“Beb, ini sih namanya bunuh diri."
Naura memutar bola mata sembari mengotak-atik ponsel di tangan saat perias yang sedang menata rambutnya berkomentar. "Elo kan gak suka banget sama anak kecil. Udah deh dari pada elo yang pusing nantinya mending angkat bendera putih aja dari sekarang." "Kamu lebay deh, Don. Masa gue harus kalah sebelum berperang sih. No Way!!" Doni Amirah, lelaki berjari lentik di salon langganannya yang bisa menyulap itik buruk rupa menjadi secantik cinderella itu sangat tahu bagaimana tidak sukanya dia dengan anak-anak. Pagi-pagi buta, Naura sudah ada di depan salon Doni padahal jam operasionalnya itu masih beberapa jam lagi hingga membuat Doni marah-marah. Dihari pertamanya bekerja, Naura ingin penampilannya sempurna supaya mudah mempengaruhi anak-anak. "Ihh dibilangin juga ih. Gue gak bisa bayangin itu nanti anak-anak bakal lihat wajah monster lo yang galaknya gak ketulungan. Kasihan aja sih sama mereka yang harus berhadapan dengan guru modelan lo gini." “Makanya elo buat dong wajah gue ini secantik Princess Disney supaya mereka itu nurut sama gue!” “Etdah, sekalipun wajah kayak princess tapi kalau sifat lo lebih mirip medusa ya nggak mempan dong.” “Sialan!” umpat Naura.”Gue nggak separah itu!” “Lebih parah malah,” balas Doni. "Ini juga terpaksa harus gue lakuin, Don. Bilangnya sih supaya gue bisa memperbaiki image anak-anak di kepala gue ini supaya nanti gue bisa kembali negosiasi sama Wisnu." "Ah itu laki juga ya nyebelin." Doni mengatur rambut panjangnya agar lebih bergelombang bawahnya supaya dia bisa tampil cetar mengalahkan syahrono di hari pertamanya ke sekolah. "Seharusnya dia tetap mendampingi elo dan mencari jalan keluar yang terbaik berdua." Naura manyun mendengarnya. Kenyataan kalau Wisnu malah menghindarinya membuatnya kesal setengah mati. "Atau jangan-jangan dia memang sudah memprediksi kalau lo akan mempermasalahkan soal anak supaya kalian bisa putus dan dia bisa cari wanita lain yang modelannya seperti Metta itu, saingan lo." Naura melotot ke arah Doni melalui kaca. "Elo jangan ngomong sembarangan ah. Gak mungkin Wisnu langsung berpaling ke wanita lain.” "Gue kan cuma kasih pendapat." "Pendapat lo gak mutu." Doni mencibir, memberikan semprotan hair spray sebagai sentuhan terakhir dan tersenyum lebar membuat Naura langsung memperhatikan rambutnya yang sudah cetar. "Good. Biarpun harus perang dan gue gak tahu apa yang akan terjadi nanti tapi gue kudu selalu tampil cantik." "Elo mah memang sudah cantik. Ya udah sana deh pergi. Elo ganggu ritual pagi gue aja sih.” Naura memutar bola mata. ”Gue cuma bisa bilang, semoga elo beruntung gak kena darah tinggi setelah masa tiga bulan ini terlewati." Naura tertawa seraya berdiri. "Gue harus bisa bertahan. Anak-anak itu harus nurut sama perintah gue." "Elo kira mereka robot yang bisa diatur-atur. Yang ada sih elo yang harus menyesuaikan diri." "Bodo amat gimana caranya nanti. Ah udahlah. Gue udah telat jadi dadah bye bye." Naura memberikan ciuman jauhnya dan Doni langsung menangkap dan memberikan ciuman balasan lalu keluar dari salon menuju ke mobilnya. Naura terpaksa memakai mobil kesayangannya yang jarang dia pakai karena mobil miliknya yang berhasil dia derek ada di bengkel. "Gak ada dalam kamus seorang Naura mengalami kekalahan untuk hal beginian." Naura mencengkram kemudi mobilnya. "Oke, i'm ready for this." *** Naura bergidik melihat banyaknya bocah-bocah troublemaker yang seperti siap untuk mengajaknya pergi ke medan perang. Berusaha keras untuk tidak melarikan diri dari tatapan-tatapan polos yang berdiri bergerombol di depannya memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Tampangnya sih polos tapi Naura sudah bisa membayangkan di kepalanya drama apa saja yang akan terjadi dan itu pasti akan membuat Naura seperti terkena serangan badai. Sialnya, setelah berdiri di hadapan mereka semua seperti ini, Naura malah tidak yakin apa dia bisa menghadapi semuanya sendiri karena menghadapi keponakannya saja dia bisa berubah menjadi hulk dalam sekejap. Tahan..tahan..tahan.. Mereka anak orang bukan anak nyamuk. "Halo sayangku semuanya." Naura kaget dengan salam nyaring dari ibu Dahlia yang berdiri di sebelahnya. "Halo ibuuuuuuuu," balas mereka. Ibu Dahlia melambai-lambai, menoleh ke arahnya dan memperkenalkannya dengan seorang wanita muda berkepang yang sedang hamil besar yang tersenyum melihatnya. "Naura, kenalkan ini Putri yang mengajar kelas ini." "Halo Putri." Naura mengulurkan tangan yang langsung disambut Putri. Selama tiga bulan ini, Naura yang akan menggantikan Putri yang cuti hamil. "Halo. Semoga betah ya," balasnya seakan memberi semangat. Yeah,semoga saja. "Anak-anak senang nggak nyanyi-nyanyinya?" tanya Ibu Dahlia. "Senaaaaanggg Buuuuu. Laaaggiiiiiiiiiiii potong bebeeeeknyaaaaaaa." Ada yang menjawab tapi ada juga yang cuek. Naura hanya diam tanpa berniat menyapa mereka tapi tatapan dari Ibu Dahlia juga Putri membuatnya kagok. Dia berdeham dan menyapa semua anak-anak itu tanpa ekspresi dan intonasi datar. "Hai semua." Singkat , jelas dan padat. Anak-anak itu sama sekali tidak ada yang menjawab hanya diam memperhatikannya begitu juga Ibu Dahlia dan Putri. Naura nyengir, "Maklumin Bu hari pertama." “Di sini ada lima belas siswa dan siswi tapi ada satu siswa yang sedang izin selama seminggu,” Ibu Dahlia memberi info. “Izin kemana,Bu?” tanya Naura. “Diajak PapInya keluar negeri ada urusan.” “Oh.” Naura mengangguk. Enak banget ya. Tiba-tiba ponsel di saku celananya berbunyi dan Si Ibu langsung mengangkatnya. "Oh begitu. Oke baiklah, Saya akan segera ke sana." Naura melihat anak-anak itu menelengkan kepala memperhatikan dan dia membalasnya dengan melotot membuat beberapa anak perempuan bergerak mundur. "Naura—" Naura langsung menoleh, pasang senyum bisnisnya. "Saya tinggal sebentar di sini sama mereka ya. Saya dan Putri mau ke ruangan dulu ada yang mau diurus. Sekalian kamu berkenalan dan berinteraksi dengan mereka." "Hah? Sendirian?" Mampus!! "Iya, memangnya kenapa?" "Eh, gak apa-apa Bu." "Oke, kami tinggal sebentar ya." Naura mengangguk saat Ibu Dahlia melambai ke anak-anak itu dan meninggalkannya di sana sendirian. "Uwuwuwuwuwuwu, ibu guluuu baluuuuu." Seorang anak cowok yang sejak awal dia perhatikan tidak bisa diam di tempatnya mendekat dan berputar-putar di sekelilingnya. "—eh," ucap Naura yang kepalanya mengikuti pergerakannya yang bikin pusing. Anak cowok itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang sudah lengkap. "Jangan mutar-mutar begitu. Duduk!!" Ucapnya seraya menunjuk lantai. "Gak maaaauuuu. Hhahahahhahaha." Anak itu malah bersembunyi di balik punggungnya dan saat dia menoleh ke belakang anak itu langsung berseru lantang. "BAAAAAA!" Ya Tuhan, beri hamba kesabaran tingkat dewa khayangan. "Ibu guluuuuu cantiiikkkkk." Beberapa anak perempuan bergerombol mendekatinya dan menengadahkan kepala memperhatikan. Ada yang menarik-narik blazernya, rambutnya dan ada yang duduk di kakinya. "Kalian ini bisa dibilangin gak?" ucapnya ketus. "Eh, jangan pegang-pegang ya. Ini rambut sudah mampir salon tadi pagi nanti kusut." "Elisa maaau punya lambut beginiiii." Salah satu anak perempuan yang memiliki rambut pendek merengek di depannya. "Ya sana panjangin dulu itu rambutmu." Anak itu hanya mengerjapkan matanya. "Nguinggg..nguingggg..nguinggg awaass ada tayoo mauu lewaaaaattt," ucap anak cowok yang lainnya ke arahnya membuatnya reflek langsung memekik mundur membuat anak-anak perempuan itu kaget. "Bu guluuuu ayoooo naikk tayoooo." Naura bergerak dengan cepat menghindari anak itu yang membawa mainan bus kecilnya di tangan dan bergerak mengikutinya. "Uwuwuwuwuwu." Benar-benar anak yang tidak bisa diam. "Tayoo mau lewaaaaattt. Miciiiiiii." "Hust, kamu mainnya jauh-jauh sana jangan ngikutin!" "Wuwuwuwuwuwu." Anak itu tetap saja mengejarnya dan dikasih tahu nggak bisa. Naura bergerak berputar -putar di sana sampai tanpa sengaja kakinya menginjak boneka milik salah satu anak perempuan yang ada di sana dan— BUKKK!! "Adooooowwwww, pinggangku." Naura terjatuh dengan tidak elegannya dan anak cowok yang mengejarnya tadi langsung tertawa terpingkal-pingkal. "Aaaaahh Ibuuuu duyuuuuu jattoooohhhh. Kapooooooook." Sialan memang dikapokin anak kecil. Naura mengusap pantatnya seraya meluruskan kaki dan memperhatikan semua anak-anak itu bergerombol di sekitarnya. "HUAAAAAAAAA, bonekaaaaaaa balbieeee Riskaaaa kepalanya lepaaaaaasss." Anak perempuan itu menangis di depannya. Naura melihat boneka barbie yang tadi diinjaknya sudah tercerai berai kepalanya. "Aduuhhh ituu buang ajaaa, jelek," Naura menendang kepala si Barbie menjauh dari kakinya membuat Riska yang melihatnya tambah menangis dan merangkak untuk sampai ke tempatnya dan menarik rambutnya. "Aaaaaaaaaa bonekaaaa balbieeeekuuuuu." "Aduhh, sana minggir." Anak-anak itu mengerumuninya dan anak cowok yang membawa bus tayo di tangannya itu mendorong-dorong kakinya dengan bus miliknya. "Minggillll sanaa minggilll." "Hei kalian jauh-jauh." Naura mendorong pelan beberapa anak yang begitu dekat dengannya. "Hei, jangan tarik-tarik rambut." Naura mencoba melepaskan rambut hitam bergelombangnya dari cengkraman si anak yang menangis tadi. "Kalian minggir semuanya." "Huuaaaaaaaa." Sekarang ada tiga anak yang menangis dan itu membuat Naura semakin pusing. "Tayooooo mau lewaaaaaat. Awas Bu guluuuuuu." "Minggir!!" ucapnya seraya membuang mainan itu menjauh membuat anak cowok itu diam lalu kemudian marah dan mendekat lalu mengambil telapak tangannya dan mengigitnya. "Aaaaarrrgghhhhhh." Naura memekik. "Memang enaaaaak akuuuu gigiiiitttt. Weeeeeee." Anak cowok itu memeletkan lidahnya dan berlari pergi sambil terrtawa-tawa. Naura mengacak rambutnya yang sudah berantakan dan memekik. "AKKHHHHHHH!!" Frustasi. Kesal. Marah. Anak-anak memang makhluk yang menyebalkan!! ***“Bagaimana hari pertamamu bekerja?” Naura yang sedang selonjoran kaki di sofa ruang tamu rumahnya mencebik menjawab pertanyaan Arbella yang datang dari arah dapur dan duduk di sofa tunggal sambil nyemilin kacang goreng. “Rusuh.” Arbella tertawa membuat Naura keki dan membuang muka kembali fokus dengan ponselnya untuk mencari tahu kegiatan Wisnu. Tapi sayangnya, sejak satu jam yang lalu tidak ada yang bisa di dapatkannya. “Tapi seru kan?” “Seru apanya? Stress sih iya.” Arbella berdecak, “Tapi ingat loh ya, mereka itu anaknya orang yang nggak bisa kamu marahin sembarangan. Kamu harus hati-hati dalam berbicara dan bersikap.” “Aku sudah berusaha semampuku,” desah Naura. Membayangkan kembali dia harus menahan dirinya sekuat tenaga agar tidak berubah menjadi hulk. “Percayalah, itu semua akan kamu rasakan manfaatnya suatu hari nanti.” “Aku tidak peduli,” cibir Naura. “Kalau kamu mau menyerah dan pasrah ditinggalkan Wisnu ya kamu berhenti saja.” Naura mendelik. “Kamu bilang aja sam
Hari ini lengkap sudah deritanya. Tadi pagi mobilnya mogok, tidak ada seorangpun yang bisa diandalkan untuk datang membantunya selain tukang bengkel hingga akhirnya memilih naik taksi, maag-nya kambuh karena belum makan, kemeja putihnya sudah bercorak saat ini yang bisa aja dia cuci tapi itu malah akan membuat warnanya amburadul jadi terpaksa dia pakai dan akan membuangnya saat berada di apartemen dan sekarang saat pulang, hujan turun dengan derasnya. Sekolah sudah sepi sejak setengah jam yang lalu, Naura memilih berdiri sendirian di gerbang menunggu Fransiska yang akan menjemputnya, di bawah lindungan payung yang dipinjamkan Karen yang motifnya spongebob. Luar biasa sekali Naura meniup poninya. "Apes banget hari ini." Naura memeluk tubuhnya sendiri, memperhatikan sekelilingnya dan hujan seakan mengaburkan pemandangan apapun yang ada di depannya. Saat melihat kemejanya, di mana ada dua corak telapak tangan yang letaknya pas banget di masing-masing bagian dadanya membuat Naura tam
Setelah diancam akan digeret ke pengadilan sama hot daddy yang ganteng itu, Naura stress. "Elo kalau stress mengerikan!!" Di sampingnya, Siska begidik seraya menunjuk lima paperbag dengan ukiran nama merek butik terkenal yang Naura letakkan di atas kursi. Malam ini, Naura menggeret paksa Siska menemaninya ke mall untuk menghilangkan rasa stress dan penat setelah seharian mengalami kesialan. "Ya inilah gue." Naura menggidikkan bahu, duduk menyandar di kursi salah satu restoran di dalam mall yang malam ini cukup ramai. Steak di piringnya masih sisa setengah berbeda dengan Siska yang sudah menghabiskan spaghetti-nya dan sedang menyantap es krim coklat bertabur kacang almond. "Memangnya elo gimana?" "Gym—" Siska menyendok es krim di mangkuknya. "Yoga dan sebagainya." "Ah kalau itu sih memang keharusan. Gue selalu rutin olahraga." "Elo ngilangin stress ngabisin duit berjuta-juta." Siska menggelengkan kepala, Naura hanya nyengir. "Jadi sebenarnya elo stress karena bertemu dengan lak
"Baby, aku tidak mau lama-lama membiarkan hubungan kita tanpa ikatan resmi. Aku tidak rela jika ada laki-laki lain yang merebutmu dariku.” Naura menutup mulutnya dengan kedua tangan disertai linangan air mata saat Wisnu bersimpuh, mengeluarkan kotak beludru dari saku celananya dan membukanya memperlihatkan cincin berlian yang sangat cantik dan berkilau. “Naura, bersediakah kamu menikah denganku?” Naura tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat akhirnya dihadapkan pada momen sakral yang selama ini dinantikannya dari lelaki yang selama satu tahunan ini menjadi kekasihnya dan membuat mereka mendapatkan predikat relationship goals. Wisnu, lelaki yang memiliki perusahaan furniture merupakan sosok yang diimpikannya untuk menjadi calon suami masa depan.Saat ini mereka sedang makan malam romantis di salah satu rooftop hotel bintang lima yang dihias aneka bunga mawar hidup yang harum semerbak. Seharusnya, acara lamaran itu bersifat rahasia tapi dia tidak sengaja mencuri dengar rencana
HATCHIMM!“Errgh, sial!” umpatnya sembari menyeka hidungnya yang meler.Bisa-bisanya dia malah terserang flu dalam keadaan patah hati seperti ini. Rasanya tubuhnya menggigil dan hidungnya mampet. Ini pasti akibat dari berenang malam-malam. Kejadian itu membuat Naura ingin mengeluarkan umpatan dari mulutnya meskipun dia jadi teringat dengan ciuman itu.Naura diam memandangi langit-langit kamarnya dengan tubuh tidak berdaya. Mencoba merenungkan kejadian semalam yang masih terasa seperti mimpi baginya. Di mana letak salahnya saat dia memang belum siap lahir dan batin untuk memiliki anak setelah menikah?Tidak bisakah mereka berdua duduk, membicarakan semuanya baik-baik dan mencari jalan keluarnya bersama bukannya malah adu mulut demi ego masing-masing hingga membuat hubungan mereka renggang seperti ini. Naura memegangi kepalanya dengan dua tangan. Mungkin, dia yang terlalu egois. "Hiihihihihihihihih. Tan-Tan ngomong cendili taya olang gila." Suara cekikikan itu tiba-tiba terdengar. "
“Jes—” Naura memberikan kode pada Jessi, sekretaris Wisnu yang duduk di meja kerjanya tidak jauh dari ruangan kantor bosnya.”Kamu pahamkan yang aku bilang tadi?”Jessi mengangguk,”Paham,Bu. Kalian lagi bertengkar ya,Bu Naura?”“Ssstt—” Naura menggeleng. “Cuma salah paham aja.” Melirik sekilas pintu kantor Wisnu yang saat ini terutup karena dia sedang ada meeting dengan client.“Hati-hati loh,Bu.” Naura mengeryit. “Salah pahamnya jangan kelamaan—” Jessi berbisik pelan. “Yang mau ngerebut pak Wisnu banyak.”Naura melotot,”Ihh, awas aja! Kamu lihat dong cincin ini—” Naura menunjukkan cincin lamaran Wisnu.”Kami on the way menikah.”“Ohh—” Jessi manggut-manggut sembari membenarkan rambutnya. “Selamat deh,Bu.”Naura mengibaskan rambutnya, melirik sekilas Siska yang nampak tidak senang dengan Jessi yang sudah sibuk sendiri dengan riasannya. Rencananya, dia akan menyelinap ke kantor Wisnu saat kekasihnya itu keluar. Mereka harus mencoba berbicara dari hati ke hati.Klek! Naura menoleh ketika
"Ya Tuhan,kenapa gue apes banget ya!"Naura memegangi kepalanya dengan dua tangan terlihat begitu frustasi sementara sahabatnya, Fransiska, pemilik apartemen yang dia tinggali sementara selama mengajar di Paud sedang duduk santai menikmati kue blackforest sambil bertopang dagu. Mendengarkan saja Naura menumpahkan kekesalannya."Di sana penuh dengan anak-anak yang terlihat susah diatur.""Yaiyalah anak-anak. Kalau nenek-nenek ya namanya panti jompo!"Naura melotot. "Ih serius. Elo tahu kan apa yang gue maksud?!""Lebay." Siska mengunyah blackforestnya. "Cuma elo aja yang menganggap kalau anak-anak itu menyebalkan padahal ya mereka itu lucu dan ngegemesin.”Naura menopangkan dagu, menghela napas panjang. "Keponakan-keponakan gue yang biang onar itu. Setiap mereka datang ke rumah atau pas gue lagi main ke rumah mereka, pokoknya hanya ada keributan aja di sana. Bikin pusing dan sumpek. Belum lagi kalau kakak-kakak gue lagi ngomelin mereka."Siska tertawa membuat Naura keki dan dengan ger