De. Mbak tunggu di sini, ya. Jaga-jaga kalau mertuamu lewat.” Mbak Mayang duduk di depan teras setelah kami sampai di rumah yang beberapa tahun terakhir ini aku tempati.

Rumah mertuaku hanya berjarak empat rumah dari sini.

“Oke, Mbak. Aku nggak lama, kok. Setelah ini kita segera ke rumah Kak Fikri.”

Segera kubawa langkah kaki menuju kamar setelah berhasil membuka pintu utama.

Kuambil satu set perhiasan yang aku beli sendiri. Lalu, mengambil BPKB motor, buku tabungan yang semua dihasilkan sendiri. Semua itu segera kumasukkan ke dalam tas cangklong ini. Untuk sementara, ini dulu yang harus aku amankan. Nanti kalau sudah waktunya, barang yang dibeli dari hasil keringatku pun akan aku jual sebelum berpisah.

“Ayo, Mbak.” Mbak Mayang yang sedang berselancar di dunia Maya pun menoleh ke arahku. Handphonenya pun segera ia masukkan ke dalam saku jaketnya.

“Cepat amat, De? Mana barang yang kamu ambil?”

Aku menunjuk ke arah tas. Mbak Mayang sepertinya penasaran dengan barang-barang yang aku ambil. Karena aku tidak menceritakan apa yang akan aku ambil.

“Di rumah ini nggak ada uangmu, kan?” Wanita yang sedang memasang helm di kepalanya itu menatap bangunan yang ada di hadapan kami.

“Nggak ada sama sekali. Itu murni bangunan neneknya Mas Tama tanpa ada yang kami renovasi.” Aku segera naik ke atas jok motor. Lalu, melingkarkan tangan ke pinggang ramping Mbak Mayang. Sebab, setelah ini bisa dipastikan sepupuku akan membawa motor dengan kecepatan tinggi, sama seperti waktu berangkat tadi.

“De, sepertinya alam merestui rencana kita.” Suara Mbak Mayang di balik kemudi.

“Kenapa begitu, Mbak?” Aku masih tak paham.

“Listrik yang arah ke rumah Abangmu kelihatannya sedang padam.”

Aku tersenyum lalu membenarkan apa yang dikatakan Mbak Mayang. Di depan sana memang tampak gelap. Tidak ada lampu penerang. Ini lebih memudahkan gerakan kami. Terlebih, malam ini masuk hitungan tanggal tua bulan Komariah. Sudah barang tentu tidak ada sinar rembulan jam segini.

Tidak butuh waktu lama kini kami sudah berada di depan rumah Kak Fikri. Dengan kunci cadangan yang tadi sore aku ambil dari rumah Ibu, aku membuka pintu utamanya. Dengan bantuan santer dari handphone kami masuk ke rumah yang gelap ini. Motor pun sengaja kami bawa masuk ke dalam rumah agar tidak diketahui oleh orang lain.

Ya, sore tadi sebelum berangkat ke rumah sakit, aku sengaja mampir ke rumah Ibu untuk mengambil kunci cadangan seperti yang disarankan oleh Kak Fikri.

“Kamu sudah menghubungi orang yang mau membeli motornya?” tanya Mbak Mayang yang ada di belakangku.

“Belum. Tapi, katanya Kak Fikri menyuruh orang itu datang sekitar jam sembilan nanti.” Aku menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan. Baru setengah sembilan. Masih ada waktu setengah jam lagi.

“Sebentar lagi berarti. Kamu sudah tahu apa saja yang mau diambil?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Mbak Mayang.

“Yuk tak bantuin beroperasi.” Mbak Mayang mengekor di belakangku.

“Kita langsung ke kamar Lilik saja, Mbak.” Aku memberikan instruksi sembari merogoh tas yang tadi aku bawa. Di dalamnya, selalu ada senter. Aku yang tidak suka gelap selalu membawa alat penerangan ke mana-mana. Dan saat ini ada manfaatnya.

“Kita mulai dari lemari bajunya saja, Mbak.”

“Jangan lupa nanti bajunya diacak-acak ke lantai. Seolah ini benar-benar ulah perampok.” Mbak Mayang menambahkan. Aku mengacungkan jempol ke arahnya, tanda setuju.

Tangan kami sibuk membongkar lemari baju milik Lilik. Tujuan kami adalah mencari barang-barang berharga yang bisa dijual. Namun, tidak kami temukan apa pun dalam lemari bajunya selain pakaian.

“Di mana ia menyimpan perhiasannya? Di mana ia menyimpan BPK motor matic dan motor sport milik kakakmu?” Mbak Mayang mulai geram.

Kami menghentikan aksi sejenak.

“ Aku juga nggak tahu pasti, Mbak. Tapi, kita harus mencarinya sampai ketemu. Jangan sampai barang itu jatuh ke tangannya. Aku tak ikhlas dunia akhirat hasil kerja keras kakakku digunakan bersenang-senang oleh wanita murahan itu. Seandainya, Lilik itu istri baik-baik sudah pasti aku tidak akan ikut campur. Justru bersyukur kakakku bisa membahagiakan istrinya. Tapi ini, perempuan jalang.” Dadaku kembang kempis mengingatnya.

“Mbak aja yang sebagai sepupu saja nggak rela, apalagi kamu adiknya. Pasti nggak akan rela. Yuk, kita cari lagi sampai ketemu.” Mbak Mayang mengajar kepalan tangannya di udara. Memberikan simbol untuk semangat.

“Tapi, di mana nyarinya ya, Mbak?” Aku pun mulai bingung.

“Jangan-jangan dia punya brankas?” Mbak Mayang mulai menerka-nerka. Aku mengangkat bahu ringan. Mata ini mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Lalu, bibir ini mengukir senyuman saat melihat nakas.

“Kita buka itu, Mbak.” Jari telunjukku mengarah ke arah kabinet di samping ranjang.

Dengan gerakan gesit Mbak Mayang menuju nakas. Lalu, tangannya mencoba buka pintunya. Tapi, sia-sia.

“Dikunci.” Mbak Mayang mengajar tangannya, seolah menyerah. Aku menggigit bibir bawah.

“Semoga saja kuncinya diletakkan disitu.” Lekas kubawa kami melangkah menuju meja tolet. Tangan ini pun segera membuka lacinya. Dan benar saja di sana kunci itu aku temukan.

“Berhasil, Mbak.” Aku mengangkat anak kunci dari dalam laci meja rias. Mbak Mayang tersenyum seraya menjentikkan jarinya.

Dengan gerakan cepat kami mencari keberadaan benda berharga tersebut. Dan benar saja, di laci nakas kamu menemukan kotak perhiasan Lilik dan juga surat-surat kendaraan dan surat penting lainnya. Termasuk sertifikat rumah ini.

“Sudah. Aman ini semuanya. Makasih ya, Mbak bantuannya.” Aku tersenyum puas, penuh kemenangan saat memasukkan barang-barang berharga itu ke dalam tas ini.

“Santai aja. Mbak pasti mendukungmu. Kita enyahkan pelakor dari muka bumi ini. Dan mari kita buat mereka sengsara setelahnya.” Mbak Mayang terkekeh setelahnya. Seolah puas sekali. Sepertinya masih ada dendam tersendiri dengan yang namanya pelakor. Karena dulu, rumah tangga Mbak Mayang hancur oleh perempuan jenis itu.

Tak berselang lama, aku mendengar deru kendaraan yang parkir di depan rumah Kak Fikri. Dengan cepat aku berjalan menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu, aku sempat mengintipnya dari balik gorden.

“Dia orangnya, De?” Mbak Mayang yang berada di sampingku bertanya. Aku mengangguk. Meskipun hanya di bawah penerangan senter aku paham betul bahwa yang berdiri di depan itu adalah Kak Reza, temannya Kak Fikri. Orang yang akan membeli motor sport milik kakakku.

Tak butuh waktu lama motor sport berwarna merah milik Kak Fikri sudah berada di tangan Kak Reza.

****

Handphoneku menjerit-jerit minta diangkat setelah aku selesai menyuapi ibu sarapan pagi, jatah dari rumah sakit.

Mas Tama, pasti mau ngapain dia?

“Assalamualaikum, Mas. Ada apa?” tanyaku senatural mungkin.

“De, rumah Mbak Lilik kerampokan. Motor sportnya hilang. Rumahnya berantakan. Surat rumah dan barang-barang berharganya hilang semuanya. Ini gimana?” Suara Mas Tama terdengar panik. Di belakangnya terdengar suara Mbak Lilik yang histeris.

Aku menyeringai mendengarnya.

“Kok bisa sih, Mas? Apa Mbak Lilik lupa mengunci pintunya?” Suaraku dibuat sepanik mungkin, pura-pura ikutan syok.

“Nggak, De. Mbak tadi malam sudah menguncinya dengan benar. Kami kaget banget saat masuk rumah dalam keadaan berantakan.” Suara Mbak Lilik terdengar di sela Isak tangisnya.

Dia keceplosan. Ya Allah … kenapa hati ini rasanya sakit banget.

“Kami? Berarti Mas secara mampir ke rumah Mbak Lilik? Apa mau numpang mandi di situ? Padahal, kalian kan membawa kendaraan masing-masing. Atau mau numpang tidur di sana?” Kesempatan emas untuk menyudutkan Mas Tama.

Aku bisa membayangkan bagaimana paniknya wajah itu saat ini. Entah alasan apa akan ia berikan kepadaku setelah ini. Dasar pengkhianat!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status