Jakarta, dua tahun yang lalu.
"Sayang... Bangun yuk. Subuh dulu."
Devan membangunkan Andien yang masih terlelap pagi itu. Istrinya itu membuka kedua netranya, menatap wajah pagi sang suami.
"Morning baby... Kamu terlihat pucat." gumam Andien.
"Aku agak pusing. Shalat dulu sayang, keburu habis subuhnya."
Andien beranjak dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi untuk mensucikan diri.
"A, are you ok?" tanya Andien begitu ia membentangkan sajadahnya.
Devan yang sedari tadi hanya terduduk lemah di sisi ranjang, tersenyum menatap Andien. Pria itu kembali berbaring. Membuat Andien semakin khawatir.
Andien segera melakukan ibadah subuhnya, perasaan tak enak begitu kuat menyapanya. Begitu menyelesaikan kewajibannya, Andien kembali menelisik keadaan Devan.
"Ayo A, kita ke rumah sakit ya..."
"Aku ga apa-apa. Cuma pusing."
"Ngga A, kita udah lima belas tahun sama-sama, aku tau ada yang ga beres. Aa' ga pernah begini. Ayo, aku bantu ke mobil."
Devan tak menolak. Pasrah digandeng erat sang istri sampai ke dalam mobil.
"Ke mana, Kak?" tanya Kiano - adik Andien - saat mendapati suara mesin mobil yang menyala.
"Rumah Sakit. Nitip anak-anak ya Ki."
"Bang Devan sakit?"
"Iya, bangun tidur pusing katanya."
"Gue aja yang anter ke Rumah Sakit?"
"Ga usah, gue aja. Udah ya, gue jalan."
"Hati-hati, Kak. Cepet sehat Bang." ujar Kia melepas kepergian Andien dan Devan yang meninggalkan kegelisahan tanpa alasan pada Kiano.
Kondisi Devan yang diam sepanjang perjalanan membuat Andien kian panik. Tak biasanya suaminya itu diam seribu bahasa saat bersamanya dalam sakit sekalipun. Andien melajukan mobilnya secepat mungkin, hingga sekitar lima belas menit sejak mereka beranjak dari kediaman mereka, Andien mendengar Devan memanggilnya pelan.
"An... dien."
Tangannya terkulai lemas. Terdengar suara mengorok.
Andien tersentak, panik. Segera ia tepikan kendaraannya, melepas sabuk pengaman dan menangkup wajah Devan. Netra Devan masih terbuka, tapi sama sekali tak merespon Andien. Kedua netra indah itu tak lagi memandangnya. Andien tergugu, kedua netranya memanas, air mata mengalir deras begitu saja.
"Baby... What's wrong?" lirihnya.
Ia mencium wajah dan bibir Devan berkali-kali.
"A... talk to me... A... Dave, please baby..." Andien semakin terisak.
Andien merebahkan kursi Devan, menempelkan telinganya di dada Devan. Tak ada. Tak ada yang terdengar.
"Ya Allah..."
Andien memompa dada suaminya tiga puluh kali, mendengarkan nafasnya.
Tak ada, ia memberikan nafas buatan. Tak ada, tak ada yang berubah. Andien mengulanginya lagi. Resusitasi jantung paru ia lakukan lagi. Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, hingga keringatnya bercucuran membasahi pakaiannya, hingga kedua tangannya mati rasa.Andien segera kembali ke balik kemudi, mengemudikan mobilnya kembali dengan tergesa. Klakson mobil terus berbunyi, lampu hazard terus menyala, ia terus berteriak meminta jalan dari kaca jendela yang terbuka.
Panik.
Andien panik
Benar-benar panik.
Beberapa waktu kemudian, mereka sampai di Rumah Sakit. Andien berlari membuka pintu IGD, menangis menjadi-jadi meminta pertolongan. Beberapa tenaga kesehatan berlari membawa brankar, tiga orang perawat pria dan seorang dokter bersiap membawa Devan ke ruang gawat darurat.
Andien terisak di sebelah ranjang tempat Devan berbaring. Dengan kacaunya ia menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang sudah ia lakukan sebelum tiba di Rumah Sakit. Dokter terus memeriksa vitalnya. Andien bisa melihat tatapan duka di mata Dokter muda itu.
'Please... Don't...'
"Mohon maaf Bu... Bapak DOA, Death On Arrival."
Andien terdiam. Membeku. Nyawa seakan ikut melayang dari raganya. Suara-suara terasa menjauh. Tangannya bergetar. Lututnya terasa begitu lemah.
"Ibu..." panggil Dokter itu lagi.
"Ibu..."
"Ibu... Apa ada keluarga yang bisa kami bantu hubungi?"
"Ibu..."
Andien tak menjawab. Dengan langkah gemetaran ia mendekat pada Devan. Andien menangkup wajah suaminya. Menatapnya lekat dengan air mata yang terus mengalir.
"Aa'..." lirihnya, nyaris tanpa suara.
Andien menangis. Terisak. Dadanya terasa begitu sesak, seolah kepergian Devan turut membawa udara di sekitarnya.
"Aa'..." panggilnya lagi. Ia menyatukan wajahnya dengan wajah Devan. Mencium setiap sudut wajah suaminya. Persis seperti yang selalu Devan lakukan kala membangunkannya.
"Wake up, please... What should I do, A? Take me... Take me, please... Don't leave me, A..."
Dokter dan perawat di sampingnya hanya tergugu, tak berani mengganggu tangisan Andien.
"Dave... Take me, please... Take me... I don't want to live without you... Dave....."
Perempuan itu sedang menatap sepasang mempelai di atas singgasananya. Ingatannya berkelana ke masa dua belas tahun yang lalu, saatmomentbahagia yang sama sempat ia rasakan.Sudah dua tahun, pria yang disebut suaminya itu pergi meninggalkannya. Seketika. Begitu saja. Jangankan ciuman perpisahan, bahkan pesan terakhirnya pun tak ada. Hanya desahan pelan yang sempat tersebut pria itu sebelum ketidaksadaran menguasainya, dan akhirnya tak mengembalikannya beberapa saat kemudian.Siapa yang tidak hancur ditempa ujian berat seperti itu? Bahkan beberapa jam sebelum kejadian naas itu terjadi, sepasang kekasih itu masih sempat saling bersenda gurau."Mamaaa!"
'Dirga. Aku Dirga.'Tiga kata itu berkeliaran di kepalanya, tapi tak juga terucap dari ujung lidahnya.Naas memang, Andien — perempuan yang ada di hadapannya tidak mengenalinya. Padahal Dirga tau akan seperti ini, ia bahkan sudah menyiapkan berbagai skenario untuk menguatkan hatinya. Tapi entah kenapa, tidak dikenali oleh orang yang terkasih, rasanya tetap saja menyedihkan.Andien, perempuan yang sosoknya sudah Dirga simpan dengan baik di suatu tempat dalam hatinya. Seseorang yang akhirnya ia menyerah untuk melupakannya. Mungkin beginilah sulitnya melupakan cinta pertama bagi beberapa orang naif seperti pria itu.Dirga mulai menyukainya sejak mereka masih anak-anak, beranjak remaja lebih tepatnya. Dua belas tah
Andien menyesap kembaliSalted Caramel Latte itu. Kopi dalam genggamannya terasa lezat sekali. Tak ragu, racikan cinta pertamanya itu benar-benar akan menjadi favoritnya.Cinta pertama?Ya, Dirga adalah cinta pertama Andien.Orang yang pernah menyelamatkannya. Walapun tidak secara langsung.Masa kecil Andien terlalu menyedihkan baginya. Tidak hanya menangis, terkadang ia bahkan menyakiti dirinya sendiri karena tak tahan dengan kesedihannya, tak urung membuat Andien kecil menjadi seorang penyendiri dan tertutup.Hingga suatu hari pengasuhnya menyampaikan jika ada seseorang yang menyukainy
DIRGAPoint of ViewAndien menatap lekat wajahku, lalu pandangannya turun mengamati penampilanku dari kepala hingga ujung kaki. Ia tersenyum, bukan senyuman yang tulus, tapi terlihat lebih dipaksakan."Jadi, selama itu Kak Dirga suka sama aku?" tanyanya.Bukannya tadi aku sudah bilang ya kalau aku mencintainya selama ini?"Tapi selama ini baik-baik aja kan tanpa aku?" lanjutnya lagi."Maksud kamu?" perasaanku mulai tidak enak, sepertinya akhir dari percakapan ini akan menyulut emosiku. Aku berusaha menenangkan gemuruh di dada dan kepalaku. Walaupun wajar jika ia meragukanku, tetapi menganggapku baik-baik saja sugguh itu tak benar sama sekali."Well, look at me Kak!""I am!"'Sedari tadi aku terus memandangmu sayang!'batinku."Aku tidak dalam level kepercayaan diri yang baik pada diriku sendiri. Apalagi untuk membuka hatiku lagi" katanya lagi
Dirga meletakkan Cantika yang sudah lelap di atas car seatdi dalamcity carmilik Andien. Selesai memastikan bayi kecil itu tak terganggu tidurnya, Dirga mengamati keadaan di dalam mobil bercat putih itu."Ga apa-apa pak bos, anget dempet-dempetan gini. Saya orang kampung, ga akur sama AC." ujar Sanah, seolah menjawab pertanyaan di benak Dirga.Dirga tertawa renyah, lalu berpindah, mendekatkan kepalanya ke jendela pengemudi."Share locbegitu kamu sampe rumah ya, yang... Besok sebelum balik ke unit, aku mampir.""Emang Kak Dirga mau ke mana malam ini?" tanya Andien
Dirga sampai di rumah orang tuanya sekitar pukul satu dini hari. Setelah membersihkan diri, ia beranjak ke pantryuntuk minum segelas air hangat yang sudah menjadi ritualnya setiap malam sebelum beranjak tidur.Sambil menikmati air hangat meluncur melewati tenggorokannya, ia mengetik pesan singkat untuk kekasih hatinya.[Me]Aku udah di Bandung.Sleep tight sayang.Setelah mengirimkan pesan singkat itu, Dirga menatap foto dirinya dan Andien yang tadi sempat ia ambil. Kedua sudut bibirnya naik kala menyadari pertemuannya tadi dengan sang cinta pertama bukanlah sebatas mimpi."Pacar kamu,
Hari beranjak gelap. Dirga mencoba mengajak Andien untuk bicara berdua"Bisa kita bicara berdua?""Iya, bisa Kak. Tunggu ya, aku bawa anak-anak ke kamar dulu."Andien membawa ketiga malaikat kecil itu ke kamar ditemani Sanah untuk menyiapkan keperluan sekolah mereka esok hari, dan bermain santai sambil menunggu kantuk datang."Kita ngobrol di bangku taman aja kak?""Oke."Mereka duduk bersisian. Dirga menggenggam tangan Andien, lalu mengecup punggung tangan itu. Mereka lalu saling menatap dalam diam."Aku kangen lho!" ucap Dirga seraya memberi sentuhan lembut di pipi Andien."Hmmm..."Dirga mengecup bibir Andien sesaat."Udah selesai janji sama Papa kamu?""Iya udah.Soon to bePapa kamu juga."Andien terkekeh, sementara Dirga sibuk mengusap lembut surai Andien, mengunci wajah cantik itu dalam netra dan ingatannya."Setiap minggu kami giliran nemenin Papa berkuda. Bang Irgi,
Akhirnya hari ini tiba juga. Hari yang membuat Dirga semakin gelisah. Bukan berarti Dirga tidak percaya dengan Andien, tetapi mengingat hubungan kasih mereka yang benar-benar masih sangat singkat, ditambah Dirga tidak bisa menerka sejauh mana sepak terjang saingannya itu, semakin membuat pria itu bangun dari tidurnya dalam keadaan moodyang terjun bebas.Selesai melakukan ibadah subuhnya, pria itu lantas menyiapkan diri agar bisa datang lebih pagi ke kantornya. Seraya memakai pakaian kerjanya, Dirga men-dial nomor Andien, mengubah panggilannya ke speaker mode.'tuuut''tuuut'"Pagi sayang!"
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect