Usai Agra meninggalkannya, Andien beranjak menuju meja yang ditempati Dirga dan Ian. Andien mengatupkan bibirnya agar tak terkekeh melihat pemandangan di depannya. Kedua pria itu menatapnya dengan tangan Ian yang masih menggenggam erat pergelangan tangan Dirga.
"Segitu naksirnya lo sama cowok gue?" ledek Andien pada Ian sambil menunjuk genggaman tangan Ian dengan dagunya.
Kedua pria itu langsung memandang ke arah pandang Andien.
"Najis!"
"Najis!"
Ucap keduanya bersamaan.
'Hahahaha!'
Andien terbahak melihat ekspresi keduanya, pun beberapa orang pelanggan seperti mereka yang sedang menikmati sajian.
"Tuh laki lo! Kalo ga dipegangin udah baku hantam sama mantan lo! Heran! PMS lo ya? Emosian banget!" omel Ian.
"PMS pala lo! Kan ada elo pengacara gue. Tinggal lo urus!" balas Dirga.
"Eh kampret! Lo pikir itu orang ga akan kenapa-kenapa dipukulin sabuk hitam kayak elo? Bagus kalo cuma lecet, kalo modar?"
"Lo pikir gue jadi sensei cuma buat bikin orang modar?"
"Haduuuhhh! STOP! Berisik tau gak! Udah tua kelakuan kaya bocah. Malu sama umur! Debat lagi aku selepet pake karet mulut kalian berdua!" ujar Andien geram. Berusaha melerai perdebatan kedua pria itu. Andien belum tau saja kalau hari-hari Dirga, Ian dan Borne ketika ketiganya bersama jauh dari kata damai.
"Eh Ndien, mantan lo itu Braga Adhiyaksa bukan sih?" tanya Ian.
"Iya. Lo kenal?" jawab Andien.
"Njiiir... Konon katanya tajir melintir itu dia! Kok lo tolak, Ndien? Makmur lho kalo sama dia."
"Gue juga tajir! Setan lo, senang banget bikin gue murka!" omel Dirga tak terima.
Ian malah tertawa menanggapi kekesalan sahabatnya itu.
"Kenal sih ngga. Pernah liat aja. Makanya tadi kayak ga asing gitu. Gue pernah ngikutin sidangnya. Temen gue pengacara tersangka waktu itu. Mantan lo itu jaksa penuntutnya. Buset, garang banget itu orang di ruang sidang!" lanjut Ian lagi.
"Gue ga pernah ngikutin sepak terjang dia Yan. Ga tertarik."
"Ya karena lo ga tertarik sama mantan lo itu makanya lo ga tertarik sama sepak terjangnya. Dia baru cerai bukan?"
"Iya. Belum ada setahun deh."
"Cerainya bukan gara-gara ngarep balikan sama lo kan?"
"Dih gila lo! Khayalan lo kejauhan!"
"Gue pengacara Ndien, wajar gue suka ngayal kemana-mana!"
"Ya mana gue tau."
"Tapi hebat lo, bisa bikin seorang Braga Adhiyaksa nunduk begitu. Ngenes banget nasibnya tuh orang. Bini lepas, gebetan juga lepas!"
Ian tertawa sinis mendengar ucapannya sendiri.
Sementara di sebelah Andien, Dirga masih menggenggam tangan kiri kekasihnya itu sambil mendengarkan percakapan Ian dan Andien.
"Segitu hebatnya, bro?" tanya Dirga pada Ian.
"Ya gitulah. Persentase kemenangan dia tinggi. Kalau ada kasus yang jaksa penuntutnya dia, kita-kita ini musti ekstra nyiapin data buat di bawa ke persidangan. Orangnya teliti banget. Terdakwa bisa kena pasal berlapis kalo kasus udah di tangan dia. Plus aura mengintimidasinya juara! Gue sih belum pernah hadap-hadapan sama dia. Waktu..."
"Cocok tuh soal mengintimidasi!" potong Andien di tengah penjelasan Ian.
"Kenapa?" tanya Dirga heran. Kedua netranya sekarang sudah mengunci netra Andien.
"Waktu aku putus sama dia, dia bilang karena sifat jelek aku. Dan pernyataan dia itu bikin aku ga percaya diri. Padahal dia selingkuh, nyari-nyari alesan aja buat nutupin kesalahannya. Yang nyakitinnya, dia ga ngasih kesempatan sama sekali untuk aku bicara. Jangankan menjelaskan, sekedar bicara aja ga bisa. Udahlah ga usah dibahas, males juga." jelas Andien malas-malasan.
"Kenapa sifat lo?" tanya Ian penasaran.
"Katanya gue mojokin dia mulu. Jadi dia ga nyaman sama gue."
"Dih bangsat tuh orang! Playing victim! Semua cewe ya bakalan begitu. Belum ketemu aja sama bini gue! Telat semenit sampe rumah langsung dicecar abis gue sampe mojok dibalik pintu! Njir, ngeri brooo! Untung cinta!"
Andien dan Dirga tertawa renyah membayangkan raut wajah Ian yang ketakutan karena ulah istrinya.
"Ya lo maklumin lah, namanya lagi hamil." Andien berusaha membela Meta - istri Ian.
"Kagak hamil aja dia begitu! Lo bayangin aja lagi hamil begini, ampun gue! Apa karena cowok ya bayinya bini gue jadi garang begitu?"
Dirga makin terkekeh mendengar pembelaan Ian.
"Bagus lah lo punya bini kaya Meta. Secara tiap hari lo ketemunya sama client yang pake baju kurang bahan mulu. Kalau ga ingat punya singa di rumah mana bisa pulang on time lo?" cecar Dirga.
"Sorry bro! Gue ganteng-ganteng gini suami setia. Bandel boleh, bego jangan! Mantan gue emang banyak, tapi sekedar jalan doang, ya paling ujung-ujungnya gue php-in. Gue bukan penjahat kelamin, bro! Begitu ijab kabul, kelar masa-masa petakilan begitu."
"Iye-iye percaya gue!"
"Emang Ian mantannya sebanyak apa, sayang?" tanya Andien polos.
"Oh, kalo dikumpulin bisa buat pawai tujuh belas... Auuuwww!! Setan!!!" maki Dirga sambil mengelus kepalanya yang digetok oleh Ian dengan buku menu, sementara sang pelaku hanya mencengir lebar.
"Udah ah, balik ke kantor gue. Setengah jam lagi client gue dateng. Lo yang bayar!" tandas Ian pada Dirga seraya beranjak dari tempat duduknya. "Bye Andien... Baek-baek sama tuh demit satu!"
Andien hanya tertawa mendengar kelakar Ian.
Setelah punggung Ian menghilang di balik pintu keluar cafe, Andien pun mengajak Dirga untuk urung diri dari tempat tersebut.
"Kak, balik yuk. Aku ngantuk banget. Masih laper juga!"
"Makan lagi dulu aja baru kita balik."
"Ngga ah, mau tidur aja dulu di mobil. Makan nanti aja gampang, mau makan nasi aja, aku belum ketemu nasi dari pagi."
"Mobil kamu ditaruh di sini dulu ya. Aku telpon Borne buat kirim supir bawain mobil kamu ke rumah." ujar Dirga sambil membuka ponselnya untuk menelpon Borne.
Andien mencegahnya. "Aku ga bawa mobil. Ga bisa dinyalain, accu-nya sepertinya harus ganti. Tadi aku naik kereta."
Dirga terheran-heran. Baru akan menjawab, Andien sudah bicara lagi "Sayang capek ga? Kalau ga capek, anterin aku pulang ya? Aku beneran ngantuk dan pusing. Tiga hari ini aku begadang karena ngejar revisi akhir untuk ke penerbit. Dan aku masih... Kangen!"
Dirga masih ingin bertanya, tetapi melihat wajah dan manik mata Andien yang sudah layu, ia pun mengurungkan niatnya. Dirga mengecup tangan Andien, mengangguk, lalu mengajak kekasihnya meninggalkan cafe itu.
Sampai di pelataran parkir, Dirga bergegas membukakan pintu mobil untuk Andien. Ia lalu beranjak, membuka bagasi untuk mengambil selimut yang memang selalu tersedia di mobilnya. Begitu ia duduk di balik kemudi, Dirga terkekeh melihat Andien yang sudah tertidur pulas.
"Ya ampun sayang... Capek banget ya?" pertanyaan retoris itu mengalir pelan dari mulut Dirga.
Detik selanjutnya Dirga menyalakan mobil, mengatur suhu udara, membantu memasangkan Andien seat belt, merebahkan sandaran kursi, dan menyelimuti kekasihnya itu. Netranya terkunci pada wajah lelah yang tetap terlihat cantik itu.
"Gimana bisa kamu bikin aku jatuh cinta berkali-kali? Ngga di masa kita kecil, ngga juga saat ini. Selalu kamu, selalu kamu yang mengikat hati aku." lirih Dirga lagi.
Tak bisa menahan, Dirga mengecup bibir Andien lembut beberapa saat dan mengelus lembut pipinya seraya berujar...
"Je Vous Aime, lumière".
Dirga melajukan mobilnya keluar daricafeyang sudah menjadi favoritnya itu sejak beberapa tahun yang lalu. Belum jauh beranjak, langit menumpahkan buliran hujan dengan derasnya, bahkan sang angin pun seperti memberi peringatan jika ia akan bertiup lebih kencang di siang menjelang sore itu. Dirga melirik kekasihnya yang masih tertidur pulas, menimbang-nimbang apa yang ada di pikirannya, dan akhirnya memutuskan untuk membawa Andien ke unitnya saja.Sesampainya di parkiran apartemen, Dirga mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan singkat lalu mengetik pesan untuk sang penerima di sana yang sangat ia sayangi.[Me]El, lagi apa nak?[Eldra]Main game Om.[Me]Main sama Anne dan Cantika juga dong El.[Eldra]Udah tadi. Sekarang anne sama cantika masih bobo.El baru di bolehin ummah main ha
"Lipsticksiapa ini? KAMU NGAPAIN?" bentak seorang perempuan yang menerobos masuk unit Dirga sore itu. Tak jauh dari mereka, di sana, Andien berdiri, menatap nanar kedua orang dihadapannya sambil menahan rasa panas di kedua netranya. Dirga yang sempat terkejut mengalihkan pandangannya pada Andien, perempuan itu pun mengikuti arah pandang Dirga. Saat kedua pasang netra kedua perempuan itu bertemu, tamu tak diundang itu berjalan cepat mendekati Andien seraya menahan amarah. "BRENGSEK!!!" maki perempuan itu. "PELACUR SIAL--- !!!" *PLAK!* Entah sejak kapan Dirga sudah berada di antara keduanya, hingga bukan pipi mulus Andien yang terkena tamparan, tetapi justru pipi berhiaskanfive o'clock shadowmilik Dirga yang terkena panasnya benturan telapak tangan perempuan itu. Dirga meringis, tangannya mengusap darah yang keluar dari sudur bibirnya, sepertinya karena goresan dengan salah satu cincin yang tersemat h
Kini mereka berempat duduk di ruangan dengan dua buah sofa panjang yang saling berhadapan. Debby sudah menyiapkan hidangan di hadapan mereka masing-masing. Rice boxlengkap dengan sapiszechuan, ditambah caisim cah bawang putih dan kepiting lemburi lada garam. Satu-satunya orang yang makan dengan lahap di ruangan itu adalah Borne, pria itu benar-benar tidak terganggu dengan ketegangan yang terjadi tadi. Debby sibuk memperhatikan pasangan di depannya yang tidak menyentuh makanan mereka sama sekali, sambil sesekali menambahkan lauk pauk ke dalamboxsuaminya.
"Sayang..." panggil Dirga dengan suara paraunya yang terdengar begitu memelas di telinga Andien. Andien menghentikan kegiatan menata isi tasnya, menghela nafas sesaat sebelum menegakkan tubuh dan berputar agar berdiri berhadapan dengan pria yang sudah membuatnya kembali mencinta. Tak tega melihat raut kesedihan dan serba salah di wajah Dirga, Andien melangkah mendekat untuk memeluk pria itu. Dirga pun membalas pelukan Andien dengan rengkuhan yang lebih erat. Andien menepuk lembut punggung Dirga seraya menghindu aroma khas tubuh yang bercampur dengan notes woody dari
Andien tertawa mendengar celotehan Dirga. Hidup ini begitu lucu, mereka bahkan tidak bertemu bertahun-tahun. Tidak pula saling mengetahui keberadaan satu sama lain. Pun saat keduanya masih kanak-kanak ataupun remaja, mereka hanya menjadi pengagum jarak jauh bagi satu sama lain. Dan sekarang, bagaimana bisa dalam lima hari kebersamaan Dirga sudah ingin memasangkan cicin sederhana itu ke jari manis Andien? Katakanlah Dirga lebih mengenal Andien karena memang pria itu selalu mencari-cari informasi tentang Andien dari orang-orang sekitarnya, bahkan tak segan mencari akal agar bisa mengamati perempuan itu sedekat mungkin. Tapi Andien? Andien benar-benar tidak mengenal sosok Dirga. Wajahnya saja Andien tak mampu mengingatnya. Satu-satunya fakta yang Andien tau, pria itu hanya mengirimkan salam untuknya sekali
Honda Accord terbaru berwarna crystal black pearl itu membelah jalan tol Jagorawi malam itu, mengantarkan Dirga dan Andien ke tempat tujuannya. "Iya Ummah, ini udah di Tol.""....""Iya maaf Ummah. Tadi ada hal penting yang harus Andien dan Kak Dirga bicarakan.""....""Iya Ummah, Andien janji ga akan begini lagi.""....""W*'alaikumsalam Ummah."
Mereka berdua sampai di rumah Andien lewat pukul 22.00, sudah lewat jam malam mengingat rumah itu dihuni dua orang anak usia sekolah. Andien langsung membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan setelan piyama lengan pendek dan celana panjang berbahan kaos berwarna broken white polos. Perempuan itu memilih untuk melihat ketiga malaikat kecilnya yang sudah terlelap terlebih dahulu, menciumi mereka satu per satu. Bahkan Eldra, putra kesayangannya sempat terbangun dan memeluk leher Andien, mencium pipi mamanya dan bergumam "El sayang Mama" kemudian tertidur pulas kembali. Sem
"Kenapa kalian bertiga sekeluarga cepat pindah saat itu? Apa karena Eric?" Hamdan memulai dengan mengorek kejadian lama yang cukup menggegerkan lingkungan mereka saat itu. Dirga paham, yang dimaksud bertiga oleh Hamdan adalah dirinya, Borne dan Ian. Mereka memang terkenal tak terpisahkan sejak kecil - sejak jaman ngaji bareng di sebuah Madrasah di depan masjid. Bahkan ibu mereka seringkali membeli sarung kodian yang akhirnya membuat mereka terlihat kompak seperti saudara kandung tanpa kemiripan paras sama sekali. "Iya Om. Yang saya ingat, hari itu tiba-tiba Papa pulang dari rumah sakit lebih cepat. Langsung ke kamar saya, mencari-cari sesuatu sampai
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect