“Bagaimana hari pertamamu bekerja?”
Naura yang sedang selonjoran kaki di sofa ruang tamu rumahnya mencebik menjawab pertanyaan Arbella yang datang dari arah dapur dan duduk di sofa tunggal sambil nyemilin kacang goreng. “Rusuh.” Arbella tertawa membuat Naura keki dan membuang muka kembali fokus dengan ponselnya untuk mencari tahu kegiatan Wisnu. Tapi sayangnya, sejak satu jam yang lalu tidak ada yang bisa di dapatkannya. “Tapi seru kan?” “Seru apanya? Stress sih iya.” Arbella berdecak, “Tapi ingat loh ya, mereka itu anaknya orang yang nggak bisa kamu marahin sembarangan. Kamu harus hati-hati dalam berbicara dan bersikap.” “Aku sudah berusaha semampuku,” desah Naura. Membayangkan kembali dia harus menahan dirinya sekuat tenaga agar tidak berubah menjadi hulk. “Percayalah, itu semua akan kamu rasakan manfaatnya suatu hari nanti.” “Aku tidak peduli,” cibir Naura. “Kalau kamu mau menyerah dan pasrah ditinggalkan Wisnu ya kamu berhenti saja.” Naura mendelik. “Kamu bilang aja sama mereka kalau kamu nggak kuat.” “Tidak!” Naura menggeleng. “Pokoknya aku harus kembali mendapatkan kepercayaan Wisnu apapun yang terjadi.” “Ya, pertahankan keyakinan itu.” Naura melihat Arbella berdiri. “Kalau begitu, untuk merayakan hari pertamamu bekerja bagaimana kalau kita berdua jalan-jalan ke mall?” Naura langsung berdiri dari rebahannya. “Traktir ya?” “Oke.” Naura sumringah, yah, setelah melalui hari yang berat dan melelahkan dapat traktiran begini memang pantas didapatkan. *** Sejak pagi, Naura yang agak badmood gara-gara mobilnya mogok sudah berdiri di depan gerbang bersama beberapa orang pengajar lain untuk menyambut para siswa seperti yang seminggu ini dia lakukan. Entah dapat kekuatan dari mana hingga dia bisa bertahan sampai sejauh ini mekipun jika harus dikatakan bahwa seminggu itu bagaikan bencana baginya. “Na—” Karen di sebelahnya memanggil. “Itu mobilnya Keylan, salah satu anak didikmu.” “Keylan?” Naura baru mendengar nama itu. “Oh, yang kemarin izin ke luar negeri itu ya?” Karen mengangguk, “Iya. Sana kamu samperin.” Naura melihat pria paruh baya keluar dari kursi kemudi, bergerak cepat ke arah pintu belakang dan membukanya. Naura bergegas menghampiri. “Selamat pagi,Key—” Naura mengatupkan bibirnya,menggantung ucapan selamat paginya saat melihat siapa yang ada di depannya. Sial! Naura tidak tahu kenapa dunianya bisa sesempit ini hingga dia kembali di hadapkan pada anak laki-laki yang malam itu ditabraknya setelah acara lamarannya hancur. Apa mungkin ini karmanya karena berusaha keras untuk menghindar dari laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya itu tapi sudah memarahinya bahkan menolongnya dipertemuan pertama mereka. Sepertinya Naura sudah tidak bisa menghindar lagi dan itu menjawab pertanyaannya kenapa dia bisa melihat laki-laki itu di sekolah ini karena ternyata anaknya bersekolah di sini. Tunggu? Anak? Berarti laki-laki itu sudah menikah tapi kenapa dia terlihat begitu bebas? Naura mengintip ke dalam mobil, tidak melihat laki-laki itu ada sana dan Keylan hanya diatar oleh laki-laki paruh baya yang sepertinya supir keluarga. Naura merasa sedikit lega karena dia belum siap untuk bertemu dengannya. Anak laki-laki yang semula terlihat cemberut itu diam sesaat nelihatnya lalu senyuman lebarnya muncul menampilkan giginya yang putih bersih dan Naura langsung memprediksi kalau di masa depan nanti, anak cowok itu akan menjadi pujaan banyak kaum hawa. Dari kecil aja sudah kelihatan banget gantengnya dan nanti kalau dia besar pasti bakalan makin ambyar. Dilihat name tagnya, Keylan Rayindra Djatmiko. Naura mengerutkan kening melihat nama yang panjang itu. “Tante?” ucapnya riang. Naura tidak habis pikir, kenapa anak itu terlihat senang melihatnya padahal saat pertemuan pertama mereka malam itu, dia membuat Keylan menangis. “Tante kok di cini?” tanyanya sembari turun dari mobil. “Panggil Ibu Naura ya karena sekarang Ibu yang akan mengajari kamu di kelas.” “Bu gulu Naula.” Keylan mengangkat tangan kirinya. “Gandeng dong, Bu gulu Naula.” Naura menghela napas, lelah. Masih pagi tapi dia sudah dapat kejutan seperti ini. Naura menggandengnya sampai ke depan kelas dan membiarkan dia masuk sendiri. “Bu Naula—” Naura menoleh mendengar panggilan itu. “Papi pasti senang lihat Bu gulu.” Setelah mengatakannya, Keylan masuk ke dalam kelas sembari tertawa-tawa meninggalkan Naura yang menatap horror. Apa laki-laki itu memang sedang mengincarnya karena dia tidak bertanggungjawab membuat Keylan menangis? Naura bergidik,”Duh, harus ngumpet di mana kalau begini caranya.” Naura pasrah, jika memang mereka harus bertemu, Naura tidak bisa lari lagi. *** CROTTT!! Naura mengatupkan bibirnya dengan tatapan tajam, di sampingnya Keylan nyengir kuda dengan tangan belepotan cat air yang tadi muncrat ke kemeja putihnya hingga menciptakan noda yang terlihat jelas. "Keylan—" Naura menekankan suku katanya. "Jangan dipencet!!" "Baju Bu Gulu jadi ada walnanya," ucapnya seraya tertawa dan menunjuk kemejanya. "Siniin!" Naura mengambil cat air warna hijau itu dengan paksa membuat Keylan kaget. Di sekitar mereka anak-anak sedang aktif membuat prakarya yang dilakukan di area terbuka, salah satu sudut gazebo sekolah sambil angin-anginan. Anak-anak jelas saja begitu antusias melakukannya. Mereka sudah memiliki cap kaki, cap tangan, cap jempol dan semacamnya untuk mengasah kreatifitas mereka meskipun hasilnya acak-acakan. "Jangan di ambil bu, nanti Key pakai apa?" Anak cowok yang gak bisa diam itu menghentakkan kakinya. Tidak terima cat-nya diambil. "Itu kan sudah ibu ambilin di tempatnya, yang ini jangan dibuka terus disemprot sembarangan. Coba lihat baju kemeja ibu jadi begini!" Naura jelas kesal melihat noda merah di kemejanya. "Bagus kok bu, bial celah." Keylan selalu saja menjawab semua omongannya. "Sudah duduk!" Perintah Naura. "Atau ibu ambil itu kertas gambarmu." Keylan merengut, duduk di samping Cindy yang sedang asyik menoelkan ujung telunjuknya yang berwarna kuning di kertas. "Heran, ini anak satu kok gak bisa diam sih." Naura menggelengkan kepala, melipat lengannya di dada dan duduk memperhatikan Keylan yang kembali ke kertas gambarnya lalu melihat kreasi anak-anak yang lain dan menunjuk-nunjuk apa yang menurutnya aneh di lihat. Anak-anak itu merengut mendengarnya dan malah tambah mengacak cat airnya di atas kertas. "Sepertinya kalian berbakat jadi pelukis abstrak." Naura mangut-mangut sendiri dan melihat karya anak yang lainnya. "BU GULUUUUU!!" Pekikan di balik punggungnya itu membuat Naura berbalik, mendelik saat Keylan menyodorkan telapak tangannya yang sudah berhias cat air seraya berlari ke arahnya dan tersandung cat air milik Lisa hingga membuatnya langsung menubruknya. "Awwwwww—" rintih Naura yang terjerembab ke belakang sementara Keylan ada di atasnya. "Aduhh atitttt,"Keylan meringis-ringis. Naura mendelik, makin melotot saat menyadari di mana cap tangan Keylan yang berwarna merah itu berada. "KEYLAAAN!!!" pekik Naura mengangetkan semua yang ada di sana. Telapak tangan Keylan menempel di dadanya dan saat anak itu menarik diri dan duduk,cap tangannya tertinggal di sana. Naura melotot, Keylan tertawa senang. "Yeaaaayyyyyy!!!" pekik Keylan kemudian. “Baju bu gulu ada walnanya.” Untung anak kecil, coba kalau sudah dewasa. Pasti bukan cap tangan lagi yang ada di sana tapi remasan tangan. "Shit!!" umpat Naura kesal, meski dengan suara pelan. Keki. ***Hari ini lengkap sudah deritanya. Tadi pagi mobilnya mogok, tidak ada seorangpun yang bisa diandalkan untuk datang membantunya selain tukang bengkel hingga akhirnya memilih naik taksi, maag-nya kambuh karena belum makan, kemeja putihnya sudah bercorak saat ini yang bisa aja dia cuci tapi itu malah akan membuat warnanya amburadul jadi terpaksa dia pakai dan akan membuangnya saat berada di apartemen dan sekarang saat pulang, hujan turun dengan derasnya. Sekolah sudah sepi sejak setengah jam yang lalu, Naura memilih berdiri sendirian di gerbang menunggu Fransiska yang akan menjemputnya, di bawah lindungan payung yang dipinjamkan Karen yang motifnya spongebob. Luar biasa sekali Naura meniup poninya. "Apes banget hari ini." Naura memeluk tubuhnya sendiri, memperhatikan sekelilingnya dan hujan seakan mengaburkan pemandangan apapun yang ada di depannya. Saat melihat kemejanya, di mana ada dua corak telapak tangan yang letaknya pas banget di masing-masing bagian dadanya membuat Naura tam
Setelah diancam akan digeret ke pengadilan sama hot daddy yang ganteng itu, Naura stress. "Elo kalau stress mengerikan!!" Di sampingnya, Siska begidik seraya menunjuk lima paperbag dengan ukiran nama merek butik terkenal yang Naura letakkan di atas kursi. Malam ini, Naura menggeret paksa Siska menemaninya ke mall untuk menghilangkan rasa stress dan penat setelah seharian mengalami kesialan. "Ya inilah gue." Naura menggidikkan bahu, duduk menyandar di kursi salah satu restoran di dalam mall yang malam ini cukup ramai. Steak di piringnya masih sisa setengah berbeda dengan Siska yang sudah menghabiskan spaghetti-nya dan sedang menyantap es krim coklat bertabur kacang almond. "Memangnya elo gimana?" "Gym—" Siska menyendok es krim di mangkuknya. "Yoga dan sebagainya." "Ah kalau itu sih memang keharusan. Gue selalu rutin olahraga." "Elo ngilangin stress ngabisin duit berjuta-juta." Siska menggelengkan kepala, Naura hanya nyengir. "Jadi sebenarnya elo stress karena bertemu dengan lak
"Baby, aku tidak mau lama-lama membiarkan hubungan kita tanpa ikatan resmi. Aku tidak rela jika ada laki-laki lain yang merebutmu dariku.” Naura menutup mulutnya dengan kedua tangan disertai linangan air mata saat Wisnu bersimpuh, mengeluarkan kotak beludru dari saku celananya dan membukanya memperlihatkan cincin berlian yang sangat cantik dan berkilau. “Naura, bersediakah kamu menikah denganku?” Naura tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat akhirnya dihadapkan pada momen sakral yang selama ini dinantikannya dari lelaki yang selama satu tahunan ini menjadi kekasihnya dan membuat mereka mendapatkan predikat relationship goals. Wisnu, lelaki yang memiliki perusahaan furniture merupakan sosok yang diimpikannya untuk menjadi calon suami masa depan.Saat ini mereka sedang makan malam romantis di salah satu rooftop hotel bintang lima yang dihias aneka bunga mawar hidup yang harum semerbak. Seharusnya, acara lamaran itu bersifat rahasia tapi dia tidak sengaja mencuri dengar rencana
HATCHIMM!“Errgh, sial!” umpatnya sembari menyeka hidungnya yang meler.Bisa-bisanya dia malah terserang flu dalam keadaan patah hati seperti ini. Rasanya tubuhnya menggigil dan hidungnya mampet. Ini pasti akibat dari berenang malam-malam. Kejadian itu membuat Naura ingin mengeluarkan umpatan dari mulutnya meskipun dia jadi teringat dengan ciuman itu.Naura diam memandangi langit-langit kamarnya dengan tubuh tidak berdaya. Mencoba merenungkan kejadian semalam yang masih terasa seperti mimpi baginya. Di mana letak salahnya saat dia memang belum siap lahir dan batin untuk memiliki anak setelah menikah?Tidak bisakah mereka berdua duduk, membicarakan semuanya baik-baik dan mencari jalan keluarnya bersama bukannya malah adu mulut demi ego masing-masing hingga membuat hubungan mereka renggang seperti ini. Naura memegangi kepalanya dengan dua tangan. Mungkin, dia yang terlalu egois. "Hiihihihihihihihih. Tan-Tan ngomong cendili taya olang gila." Suara cekikikan itu tiba-tiba terdengar. "
“Jes—” Naura memberikan kode pada Jessi, sekretaris Wisnu yang duduk di meja kerjanya tidak jauh dari ruangan kantor bosnya.”Kamu pahamkan yang aku bilang tadi?”Jessi mengangguk,”Paham,Bu. Kalian lagi bertengkar ya,Bu Naura?”“Ssstt—” Naura menggeleng. “Cuma salah paham aja.” Melirik sekilas pintu kantor Wisnu yang saat ini terutup karena dia sedang ada meeting dengan client.“Hati-hati loh,Bu.” Naura mengeryit. “Salah pahamnya jangan kelamaan—” Jessi berbisik pelan. “Yang mau ngerebut pak Wisnu banyak.”Naura melotot,”Ihh, awas aja! Kamu lihat dong cincin ini—” Naura menunjukkan cincin lamaran Wisnu.”Kami on the way menikah.”“Ohh—” Jessi manggut-manggut sembari membenarkan rambutnya. “Selamat deh,Bu.”Naura mengibaskan rambutnya, melirik sekilas Siska yang nampak tidak senang dengan Jessi yang sudah sibuk sendiri dengan riasannya. Rencananya, dia akan menyelinap ke kantor Wisnu saat kekasihnya itu keluar. Mereka harus mencoba berbicara dari hati ke hati.Klek! Naura menoleh ketika
"Ya Tuhan,kenapa gue apes banget ya!"Naura memegangi kepalanya dengan dua tangan terlihat begitu frustasi sementara sahabatnya, Fransiska, pemilik apartemen yang dia tinggali sementara selama mengajar di Paud sedang duduk santai menikmati kue blackforest sambil bertopang dagu. Mendengarkan saja Naura menumpahkan kekesalannya."Di sana penuh dengan anak-anak yang terlihat susah diatur.""Yaiyalah anak-anak. Kalau nenek-nenek ya namanya panti jompo!"Naura melotot. "Ih serius. Elo tahu kan apa yang gue maksud?!""Lebay." Siska mengunyah blackforestnya. "Cuma elo aja yang menganggap kalau anak-anak itu menyebalkan padahal ya mereka itu lucu dan ngegemesin.”Naura menopangkan dagu, menghela napas panjang. "Keponakan-keponakan gue yang biang onar itu. Setiap mereka datang ke rumah atau pas gue lagi main ke rumah mereka, pokoknya hanya ada keributan aja di sana. Bikin pusing dan sumpek. Belum lagi kalau kakak-kakak gue lagi ngomelin mereka."Siska tertawa membuat Naura keki dan dengan ger
“Beb, ini sih namanya bunuh diri." Naura memutar bola mata sembari mengotak-atik ponsel di tangan saat perias yang sedang menata rambutnya berkomentar."Elo kan gak suka banget sama anak kecil. Udah deh dari pada elo yang pusing nantinya mending angkat bendera putih aja dari sekarang.""Kamu lebay deh, Don. Masa gue harus kalah sebelum berperang sih. No Way!!"Doni Amirah, lelaki berjari lentik di salon langganannya yang bisa menyulap itik buruk rupa menjadi secantik cinderella itu sangat tahu bagaimana tidak sukanya dia dengan anak-anak.Pagi-pagi buta, Naura sudah ada di depan salon Doni padahal jam operasionalnya itu masih beberapa jam lagi hingga membuat Doni marah-marah. Dihari pertamanya bekerja, Naura ingin penampilannya sempurna supaya mudah mempengaruhi anak-anak."Ihh dibilangin juga ih. Gue gak bisa bayangin itu nanti anak-anak bakal lihat wajah monster lo yang galaknya gak ketulungan. Kasihan aja sih sama mereka yang harus berhadapan dengan guru modelan lo gini."“Makany