“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.
“Apa?”
“Sini sebentar.”
Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.
“Ada apa?”
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
London, lima tahun yang lalu.Seorang pria berjalan lesu didampingi pengacaranya memasuki sebuah ruangan di KBRI London. Hari ini, ia akan menandatangi surat perceraian dengan perempuan yang sudah menjadi istrinya selama empat tahun ke belakang. Rasa nyeri di hatinya tak dapat ia tampik begitu saja. Harapan akan pernikahan yang lekang hingga akhir hayat tak terwujud untuknya.Kedua netra Dirga menatap kosong. Segala kenangan tentang perempuan yang terus saja menatapnya berkelebat tanpa jeda. Viona yang menemaninya melewati masa-masa terberat hidupnya. Viona yang selalu melompat ke pelukannya kala menyambut Dirga sepulang mencari nafkah. Viona yang menyukai kesendirian sewaktu kegelisahan menyapanya. Viona yang ketus saat hatinya terluka. Viona dengan wajah sendunya setiap kali melakukan uji kehamilan. Viona dengan semua masakannya yang memiliki rasa mengerikan, walaupun Dirga terpaksa harus menyantap sebelum tangisan perempuan itu menyapa teli
Jakarta, dua tahun yang lalu."Sayang... Bangun yuk. Subuh dulu."Devan membangunkan Andien yang masih terlelap pagi itu. Istrinya itu membuka kedua netranya, menatap wajah pagi sang suami."Morning baby...Kamu terlihat pucat." gumam Andien."Aku agak pusing. Shalat dulu sayang, keburu habis subuhnya."Andien beranjak dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi untuk mensucikan diri."A, are you ok?" tanya Andien begitu ia membentangkan sajadahnya.Devan yang sedari tadi hanya terduduk lemah di sisi ranjang, tersenyum menatap Andien. Pria itu kembali berbaring. Membuat Andien semakin khawatir.Andien segera melakukan ibadah subuhnya, perasaan tak enak begitu kuat menyapanya. Begitu menyelesaikan kewajibannya, Andien kembali menelisik keadaan Devan.
Perempuan itu sedang menatap sepasang mempelai di atas singgasananya. Ingatannya berkelana ke masa dua belas tahun yang lalu, saatmomentbahagia yang sama sempat ia rasakan.Sudah dua tahun, pria yang disebut suaminya itu pergi meninggalkannya. Seketika. Begitu saja. Jangankan ciuman perpisahan, bahkan pesan terakhirnya pun tak ada. Hanya desahan pelan yang sempat tersebut pria itu sebelum ketidaksadaran menguasainya, dan akhirnya tak mengembalikannya beberapa saat kemudian.Siapa yang tidak hancur ditempa ujian berat seperti itu? Bahkan beberapa jam sebelum kejadian naas itu terjadi, sepasang kekasih itu masih sempat saling bersenda gurau."Mamaaa!"
'Dirga. Aku Dirga.'Tiga kata itu berkeliaran di kepalanya, tapi tak juga terucap dari ujung lidahnya.Naas memang, Andien — perempuan yang ada di hadapannya tidak mengenalinya. Padahal Dirga tau akan seperti ini, ia bahkan sudah menyiapkan berbagai skenario untuk menguatkan hatinya. Tapi entah kenapa, tidak dikenali oleh orang yang terkasih, rasanya tetap saja menyedihkan.Andien, perempuan yang sosoknya sudah Dirga simpan dengan baik di suatu tempat dalam hatinya. Seseorang yang akhirnya ia menyerah untuk melupakannya. Mungkin beginilah sulitnya melupakan cinta pertama bagi beberapa orang naif seperti pria itu.Dirga mulai menyukainya sejak mereka masih anak-anak, beranjak remaja lebih tepatnya. Dua belas tah
Andien menyesap kembaliSalted Caramel Latte itu. Kopi dalam genggamannya terasa lezat sekali. Tak ragu, racikan cinta pertamanya itu benar-benar akan menjadi favoritnya.Cinta pertama?Ya, Dirga adalah cinta pertama Andien.Orang yang pernah menyelamatkannya. Walapun tidak secara langsung.Masa kecil Andien terlalu menyedihkan baginya. Tidak hanya menangis, terkadang ia bahkan menyakiti dirinya sendiri karena tak tahan dengan kesedihannya, tak urung membuat Andien kecil menjadi seorang penyendiri dan tertutup.Hingga suatu hari pengasuhnya menyampaikan jika ada seseorang yang menyukainy
DIRGAPoint of ViewAndien menatap lekat wajahku, lalu pandangannya turun mengamati penampilanku dari kepala hingga ujung kaki. Ia tersenyum, bukan senyuman yang tulus, tapi terlihat lebih dipaksakan."Jadi, selama itu Kak Dirga suka sama aku?" tanyanya.Bukannya tadi aku sudah bilang ya kalau aku mencintainya selama ini?"Tapi selama ini baik-baik aja kan tanpa aku?" lanjutnya lagi."Maksud kamu?" perasaanku mulai tidak enak, sepertinya akhir dari percakapan ini akan menyulut emosiku. Aku berusaha menenangkan gemuruh di dada dan kepalaku. Walaupun wajar jika ia meragukanku, tetapi menganggapku baik-baik saja sugguh itu tak benar sama sekali."Well, look at me Kak!""I am!"'Sedari tadi aku terus memandangmu sayang!'batinku."Aku tidak dalam level kepercayaan diri yang baik pada diriku sendiri. Apalagi untuk membuka hatiku lagi" katanya lagi
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect