Andien menyesap kembali Salted Caramel Latte itu. Kopi dalam genggamannya terasa lezat sekali. Tak ragu, racikan cinta pertamanya itu benar-benar akan menjadi favoritnya.
Cinta pertama?
Ya, Dirga adalah cinta pertama Andien.
Orang yang pernah menyelamatkannya. Walapun tidak secara langsung.
Masa kecil Andien terlalu menyedihkan baginya. Tidak hanya menangis, terkadang ia bahkan menyakiti dirinya sendiri karena tak tahan dengan kesedihannya, tak urung membuat Andien kecil menjadi seorang penyendiri dan tertutup.
Hingga suatu hari pengasuhnya menyampaikan jika ada seseorang yang menyukainya dan mengirimkan salam untuknya. Dirga, nama anak lelaki itu. Yani - pengasuh Andien dan kedua adiknya kala itu, sudah berusaha mengingatkan Andien pada Dirga - yang pada kenyataannya seringkali berada di dekatnya - namun tetap saja Andien tidak bisa mengingat sosok pemuda kecil itu.
Karena Andien terus merasa tidak mengenal Dirga, Yani berusaha menunjukkan sosok anak itu. Andien melihatnya, walau dari jarak yang cukup jauh. Sayangnya, mungkin Andien termasuk dari sekian orang di muka bumi ini yang memiliki kesulitan mengingat wajah seseorang jika jarang saling berinteraksi. Singkat kata, temu tatap kedua pasang netra saat itu tak mampu membuat Andien mengunci paras Dirga di dalam ingatannya.
Bagaimanapun, sejak hari itu, Andien merasa dirinya lebih berharga.
'Ternyata ada orang yang menganggap
kehadiranku.' batinnya kala itu.Andien pikir kehadirannya di dunia ini hanyalah sebuah kesalahan dari pernikahan ayah dan ibunya.
Satu salam itu yang sanggup membuatnya berkata pada dirinya sendiri 'Aku ga apa-apa. Aku baik-baik saja!' - walaupun keadaan psikis gadis kecil itu seringkali tidak sebaik paksa pikirannya.
"Kok bengong, Ndien?"
Suara Dirga mengembalikan kesadaran Andien, jantungnya bergemuruh gembira kembali.
'Semoga dia ga dengar suara jantungku yang sedari tadi seperti genderang perang. Ribut sendiri.'
"Tuh kan bengong terus. Are you ok?" Dirga bertanya lagi.
Andien menyudahi lamunannya dan menatap Dirga lagi. Dirga terdiam, lalu tersenyum. Entah kapan itu dimulai, jemari Dirga mengelus pipi Andien dengan lembut.
"Wanna talk?" tanya Dirga.
Andien memundurkan wajahnya, takut terlena lalu sakit hati kembali jika pria di sampingnya ini menghilang. Dirga menurunkan tangannya kembali ke pangkuannya, ia sadar Andien memberi jarak.
"I'm ok. Cuma keingatan moment saat kita kecil dulu aja" jawab Andien.
"Apa yang kamu ingat tentang aku?" tanya Dirga lagi.
"Hampir ga ada. Hehehe" tersirat nada sedih di balik tawa Andien.
"Maaf!" ujar Dirga.
"Untuk apa?"
"Entahlah. Tapi sepertinya aku harus minta maaf sama kamu."
"Maksud kamu?"
"Anggap saja, permintaan maaf karena ga ada di hidup kamu selama sekitar dua puluh tahun ke belakang." jawabnya.
Andien diam. Hati dan pikirannya menawarkan jawaban yang berbeda.
"Kalau aku ga bisa maafin Kak Dirga gimana?" tanya Andien lagi. Jawaban hatinya. Bahkan hati perempuan itu pun pedih mendengar pertanyaannya sendiri.
Dirga terdiam. Tak menyangka dengan jawaban Andien. Pria itu terus menatap Andien dalam diam, tak paham harus bagaimana menjawab.
Andien pun menatap lekat Dirga. Ia teringat kembali waktu di masa dirinya masih kanak-kanak, yang selalu merasa bahagia ketika diijinkan keluar rumah oleh orang tuanya. Tempat pertama yang Andien datangi pasti tempat di mana pertama kalinya Andien bersitatap dengan seorang Dirga.
Hatinya ngilu mengingat saat itu, betapa Andien selalu berharap suara Dirga menyapanya. Hanya menyapa pun cukup untuknya.
Pun di saat keadaan begitu membuatnya terpuruk kembali, Andien yang selalu akan mencoba menyakiti dirinya sendiri - lantas mengakhirinya sebelum jelas-jelas terluka - ia akan jatuh terduduk sambil memeluk dirinya sendiri, dengan membayangkan Dirga-lah yang memeluknya. Berharap ada masa dimana Dirga benar-benar menjadi salah satu orang yang selalu mendukungnya.
Andien, yang teramat menunggu. Dirga, laksana alter ego yang Andien ciptakan sendiri ditengah kepedihannya. Sosok yang tak lekang dari ingatannya, yang ia pertahankan di imajinasinya sebagai penguat jiwa.
'Pengen peluuuk!' batin Andien.
Akhirnya pria itu bersuara lagi. Menjawab pertanyaan Andien tadi.
"Jadikan aku kekasihmu. Aku akan menebus waktu yang hilang itu seumur hidupku."
Jantung Andien kian berpacu, tak percaya dengan ucapan Dirga, pun tak yakin jika ini yang ingin ia dengar. Masih ada rasa pedih tersisa, walau hawa bahagiapun ikut menyapa di saat yang bersamaan.
'Emang lo pantes buat dia?'
Andien menarik napas dalam. Selalu, rasa rendah diri itu mengganggunya kembali.
"Jangan, Kak. Jangan ngabisin waktu kamu buat perempuan kaya aku!" jawab Andien.
"Cowok waras mana yang mau sama janda beranak tiga kayak aku?" Lanjutnya lagi, ketus.
Andien bahkan bingung kenapa ia bisa berkata dengan nada menyebalkan seperti itu.
Dirga terbelalak, lalu keningnya berkerut, bahkan matanya ikut memicing.
"Andien, perlu kamu tau, aku juga duda. Dan aku ga sedang dalam ikatan hubungan dengan perempuan lain. I'm
single." jelas Dirga."Bagus dong! Tinggal cari cewek cantik, muda, pintar, perawan, kaya kalau perlu!" Jawab Andien lagi. Kali ini dengan nada yang lebih menyebalkan lagi. Bahkan Andien jadi kesal sendiri mendengar nada sarkas itu.
"Astaga, Andien..." Dirga memijit pelipisnya.
Jeda sejenak, netra Dirga masih terpaku pada Andien.
"Kamu tau? Aku jatuh cinta sama kamu sejak kita kecil, mungkin waktu itu umurku dua belas tahun. Sekarang umurku tiga puluh delapan tahun, artinya sudah dua puluh enam tahun aku mencintaimu, bahkan aku ga pernah benar-benar melupakanmu.
"Lebih baik kamu bilang kamu lupa sama aku, kamu benci sama aku, kamu marah sama aku, atau kamu abaikan aku. Karena kalau kamu begitu, aku akan terus ngejar kamu tanpa sakit hati dengan sikap kamu.
"Tapi please... Jangan pernah suruh aku memilih perempuan lain!
"Kita bahkan belum memulai apapun.
"Aku ga perduli dengan status janda yang kamu punya. Bahkan kalaupun saat ini kita udah kakek nenek, I don't care! Emang masalahnya apa?
"Aku di sini untuk nunjukin perasaanku ke kamu, kalau aku cinta kamu. Dulu, sekarang, dan rencanaku buat selamanya!"
Suara Dirga terdengan pelan tetapi dalam dan tegas, rahangnya pun kaku. Ia pasti menahan emosinya saat ini.
"Mungkin kamu anggap aku gila karena bisa-bisanya aku ngomong sepeti gini di saat kita baru banget ketemu lagi. Tapi aku takut, Ndien... Aku takut kamu menghilang lagi sementara lagi-lagi aku belum sempat menyampaikan perasaanku ke kamu. Kamu ga tau kan gimana bingungnya aku mencari kamu? Begitu mendengar kabar kamu, kabar yang aku dengar justru kamu sudah menikah. Bisa kamu bayangin gimana keadaanku saat itu? Hancur, Ndien..."
Dirga menggenggam tangan Andien yang bebas, melanjutkan kembali kata-katanya.
"Kamu jadi janda karena ayahnya anak-anak meninggal. Sebelum mendekati kamu, tadi aku sempat melihat ketiga anak kamu, sedikit berinteraksi dengan El dan Anne. Itu sebabnya aku ga kaget saat Cantika memanggilku Papa. And you know what? El, Anne, Cantika... They are awsome. Kalian berdua pasti sudah menjadi orang tua yang luar biasa untuk mereka. Aku bisa menerima mereka kalau itu yang kamu khawatirkan.
"Apa yang aku lihat malam ini, sudah bisa membuat aku menarik kesimpulan kalau kamu perempuan baik-baik, bahkan luar biasa. Jadi, aku ga paham kenapa kamu bicara seolah-olah status kamu hina."
Dirga menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan, memukul pelan dadanya yang sesak laksana kekurangan udara.
"Kalau kamu mau menganggap rendah seseorang, kamu bisa memandang aku. I'm divorced! Orang gagal! Terlepas dari masalah yang aku alami, aku tetap gagal! Tapi maaf Ndien, dengan ga tau malunya - pria gagal ini - akan benar-benar mencoba mendekati kamu. Lagi!"
Andien hanya bisa diam memandangnya. Entah kenapa emosi menguasainya saat ini. Dirga benar, mereka baru saja bertemu kembali, tetapi anehnya keduanya justru seperti pasangan yang sedang putus asa dengan hubungan mereka.
Di satu sisi Andien rindu dengannya, bahkan sejak pertemuannya dengan Ian - teman masa kecilnya, tiga bulan lalu - yang berujung dengan cerita tentang Dirga yang menyukainya, Andien sering kali meminta pada Tuhan untuk bertemu kembali dengan Dirga. Ajaibnya, Tuhan benar-benar mengabulkannya.
Di sisi lain, Andien belum siap untuk menerima perasaan Dirga yang entah bagaimana kebenarannya. Perempuan mana pun pasti gamang jika ada pria yang mengungkapkan cinta di hari pertama mereka bertemu kembali, terlepas dari kenangan 'cinta pertama' mereka di masa lalu. Ditambah lagi kondisi Andien yang merasa benar-benar sendiri dengan banyak tanggung jawab, membuatnya merasa tak pantas untuk mencinta dan dicintai lagi.
Kepercayaan dirinya semakin terkikis saat ia semakin dalam memperhatikan Dirga.
Di mata Andien, Dirga terlihat begitu sempurna. Tampan, tinggi, ideal, bahkan sexy. Ah jangan lupakan Dirga yang seorang arsitek, hebat berkarir, bahkan dari cara bicara dan tatapannya tertangkap jelas dia orang yang cerdas. Dan juga, lihatlah penampilannya. Setelan yang ia gunakan. Sederhana, hanya kemeja lengan panjang, dasi, dan celana bahan, tetapi nilainya pasti tak murah, lihat saja jahitan bajunya, rapih sekelas butik ternama. Sepatunya, yakinlah bukan sepatu murahan, harganya pasti jutaan, sneakers yang Andien gunakan pasti hanya bernilai sepersekian persen dari harga sepatu pria itu.
'Ya Tuhan, Kak... Pergilah! Aku malu ketemu sama kamu dalam kondisi seperti ini, aku ga mau terlihat remeh di mata kamu.' batin Andien.
Andien menunduk, menarik tangannya dari genggaman Dirga, kemudian meremas ujung gaunnya sendiri. Sungguh ia ingin menghilang dari hadapan Dirga saat ini.
'Andai saja bisa.'
"Jadi, selama bertahun-tahun ini Kak Dirga menyimpan perasaan sama aku?" pertanyaan yang tidak perlu dijawab mengingat tadi Dirga sudah menjelaskan isi hatinya.
"Tapi selama ini baik-baik aja kan tanpa aku?" lanjut Andien lagi.
"Maksud kamu?" Dirga sepertinya tidak menyukai arah pembicaraan ini.
"Well, look at me Kak!" Andien berusaha menahan sesak di dadanya.
"I am!" ujar Dirga yang tetap memandang Andien dengan tatapan hangatnya. Tatapan yang membuat Andien tenggelam. Membuatnya ingin bersandar di dada pria itu walau sebentar saja.
"Aku tidak dalam level kepercayaan diri yang baik pada diriku sendiri. Apalagi untuk membuka hatiku lagi" ujar Andien pelan.
Dirga menarik napas panjang, menahan udara di paru-parunya, lalu menghembuskan kembali udara itu. Berusaha menahan gejolak emosi di dalam dadanya.
"Ga usah buru-buru, Ndien... Aku bisa nunggu. Dan aku ga keberatan untuk dekatin kamu dan anak-anak perlahan supaya kalian nyaman." tutur Dirga lembut.
Andien enggan menanggapi lebih lanjut, memilih diam sambil menikmati kopi di genggamannya. Apapun yang didengarnya malam ini tertelan ketidakpercayaan dirinya. Dirga memang pria impiannya, dulu, atau bahkan sekarang. Jika ia ingin memulai lagi, ia selalu berharap Dirgalah yang muncul kembali dalam hidupnya. Tetapi setelah bertemu langsung dengan pria itu, justru tak seperti bayangannya, sosok Dirga tampak terlalu tinggi untuk ia raih.
"Andien... Just give us a chance... I'm so in love with you. I'm tired keep this feeling inside my heart, alone. I want you to see it. See I can do anything for you. See that I love you. Seeing me! Please..."
DIRGAPoint of ViewAndien menatap lekat wajahku, lalu pandangannya turun mengamati penampilanku dari kepala hingga ujung kaki. Ia tersenyum, bukan senyuman yang tulus, tapi terlihat lebih dipaksakan."Jadi, selama itu Kak Dirga suka sama aku?" tanyanya.Bukannya tadi aku sudah bilang ya kalau aku mencintainya selama ini?"Tapi selama ini baik-baik aja kan tanpa aku?" lanjutnya lagi."Maksud kamu?" perasaanku mulai tidak enak, sepertinya akhir dari percakapan ini akan menyulut emosiku. Aku berusaha menenangkan gemuruh di dada dan kepalaku. Walaupun wajar jika ia meragukanku, tetapi menganggapku baik-baik saja sugguh itu tak benar sama sekali."Well, look at me Kak!""I am!"'Sedari tadi aku terus memandangmu sayang!'batinku."Aku tidak dalam level kepercayaan diri yang baik pada diriku sendiri. Apalagi untuk membuka hatiku lagi" katanya lagi
Dirga meletakkan Cantika yang sudah lelap di atas car seatdi dalamcity carmilik Andien. Selesai memastikan bayi kecil itu tak terganggu tidurnya, Dirga mengamati keadaan di dalam mobil bercat putih itu."Ga apa-apa pak bos, anget dempet-dempetan gini. Saya orang kampung, ga akur sama AC." ujar Sanah, seolah menjawab pertanyaan di benak Dirga.Dirga tertawa renyah, lalu berpindah, mendekatkan kepalanya ke jendela pengemudi."Share locbegitu kamu sampe rumah ya, yang... Besok sebelum balik ke unit, aku mampir.""Emang Kak Dirga mau ke mana malam ini?" tanya Andien
Dirga sampai di rumah orang tuanya sekitar pukul satu dini hari. Setelah membersihkan diri, ia beranjak ke pantryuntuk minum segelas air hangat yang sudah menjadi ritualnya setiap malam sebelum beranjak tidur.Sambil menikmati air hangat meluncur melewati tenggorokannya, ia mengetik pesan singkat untuk kekasih hatinya.[Me]Aku udah di Bandung.Sleep tight sayang.Setelah mengirimkan pesan singkat itu, Dirga menatap foto dirinya dan Andien yang tadi sempat ia ambil. Kedua sudut bibirnya naik kala menyadari pertemuannya tadi dengan sang cinta pertama bukanlah sebatas mimpi."Pacar kamu,
Hari beranjak gelap. Dirga mencoba mengajak Andien untuk bicara berdua"Bisa kita bicara berdua?""Iya, bisa Kak. Tunggu ya, aku bawa anak-anak ke kamar dulu."Andien membawa ketiga malaikat kecil itu ke kamar ditemani Sanah untuk menyiapkan keperluan sekolah mereka esok hari, dan bermain santai sambil menunggu kantuk datang."Kita ngobrol di bangku taman aja kak?""Oke."Mereka duduk bersisian. Dirga menggenggam tangan Andien, lalu mengecup punggung tangan itu. Mereka lalu saling menatap dalam diam."Aku kangen lho!" ucap Dirga seraya memberi sentuhan lembut di pipi Andien."Hmmm..."Dirga mengecup bibir Andien sesaat."Udah selesai janji sama Papa kamu?""Iya udah.Soon to bePapa kamu juga."Andien terkekeh, sementara Dirga sibuk mengusap lembut surai Andien, mengunci wajah cantik itu dalam netra dan ingatannya."Setiap minggu kami giliran nemenin Papa berkuda. Bang Irgi,
Akhirnya hari ini tiba juga. Hari yang membuat Dirga semakin gelisah. Bukan berarti Dirga tidak percaya dengan Andien, tetapi mengingat hubungan kasih mereka yang benar-benar masih sangat singkat, ditambah Dirga tidak bisa menerka sejauh mana sepak terjang saingannya itu, semakin membuat pria itu bangun dari tidurnya dalam keadaan moodyang terjun bebas.Selesai melakukan ibadah subuhnya, pria itu lantas menyiapkan diri agar bisa datang lebih pagi ke kantornya. Seraya memakai pakaian kerjanya, Dirga men-dial nomor Andien, mengubah panggilannya ke speaker mode.'tuuut''tuuut'"Pagi sayang!"
Andien masihshockdengan kelakuan kekasihnya itu. Matanya mengikuti langkah Dirga, tetapi mulutnya belum juga menutup sempurna, ternganga karena kecupan kecil yang bahkan sering Dirga berikan padanya saat kebersamaan mereka.'Astagaaa, sengaja banget sih kayak gitu!'"Ehem!" suara Arga mengganggu lamunan Andien.Andien mengalihkan tatapannya ke manik pekat milik Arga, masih terlihat jelas amarah di sana, ditambah rahang yang kaku seperti sedang menahan berbagai umpatan. Sementara Andien sendiri bersusah payah menunjukkan ekspresin datar.Saat yang sama Arga akan bersuara lagi, pelayan datang membawa pesanan mereka. Sete
Usai Agra meninggalkannya, Andien beranjak menuju meja yang ditempati Dirga dan Ian. Andien mengatupkan bibirnya agar tak terkekeh melihat pemandangan di depannya. Kedua pria itu menatapnya dengan tangan Ian yang masih menggenggam erat pergelangan tangan Dirga."Segitu naksirnya lo sama cowok gue?" ledek Andien pada Ian sambil menunjuk genggaman tangan Ian dengan dagunya.Kedua pria itu langsung memandang ke arah pandang Andien."Najis!""Najis!"Ucap keduanya bersamaan.'Hahahaha!'Andien terbahak melihat ekspresi keduanya, pun beberapa orang pelanggan seperti mereka yang sedang menikmati sajian."Tuh laki lo! Kalo ga dipegangin udah baku hantam sama mantan lo! Heran! PMS lo ya? Emosian banget!" omel Ian."PMS pala lo! Kan ada elo pengacara gue. Tinggal lo urus!" balas Dirga."Eh kampret! Lo pikir itu orang ga akan kenapa-kenapa dipukulin sabuk hitam kayak elo? Bagus kalo cuma lecet, kalo modar?""Lo pikir
Dirga melajukan mobilnya keluar daricafeyang sudah menjadi favoritnya itu sejak beberapa tahun yang lalu. Belum jauh beranjak, langit menumpahkan buliran hujan dengan derasnya, bahkan sang angin pun seperti memberi peringatan jika ia akan bertiup lebih kencang di siang menjelang sore itu. Dirga melirik kekasihnya yang masih tertidur pulas, menimbang-nimbang apa yang ada di pikirannya, dan akhirnya memutuskan untuk membawa Andien ke unitnya saja.Sesampainya di parkiran apartemen, Dirga mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan singkat lalu mengetik pesan untuk sang penerima di sana yang sangat ia sayangi.[Me]El, lagi apa nak?[Eldra]Main game Om.[Me]Main sama Anne dan Cantika juga dong El.[Eldra]Udah tadi. Sekarang anne sama cantika masih bobo.El baru di bolehin ummah main ha
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect