Dirga melajukan mobilnya keluar dari cafe yang sudah menjadi favoritnya itu sejak beberapa tahun yang lalu. Belum jauh beranjak, langit menumpahkan buliran hujan dengan derasnya, bahkan sang angin pun seperti memberi peringatan jika ia akan bertiup lebih kencang di siang menjelang sore itu. Dirga melirik kekasihnya yang masih tertidur pulas, menimbang-nimbang apa yang ada di pikirannya, dan akhirnya memutuskan untuk membawa Andien ke unitnya saja.
Sesampainya di parkiran apartemen, Dirga mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan singkat lalu mengetik pesan untuk sang penerima di sana yang sangat ia sayangi.
[Me]
El, lagi apa nak?[Eldra]
Main game Om.[Me]
Main sama Anne dan Cantika juga dong El.[Eldra]
Udah tadi. Sekarang anne sama cantika masih bobo.El baru di bolehin ummah main ha"Lipsticksiapa ini? KAMU NGAPAIN?" bentak seorang perempuan yang menerobos masuk unit Dirga sore itu. Tak jauh dari mereka, di sana, Andien berdiri, menatap nanar kedua orang dihadapannya sambil menahan rasa panas di kedua netranya. Dirga yang sempat terkejut mengalihkan pandangannya pada Andien, perempuan itu pun mengikuti arah pandang Dirga. Saat kedua pasang netra kedua perempuan itu bertemu, tamu tak diundang itu berjalan cepat mendekati Andien seraya menahan amarah. "BRENGSEK!!!" maki perempuan itu. "PELACUR SIAL--- !!!" *PLAK!* Entah sejak kapan Dirga sudah berada di antara keduanya, hingga bukan pipi mulus Andien yang terkena tamparan, tetapi justru pipi berhiaskanfive o'clock shadowmilik Dirga yang terkena panasnya benturan telapak tangan perempuan itu. Dirga meringis, tangannya mengusap darah yang keluar dari sudur bibirnya, sepertinya karena goresan dengan salah satu cincin yang tersemat h
Kini mereka berempat duduk di ruangan dengan dua buah sofa panjang yang saling berhadapan. Debby sudah menyiapkan hidangan di hadapan mereka masing-masing. Rice boxlengkap dengan sapiszechuan, ditambah caisim cah bawang putih dan kepiting lemburi lada garam. Satu-satunya orang yang makan dengan lahap di ruangan itu adalah Borne, pria itu benar-benar tidak terganggu dengan ketegangan yang terjadi tadi. Debby sibuk memperhatikan pasangan di depannya yang tidak menyentuh makanan mereka sama sekali, sambil sesekali menambahkan lauk pauk ke dalamboxsuaminya.
"Sayang..." panggil Dirga dengan suara paraunya yang terdengar begitu memelas di telinga Andien. Andien menghentikan kegiatan menata isi tasnya, menghela nafas sesaat sebelum menegakkan tubuh dan berputar agar berdiri berhadapan dengan pria yang sudah membuatnya kembali mencinta. Tak tega melihat raut kesedihan dan serba salah di wajah Dirga, Andien melangkah mendekat untuk memeluk pria itu. Dirga pun membalas pelukan Andien dengan rengkuhan yang lebih erat. Andien menepuk lembut punggung Dirga seraya menghindu aroma khas tubuh yang bercampur dengan notes woody dari
Andien tertawa mendengar celotehan Dirga. Hidup ini begitu lucu, mereka bahkan tidak bertemu bertahun-tahun. Tidak pula saling mengetahui keberadaan satu sama lain. Pun saat keduanya masih kanak-kanak ataupun remaja, mereka hanya menjadi pengagum jarak jauh bagi satu sama lain. Dan sekarang, bagaimana bisa dalam lima hari kebersamaan Dirga sudah ingin memasangkan cicin sederhana itu ke jari manis Andien? Katakanlah Dirga lebih mengenal Andien karena memang pria itu selalu mencari-cari informasi tentang Andien dari orang-orang sekitarnya, bahkan tak segan mencari akal agar bisa mengamati perempuan itu sedekat mungkin. Tapi Andien? Andien benar-benar tidak mengenal sosok Dirga. Wajahnya saja Andien tak mampu mengingatnya. Satu-satunya fakta yang Andien tau, pria itu hanya mengirimkan salam untuknya sekali
Honda Accord terbaru berwarna crystal black pearl itu membelah jalan tol Jagorawi malam itu, mengantarkan Dirga dan Andien ke tempat tujuannya. "Iya Ummah, ini udah di Tol.""....""Iya maaf Ummah. Tadi ada hal penting yang harus Andien dan Kak Dirga bicarakan.""....""Iya Ummah, Andien janji ga akan begini lagi.""....""W*'alaikumsalam Ummah."
Mereka berdua sampai di rumah Andien lewat pukul 22.00, sudah lewat jam malam mengingat rumah itu dihuni dua orang anak usia sekolah. Andien langsung membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan setelan piyama lengan pendek dan celana panjang berbahan kaos berwarna broken white polos. Perempuan itu memilih untuk melihat ketiga malaikat kecilnya yang sudah terlelap terlebih dahulu, menciumi mereka satu per satu. Bahkan Eldra, putra kesayangannya sempat terbangun dan memeluk leher Andien, mencium pipi mamanya dan bergumam "El sayang Mama" kemudian tertidur pulas kembali. Sem
"Kenapa kalian bertiga sekeluarga cepat pindah saat itu? Apa karena Eric?" Hamdan memulai dengan mengorek kejadian lama yang cukup menggegerkan lingkungan mereka saat itu. Dirga paham, yang dimaksud bertiga oleh Hamdan adalah dirinya, Borne dan Ian. Mereka memang terkenal tak terpisahkan sejak kecil - sejak jaman ngaji bareng di sebuah Madrasah di depan masjid. Bahkan ibu mereka seringkali membeli sarung kodian yang akhirnya membuat mereka terlihat kompak seperti saudara kandung tanpa kemiripan paras sama sekali. "Iya Om. Yang saya ingat, hari itu tiba-tiba Papa pulang dari rumah sakit lebih cepat. Langsung ke kamar saya, mencari-cari sesuatu sampai
"Jadi, kamu sudah atau belum pernah menikah?" Hamdan memulai pertanyaan barunya. "Saya duda, Om." jawab Dirga singkat. Hamdan diam sesaat. Memperbaiki posisi duduknya hingga sedikit menyamping agar berhadapan dengan pria yang dicintai puterinya tersebut. "Cerai hidup atau cerai mati?" "Cerai hidup, sekitar lima tahun yang lalu, Om."
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect