Share

03. Kemunculan Lelaki Tampan

“Jes—” Naura memberikan kode pada Jessi, sekretaris Wisnu yang duduk di meja kerjanya tidak jauh dari ruangan kantor bosnya.”Kamu pahamkan yang aku bilang tadi?”

Jessi mengangguk,”Paham,Bu. Kalian lagi bertengkar ya,Bu Naura?”

“Ssstt—” Naura menggeleng. “Cuma salah paham aja.” Melirik sekilas pintu kantor Wisnu yang saat ini terutup karena dia sedang ada meeting dengan client.

“Hati-hati loh,Bu.” Naura mengeryit. “Salah pahamnya jangan kelamaan—” Jessi berbisik pelan. “Yang mau ngerebut pak Wisnu banyak.”

Naura melotot,”Ihh, awas aja! Kamu lihat dong cincin ini—” Naura menunjukkan cincin lamaran Wisnu.”Kami on the way menikah.”

“Ohh—” Jessi manggut-manggut sembari membenarkan rambutnya. “Selamat deh,Bu.”

Naura mengibaskan rambutnya, melirik sekilas Siska yang nampak tidak senang dengan Jessi yang sudah sibuk sendiri dengan riasannya. Rencananya, dia akan menyelinap ke kantor Wisnu saat kekasihnya itu keluar. Mereka harus mencoba berbicara dari hati ke hati.

Klek!

Naura menoleh ketika mendengar suara gagang pintu,menarik Siska sembunyi bersamanya di balik dinding yang tertutup tanaman tidak jauh dari pintu.

Wisnu terlihat keluar bersama seorang pria paruh baya,sibuk mengobrol hingga tidak menyadari keberadaannya dan berhenti di depan lift memberikan kesempatan pada Naura untuk menyelinap masuk. Meninggalkan Siska,sahabat yang dia seret menemaninya untuk menunggu sebentar di luar. Dia terpaksa melakukan ini agar Wisnu mau berbicara dengannya.

Sesampainya di dalam, Naura memilih duduk di kursi Wisnu seperti yang biasa dia lakukan kalau sedang berkunjung, menunggu Wisnu dengan harap-harap cemas.

Klek.

Naura menahan napas, mendengar suara pintu yang terbuka hingga tanpa sadar dalam hati menghitung langkah kaki Wisnu hingga menyadari keberadaannya.

“Naura.” Wisnu nampak kaget. “Ngapain kamu di sini?”

“Memangnya mau apa lagi selain menemuimu yang sama sekali tidak mau mengangkat teleponku.”

Wisnu berdecak, melipat lengannya di dada,”Jadi, apa keputusanmu?” tanyanya to the point.

Naura berdiri, menghampiri Wisnu dan berdiri berhadapan,”Kasih aku waktu tiga bulan.”

“Tiga bulan?”

“Ya, setelah tiga bulan, aku akan memberikan keputusanku. Kamu harus memberiku kesempatan untuk mempersiapkan diriku sendiri dengan apa yang menjadi ketakutanku selama ini.”

Wisnu nampak berpikir sesaat,”Memangnya apa yang akan kamu lakukan?”

Naura menggigit ujung kukunya yang runcing,”Aku sudah ada rencana yang mungkin bisa membuatku berubah pikiran nanti meskipun aku nggak yakin juga tapi tidak ada salahnya di coba."

Wisnu berdecak, melewatinya begitu saja dan duduk di kursinya.

“Kamu nggak percaya sama aku?” Naura mulai gusar. “Nunggu tiga bulan lagi tidak akan jadi masalahkan?”

“Entahlah. Mama menyuruhku untuk segera menikah dan memberinya cucu. Aku tidak tahu dia bisa menunggu tiga bulan lagi atau tidak!”

Suara Naura mulai meninggi,”Memangnya selain aku, kamu akan menikah dengan siapa lagi?!”

Wisnu berdiri,”Seharusnya kamu tidak keras kepala seperti ini dari awal. Tugas seorang istri itu ya memberikan keturunan. Kalau kamu nggak mau direpotkan dengan hal-hal seperti ini seharusnya kamu hidup sendiri aja!”

Naura ternganga mendengar semua hal yang dikatakan Wisnu. Memangnya salah jika dia memiliki pemikiran untuk menunda memiliki anak sampai dia merasa siap lahir dan batin.

Wisnu berjalan melewati Naura yang bergeming di tempatnya.

“Wisnu—” Naura balik badan.”Kita masih belum selesai bicara!”

Wisnu berhenti dan menoleh,”Memangnya apa lagi? Ya kita lihat saja tiga bulan lagi. Apakah kita bisa menikah atau tidak?!”

Wisnu meninggalkannya begitu saja bergeming di tempatnya berdiri. Dia merasa kalau Wisnu tidak mau mempertahankan hubungan mereka hanya karena masalah ini. Tapi Naura mencintainya.

“Ah,sialan!” decak Naura,kesal sendiri.”Punya laki kok kebelet kawin dan beranak pinak gitu sih.”

Naura keluar dari ruangan Wisnu sambil memikirkan jalan keluar untuk masalahnya karena Wisnu tidak mau mengalah dengannya sedikit saja.

***

"This's crazy!!"

Naura mengedarkan pandangan, mencoba menganalisis medan perang yang akan dia takhlukan beberapa bulan ke depan. Khas seperti bangunan sekolah yang memiliki beberapa sarana bermain, lapangan luas, ruangan serba guna yang berbentuk seperti pendopo, kantin yang terjamin kebersihannya dan bangunan lain yang tidak tahu apa fungsinya. Ibu-ibu yang menunggu anak-anaknya, duduk bergerombol sambil berceloteh di sudut lain bangunan yang sepertinya dikhususkan untuk menunggu.

Tanpa sadar, Naura menghela napasnya. Sanggupkah dia melakukannya tanpa mengibarkan bendera putih tanda menyerah lebih dulu?

Bapak yang diikutinya tiba-tiba berhenti di depan salah satu pintu coklat membuat Naura hampir saja menubruknya dari belakang dan saat si Bapak berbalik, Naura langsung mundur selangkah.

"Langsung masuk aja Mbak." Bapak itu tersenyum ramah.

"Makasih Pak—"

"Pak Kasep," ujarnya seraya tersenyum.

Naura menganguk lalu Bapak itu meninggalkannya berdiri sendiri di depan pintu kayu yang tertutup rapat.

"Selamat pagi."

Naura mengetuknya seraya memberikan salam dan pintu itu terbuka menampilkan seorang wanita gemuk yang mencepol rambutnya ke atas.

"Pagi."

Ibu kepala sekolah bernama Dahlia itu memperhatikan penampilannya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan heran. Mungkin penasaran berapa kira-kira kisaran harga yang harus dikeluarkan untuk bisa tampil cetar sepertinya.

"Apa kamu benar yang bernama Naura yang direkomendasikan langsung sama Ibu Keke Pramudhani untuk mengajar seni di sini?"

Ah ya itu nama Tantenya temen Arbella.

"Iya benar."

Wajah si Ibu gak ada senyum-senyumnya sama sekali, terlihat judes dan menyebalkan.

"Kamu enggak salah kostum?" tanyanya tanpa aba-aba.

"Hah?" Naura cengok.

"Kamu itu di sini mau ngajar paud bukannya jadi sekretaris direktur lelaki berperut kotak-kotak. Yang kamu hadapin itu anak-anak bukannya lelaki dewasa yang bisa kamu goda."

Naura mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Ya sudah kalau begitu karena ini hari perkenalan saja jadi kamu saya kasih toleransi. Ayo masuk dulu."

Belum juga sempat menjawab eh si Ibu gendut sudah kembali ke mejanya meninggalkan Naura yang cengok selama beberapa saat kemudian tersadar dan buru-buru masuk ke dalam.

"Bukannya yang terpenting pakaian saya masih sopan Bu?" Naura berdiri di depan mejanya. "Tidak mengumbar aurat ke mana-mana."

"Tapi kostum sama dandananmu itu terlalu berlebihan. Duduk!" perintahnya tegas.

Naura duduk sambil merengut dan selama belasan menit berikutnya dia habiskan dengan mendengarkan semua peraturan yang ada di sekolah dengan kepala mengangguk, malas banget berdebat.

"Ayo kita keliling sekolah."

Akhirnya ocehannya selesai juga. Dalam hati Naura mendesah lega karena jengah dengan semua omongan si Ibu.

"Iya Bu."

Naura mengikuti Ibu Dahlia keluar dari ruangan, membawanya berkeliling memperlihatkan ruangan-ruangan yang sering mereka gunakan dan mengenalkannya pada orang-orang yang bekerja di tempat ini.

Sampai di depan pintu yang tertutup dan terdengar suara anak-anak menyanyi di dalam, Bu Dahlia berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Mereka lagi belajar."

Naura langsung bergidik sembari mengintip sedikit ke dalam. Ruangannya luas, berdinding kaca dan ada sekitar lima belas anak berseragam yang umurnya sekitar tiga atau empat tahun berdiri bergerombol di depan.

Naura memperhatikan kegiatan mereka yang muter-muter gak jelas bahkan ada yang ngesot-ngesot di lantai entah maksudnya apa. Hanya Tuhan dan anak itu sendiri yang tahu dan Naura gak mau capek-capek memikirkannya.

“Sepertinya cukup sampai di sini dulu.”

Naura mengalihkan pandangannya ke ibu Dahlia yang kembali melanjutkan langkahnya dan dia mengekori di belakang sampai kembali ke dalam ruangannya.

“Sekarang kita bahas tentang kontraknya.”

Selama satu jam Naura berada di dalam mendengarkan ocehan Ibu Kepala Sekolah dan menandangani surat kontrak yang hanya memakan waktu sepuluh menit itu. Naura membuka pintu dan ternganga kaget saat mendapati seseorang berdiri menjulang menghalangi jalannya.

Reflek Naura langsung banting pintu hingga tertutup kembali dengan kerasnya membuat Ibu Dahlia jelas kaget.

“Pintu saya bisa ambruk kalau kamu tutup begitu, Naura.” Ibu Dahlia menghampiri. “Ada apa sih?”

“Jangan di buka,Bu. Ada setan.”

Telat. Ibu Dahlia sudah membukanya dan Naura menutup wajahnya dengan tangan karena takut dengan apa yang dia lihat tadi.

“Ada apa sih?”

Naura mencoba mengintip, lalu bingung saat melihat tidak ada siapa-siapa di sana seperti yang dilihatnya tadi. Naura berpikir mungkin dia berhalusinasi akibat dari ciuman menyebalkan laki-laki itu tapi sepertinya dia juga tidak salah lihat.

“Angin Bu.” Naura cegengesan membuat Ibu Kepala Sekolah mendelik. “Saya pulang dulu ya Bu.”

Tanpa menunggu jawaban, Naura langsung ngacir pergi ke tempat parkir di mana mobilnya berada dan masuk ke dalamnya.

Saat akan menyalakannya seseorang membuka pintu samping dan masuk begitu saja membuat Naura reflek menjerit.

“AAAKHH!” Naura terlonjak ke pojokan, kaget.

Laki-laki itu melipat lengan di dada dan tersenyum smirk,”Akhirnya, ketemu juga dengan orang yang tidak bertanggungjawab itu."

Naura menggerang, tidak lagi bisa berkutik tapi saat melihat ke spion, ada taksi yang sedang menurunkan penumpang tepat di belakang mobilnya, ide gilanya muncul.

“Sori, kita nggak ada urusan!”

Setelah mengatakannya, Naura melesat keluar membawa tasnya dan secepat kilat masuk ke dalam taksi mengabaikan teriakan seseorang.

“Terbang Pak, cepat!”

Bodo amat sama mobilnya yang dia tinggalkan begitu saja. Pokoknya dia harus melarikan diri dulu dari laki-laki yang membuat jantungnya rasanya mau copot.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status