“Arjuna Ivander.” Naura mengulang nama itu di kepalanya. Namanya aja udah macho banget meski terkesan sangat Indonesia tapi cocok untuk hot daddy yang satu itu. Bertanya-tanya dalam hati apa wanita berdandanan menor yang dilihatnya kemarin malam di restoran itu adalah Srikandinya. "Iya." Karen menyendok rawon iganya ke dalam mulut sebelum melanjutkan. "Pak Arjuna yang gendong kamu ke klinik. Dia panik banget tadi." "Bohong!!" bantah Naura dengan lantang. Mana mungkin lelaki straight face begitu panik. Kalau tertawa mengejek sih lebih masuk akal. Karen berdecak, menggigit iga lepas dari tulangnya dan mengunyahnya. "Terserah kalau gak percaya." "Aku gak percaya." Karen menggidikkan bahu, terus mengunyah sementara Naura bahkan belum menyentuh iga rawon yang sangat diidamkannya dari tadi pagi karena sibuk memikirkan nasibnya yang hari ini memalukan. Lebih tepatnya, sangat-sangat-sangat-sangat memalukan. Naura bersyukur ketika terbangun dari pingsannya, lelaki dengan ekspresi sedat
"Bu Naula—" "Apa?!" jawab Naura sambil melotot. Keylan merengut seraya mengulurkan kotak bekalnya. "Ini buat Ibu Gulu." "Kenapa buat Ibu?" Naura sempat kaget saat tiba-tiba Keylan datang dan memberikan bekalnya yang biasa dia bawa di kotak makan motif spiderman itu padahal masih terlalu pagi. Biasanya Keylan akan datang kalau sudah mendekati jam masuk sekolah. "Supaya Bu Gulu enggak pingsan lagi sepelti kemalin." Naura mendorong balik bekal itu. "Gak usah, Ibu sudah sarapan." Keylan menarik bekal itu dengan wajah sedih. Naura berdecak. "Nanti kalau Ibu yang makan, kamu bisa pingsan." Keylan menggelengkan kepala, menyodorkan lagi bekalnya. "Kata Papi jadi anak lelaki itu halus kuat, halus mendahulukan pelempuan." Naura menaikkan alis mendengarnya, anak sekecil ini sudah diajarin menjadi seorang gantleman. “Kalau gak mau semua ya udah sepaluhnya aja.” "Nanti Ibu yang dimarahin sama Papimu." Naura berdiri dari duduknya setelah membereskan buku bergambar juga crayon yang
"Aku rasa itu bukan urusanmu." "Oh, itu secara tidak langsung juga urusanku karena anakku ada di dalam kelas yang diajar oleh guru tidak kompeten sepertimu. Sebagai orang tua yang sangat mencintai anak mereka, wajar saja kalau aku khawatir dengan keselamatannya. Bisa saja tiba-tiba di saat kamu sedang stress dan cenderung melakukan hal membahayakan—" "Aku bukan psikopat!” Teriak Naura kesal, menghentikan serbuan kata-kata Arjuna yang langsung terdiam. "Kamu jadi laki cerewet banget ya ngalahin ibu-ibu kompleks. Wanita mana coba yang tahan sama kamu!!" Naura mengetukkan kepalanya dengan tangan. "Ah ya lupa, istrimu pastinya. Sepertinya dia wanita yang extra sabar ya. Apa wanita berdandanan menor malam itu?" Naura mengedarkan pandangan ke sekitar area rumah tapi keadaanya sepi sekali. Bahkan pembantu juga tidak ada nampak. "Wah, apa tanggapannya kalau dia tahu kamu membawa wanita ke dapur rumahmu." Naura mencibir sementara Arjuna hanya diam, nampak tidak terpengaruh membuatnya malah
Masih sambal menelepon, Naura memperhatikan Arjuna melepas kacamata hitamnya seraya berjalan ke arahnya membuat Naura sedikit bergeser merepet ke tembok, memalingkan wajahnya dengan dagu terangkat. Tadi Keylan senang banget saat Papinya membawakannya bento yang langsung dia habiskan tanpa mengatakan kalau bento itu buatannya. Sialan memang tapi Naura sih juga gak peduli yang penting urusan mereka selesai. Arjuna menatapnya tanpa mengatakan apapun dan berjalan melewatinya begitu saja masuk ke dalam sekolah. Naura menghela napas panjang, melihat ke arah jam tangannya dan menghembuskan napas kesal. “Kenapa?” tanya Siska. Naura mendesah,”Badai sudah berlalu.” Siska tertawa kencang, Naura memperhatikan jalanan di depannya. “Lama banget Pak Ahmad. Kayaknya gue harus pesan tak—" Ucapannya terhenti saat matanya menangkap setangkai bunga mawar merah mekar muncul dari samping. “Tak apa—” suara Siska samar-samar terdengar tapi fokus Naura sudah ada pada Keylan di depannya. "Makasih bu
“Wisnu.”Naura mencoba mengontrol ekspresi wajahnya, mengenyahkan bayangan negatif di kepalanya dan mencoba berpikir positif demi keamanan hatinya saat ini. Jadi, Naura berjalan mendekat dengan langkah percaya diri dan memeluk Wisnu yang nampak kaget dengan apa yang dilakukannya. Naura mencoba tidak peduli dengan wanita di sampingnya."Aku kangen banget sama kamu." Naura memeluknya erat, meresapi aroma parfum Wisnu yang sangat dihapalnya. "Kenapa kamu menghindar dari aku sih? Kamu tahu nggak kalau sekarang, aku tuh lagi kerja jadi guru di—"Belum selesai berbicara, Wisnu tiba-tiba mendorongnya menjauh membuat Naura terdiam menatapnya."Naura, kamu ini apa-apan sih?!” ujarnya kesal. “Aku nggak bisa ngeladenin kamu sekarang karena aku sudah punya janji dengan seseorang. Lebih baik kamu pulang sana!”Naura tidak menduga kalau Wisnu akan mengusirnya.“Aku tuh kangen sama kamu.Aku ini calon istri kamu. Kita akan menikah.”“Belum. Bukankah kamu sendiri yang mengacaukan rencana pernikahan k
"Tapi gue akui, dia keren juga. Apa yang dia bilang ke elo itu bener sih walaupun caranya dia frontal banget." "Frontal abis! Kiranya gampang apa move on dalam waktu semalam. Sinting!!" Naura nampak kesal, melipat lengannya di dada. "Sudah tahu orang patah hati malah tambah di sayat-sayat. Mana cincinnya dibuang lagi sama dia plus gue malu banget sudah ketahuan bohong." Naura memukul dahinya sendiri. "Gila aja, paginya gue bohong eh malamnya ketahuan." Siska tertawa. "Kualat kan lo!! Bagus sih cincinnya dia buang supaya elo gak terus terjebak dihayalan tentang pernikahan sama lelaki dongo itu. Memangnya gak bisa apa nunggu sebentar kayak besok onderdilnya bakalan keriput kalau gak dipake buat nanam benih. Buru-buru banget mau punya anak.Ck." "Entahlah. Gue masih berharap kalau dia mau datang, minta maaf dan membicarakan semuanya." Siska menggelengkan kepalanya. "Kok gue ngerasanya dia gak bakalan datang ngemis cinta lo lagi. Yang ada elo bakalan nerima surat undangannya." "Doain
Naura merasakan kepalanya agak pusing saat keluar dari lift yang membawanya ke salah satu lantai di gedung Verister Corportion yang selama ini menggunakan jasa catering dari restorannya untuk semua kegiatan yang mereka lakukan, baik yang resmi ataupun yang tidak. "Selamat datang Ibu Naura di perusahaan Verister Coorporation. Perkenalkan saya Ivanka, sekretaris General Manager, Pak Sheiland yang akan menemui kalian sebentar lagi. Silahkan ikut saya ke ruangan meeting.""Terima kasih," ucap Naura dengan sikapnya yang professional meski tubuhnya terasa lemas.Ivanka tersenyum sopan, mengangguk singkat dan setelah bersalaman dia mengarahkan mereka ke satu-satunya pintu lebar yang ada di sudut dan mempersilahkannya masuk."Silahkan tunggu sebentar karena Pak Sheiland baru saja selesai rapat besar.""Baiklah kami akan menunggu. Saya harap tidak lama.""Tidak. Hanya sebentar.""Oh ya kalau boleh tahu apa Pak Sheiland yang bertanggung jawab untuk masalah kontrak dengan kami?""Iya, Beliau ya
"Jadi kamu ownernya?" tanya Naura tidak percaya. Arjuna menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari dan tersenyum smirk. "Terimalah kenyataan. Apa kamu tetap akan pergi begitu saja? Terserah sih karena aku tidak akan rugi sedikitpun." "Apa kamu memang semenyebalkan ini?!" desis Naura kesal. "Tergantung." Naura diam, menimbang apakah dia harus pergi dan membiarkan saja kontrak mereka berlalu atau lagi-lagi dia terpaksa harus melanjutkannya dan menahan kesal dengan tingkah Arjuna. "Apa kamu akan tetap berdiri di sana dan membuang-buang waktuku di sini?" sindirnya lagi. Bajingan tengik! Naura berbalik berniat pergi tapi baru satu langkah, dia berhenti, menghela napas panjang dan berbalik lagi menghadap Arjuna tidak jadi pergi. "Oke." Naura melipat lengannya, kembali mendekati Arjuna dan duduk di sofa panjang yang tadi ditidurinnya. "Aku sudah sampai sini jadi aku pantang pulang dengan sia-sia." "Whatever." Naura mencebikkan bibirnya melihat gaya songong Arjuna. "Tapi aku tida
selama dua puluh delapan tahun Naura hidup di dunia, ini merupakan malam yang paling mendebarkan baginya. Sensasi saat masuk rumah hantu juga saat dipaksa nonton badut padahal dia benci setengah mampus sama makhuk yang paling disukai anak-anak itu, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sensasi yang dirasakannya malam ini.Berlabihan memang tapi itulah kenyataan yang Naura rasakan. Mau belah duren ciinnn, kan nerveous. Nanti, Naura kudu piye?Bukan berarti dia gak tahu apa-apa, hanya saja saat dia dihadapkan langsung pada malam bersejarah itu, tentu saja Naura merasakan panik.Sejak masuk kamar lebih dulu setengah jam yang lalu, Naura sudah mondar mandir mirip setrikaan uap panas tidak jauh dari tempat tidur king size yang di atasnya penuh dengan taburan bunga mawar dibentuk love begitu juga bath up di kamar mandi. Arjuna menyewa kamar Royal Suite hotel bintang lima yang harga semalamnya mahal gila. Mereka memang sepakat untuk menunda bulan madu karena Arjuna sibuk mengurus kasus pe
Naura merasakan gugup yang luar biasa. Duduk menunggu dalam diam di ruangan yang semuanya serba putih. Mengabaikan kesibukan yang ada diluar dan tenggelam dalam lamunannya sendiri.Naura mengenang masa patah hatinya akibat dicampakkan oleh Wisnu dan rasanya begitu lucu saat ini ketika dia tanpa sadar mensyukuri hal itu terjadi karena Tuhan berbaik hati menunjukkan seperti apa sosok Wisnu sebenarnya sebelum semuanya terlambat.Mengenang pertemuannya dengan Arjuna Ivander dan cara mereka berinteraksi. Tidak menduga kalau semesta menyimpan takdir indah yang disiapkan untuknya. Naura bersyukur menemukan Arjuna, terlebih saat dia tahu kalau ternyata dia menjadi sosok yang begitu mempengaruhi dalam hidup laki-laki itu bahkan setelah bertahun-tahun lamanya tanpa sekalipun mereka bertemu.Sekarang, laki-laki yang dulu dia katain gendeng itu akan menjadi calon suami dan imam masa depannya.“Sayang—‘” Naura menoleh, berdiri saat Mamanya masuk ke dalam. “Ayo kita tunggu di luar karena sebentar l
"Na, bangun. Teleponmu bunyi terus."Naura mengucek matanya, bangkit duduk dan melihat Siska yang duduk di pinggir tempat tidur dengan gelengan kepala."Siapa sih yang nelpon?!"Naura mengambil ponselnya dan mengangkatnya. "Halo, kenapa Ma?""Astaga, Naura. Kamu lama banget sih angkatnya?""Baru bangun Mam, mumpung weekend. Kenapa?""Ini sudah jam sepuluh. Kamu buruan pulang. Ini gawat!""Hah, gawat?" Naura berdiri begitu juga Siska. "Kenapa?""Papa sesak napas—""Astaga, Papaaa!!" Teriak Naura, menarik Siska bersamanya keluar kamar. "Naura pulang sekarang, Ma." "Kenapa sih?""Sis, antarin gue pulang." Naura bergegas keluar dengan tergesa-gesa. Semoga saja Papanya dalam keadaan baik-baik saja. ***"Papaaaa!!” Teriak Naura yang loncat dari mobil Siska bahkan sebelum mobil itu berhenti sempurna, berlari masuk ke dalam rumah yang pintunya terbuka lebar. Masih dengan kostum seadanya; baby doll, sandal bulunya dan belum mandi bahkan rambutnya masih berantakan juga mata sembab setelah s
"Hmm—" Rendy berdeham dan tersenyum gugup membuat Naura jadi salah tingkah sendiri. Saai ini mereka sedang berada di salah satu restoran untuk makan siang. "Jadi begini. Awalnya Mas tidak punya maksud apa-apa mengajakmu makan siang seperti ini tapi Mas berpikir kalau mungkin nanti tidak akan punya kesempatan lagi jadi Mas ingin mengutarakan sesuatu yang penting sama kamu." Naura diam mendengarkan seraya meremas tangannya sendiri. "Jadi, Mas mau nanya, apa Mas boleh menjalin hubungan serius dengan Naura?'Naura melongo maksimal. Ternyata duda nomor dua memang menyukainya.Melihat Naura yang belum merespon, Mas Rendy melanjutkan bicaranya. "Maaf kalau membuatmu kaget karena terlalu tiba-tiba. Mas tahu kalau kita baru kenal dan bertemu tapi Mas memiliki niat baik ke depannya. Untuk sekarang, Mas mau kita saling mengenal lebih serius lagi."Berbeda dengan Arjuna,kalau yang ini memang benar-benar duda berbuntut."Hmm—"Naura bingung, Mas Rendy di depannya tersenyum. "Maaf kalau Mas mengata
Naura buru-buru akan masuk ke dalam lift saat lengannya ditarik mundur dan tubuhnya berakhir dalam pelukan seseorang."Please, jangan pergi. Kasih aku satu kesempatan untuk menjelaskan semuanya."Naura mengusap air matanya, mencoba melepaskan pelukan Arjuna yang teramat erat tapi susah hingga dia harus memukul perut laki-laki itu sampai mengaduh dan melepas pelukannya. Naura ingin menangis lagi karena tahu kalau Arjuna masih merasakan nyeri di tubuhnya tapi di sisi lain dia juga takut.Naura mundur, menjaga jarak dan menunjuk Arjuna. "Siapa kamu sebenarnya?” Ingatan tentang isi dari ruangan Arjuna tadi membayang di matanya. “Penguntit? Stalker? mata-mata? pembunuh bayaran? Agen-agenan?"Mereka saling menatap untuk sesaat sampai Arjuna mengulurkan tangan dan Naura reflek mundur menjauh membuatnya terlihat kecewa. Naura masih takut setelah melihat banyaknya figura foto dirinya yang limited edition yang artinya gak ada di media sosial manapun, menggantung di dalam ruangan kerja pribadi A
“Tolong jangan memandangiku seperti itu.” Naura memalingkan wajah, masih sambil mengunyah kentang goreng seraya menunggui Arjuna menikmati bubur yang dia buat. Jengah tapi juga merona dengan tatapannya meski laki-laki itu sama sekali tidak mengatakan apapun. Tapi justru itulah yang membuat jantungnya berdetak semakin tidak terkendali. Rasanya wajahnya sudah hampir terbakar dengan asap yang muncul di kepala, terasa panas. Arjuna dalam versi yang sedatar triplek aja bisa membuat jantung tidak aman apalagi Arjuna dalam mode manis dan romantis. Naura mungkin harus banyak-banyak ngelus dada supaya jantungnya tetap aman. “Aku tidak melakukan apa-apa,” kilahnya. “Kamu memandangiku terlalu bernapsu,” desis Naura, mengambil kentang goreng dalam jumlah banyak dan memakannya untuk mengalihkan perhatian dari tatapan geli Arjuna. Dia benar-benar malu. Di tatap berbeda dari yang biasa dia lakukan benar-benar membuat perbedaan. “Aku hanya tidak percaya, kamu ada di sini, di dalam apartemenku, m
Kombinasi kode apartemen Arjuna angkanya seperti angka ulang tahunnya. Bukan persis lagi tapi sama. Entah itu memang kebetulan atau memang disengaja, Naura juga gak tahu tapi nanti dia harus menanyakannya.Naura membuka pintunya perlahan, sejak beberapa menit yang lalu dia menekan bel tapi tidak ada yang membukakan pintunya jadi dia yang takut terjadi apa-apa, langsung masuk saja. Kalau nanti ternyata dia mendapati Arjuna keluar dari kamar mandi hanya pakai handuk ya Naura tinggal tutup mata. Ngintip sedikit kalau memang memungkinkan.Apartemennya bersih, khas lelaki dengan perabot yang minimalis tapi pas penempatannya. Tidak seperti kaum wanita yang membutuhkan banyak hiasan supaya terlihat lebih semarak.Naura mengedarkan pandangan, tidak ada siapa-siapa hingga membawanya semakin masuk dan menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Saat melihat pintu kamar yang terbuka, Naura cepat-cepat mendekat dan tertegun saat melihat Arjuna dalam keadaan babak belur terlentang di atas tempat t
"Bu gulu, kok Papi belum jemput cih?" Keylan mulai tidak sabaran."Duh, ya mana bu guru tahu, Papimu kemana!" Naura yang sejak satu jam lalu menemani Keylan menunggu jemputan di gazebo juga mulai tidak tenang. Tidak biasanya Arjuna terlambat menjemput Keylan selama ini. Naura menarik ponsel di saku blazernya untuk mencoba menghubungi Arjuna.Keylan yang melihatnya mengeluarkan ponsel langsung bergeser mendekat dan mendekatkan wajahnya."Telpon Papi ya, Bu?" "Ssst, anak kecil diem dulu!" Naura berdecak karena panggilannya terhubung mailbox. Dicobanya beberapa kali tapi tetap sama. "Yah, nggak diangkat."Keylan langsung cemberut dengan kepala tertekuk."Apa Papi lupa jemput Key?" tanyanya dengan tampang sedih.Naura berdecak,"Papimu belum tua. Nggak mungkin Papimu lupa sama anak sendiri. Mungkin dia lagi ada kerjaan mendadak.""Terus, Key gimana,Bu?" Keylan sudah hampir menangis. "Key kan pengen cepet ketemu Mama di lumah.""Mamamu sudah pulang ya?" tanya Naura penuh selidik.Keylan m
"Papaaa??!” Naura berteriak memanggil Papanya sesaat setelah masuk ke dalam rumah. “Duh, jangan teriak-teriak gitu dong, Na,” ucap Mamanya, duduk menonton televisi di ruang tamu sembari mengupaskan Mangga untuk Papanya yang duduk selonjoran kaki di sofa. “Gimana Naura gak teriak Ma kalau seperti ini.” Naura duduk di lantai di samping Papanya yang senyum-senyum sendiri membuat Naura kesal melihatnya. "Naura kaget banget waktu lihat berita itu terlebih saat nama Papa di sebut. Itu gimana ceritanya?" Naura penasaran. "Sepertinya kamu demen sama dia ya,Na. Gimana kalau kita jebak dia dengan pernikahan juga mumpung Papa punya saham besar di sana?" Naura ternganga maksimal memandangi Papanya yang nampak santai sementara anaknya sudah seperti kena serangan jantung. "Papa yakin dia gak akan menolak dijodohkan paksa dengan kamu." "Ih, Papa ini ngaco deh! Kalau dia aja menolak dijodohkan dengan wanita modelan Fransiska apalagi sama modelan Naura yang amburadul begini!" decaknya. "Eh, ja