Mereka berdua sampai di rumah Andien lewat pukul 22.00, sudah lewat jam malam mengingat rumah itu dihuni dua orang anak usia sekolah.
Andien langsung membersihkan diri, mengganti pakaiannya dengan setelan piyama lengan pendek dan celana panjang berbahan kaos berwarna broken white polos. Perempuan itu memilih untuk melihat ketiga malaikat kecilnya yang sudah terlelap terlebih dahulu, menciumi mereka satu per satu. Bahkan Eldra, putra kesayangannya sempat terbangun dan memeluk leher Andien, mencium pipi mamanya dan bergumam "El sayang Mama" kemudian tertidur pulas kembali.
Sem
"Kenapa kalian bertiga sekeluarga cepat pindah saat itu? Apa karena Eric?" Hamdan memulai dengan mengorek kejadian lama yang cukup menggegerkan lingkungan mereka saat itu. Dirga paham, yang dimaksud bertiga oleh Hamdan adalah dirinya, Borne dan Ian. Mereka memang terkenal tak terpisahkan sejak kecil - sejak jaman ngaji bareng di sebuah Madrasah di depan masjid. Bahkan ibu mereka seringkali membeli sarung kodian yang akhirnya membuat mereka terlihat kompak seperti saudara kandung tanpa kemiripan paras sama sekali. "Iya Om. Yang saya ingat, hari itu tiba-tiba Papa pulang dari rumah sakit lebih cepat. Langsung ke kamar saya, mencari-cari sesuatu sampai
"Jadi, kamu sudah atau belum pernah menikah?" Hamdan memulai pertanyaan barunya. "Saya duda, Om." jawab Dirga singkat. Hamdan diam sesaat. Memperbaiki posisi duduknya hingga sedikit menyamping agar berhadapan dengan pria yang dicintai puterinya tersebut. "Cerai hidup atau cerai mati?" "Cerai hidup, sekitar lima tahun yang lalu, Om."
"Perempuan itu menjauh?" tanya Hamdan lagi. Ia ingin memastikan perjalan cinta puterinya kali kedua ini. Memastikan kepantasan dari pria yang dalam waktu singkat bisa meluluhkan hati beku puterinya kembali. "Lucunya, Medusa itu gencar meminta saya kembali. Setelah laki-laki yang menghamilinya lebih memilih istri dan keluarga kecilnya. Setelah akhirnya dia kehilangan janinnya karena keguguran." Dirga menjawab pertanyaan Hamdan dengan tersenyum sinis. Hamdan memijit pelipisnya. Perasaannya tidak enak. Bukan karena pemuda ini, tapi karena julukan Medusa yang diberikan oleh Dirga. Artinya, perempuan itu amat sangat mungkin mengganggu hidup puterinya kan?
"Papaaaaaa... banun! Mmmaah!" "Mmmaah!" "Papaaaaa" Bocah kecil itu terus saja berceloteh memanggil Dirga seraya menepuk-nepuk pipi Dirga dengan tangan kecilnya. Bibir kecilnya berulang kali menciumi pipi pria yang dengan senang hati dipanggilnya Papa. Sang Ibu hanya terkekeh mengamati kelakuan lucu bocah itu sambil duduk di meja di samping sofa yang dijadikan tempat terlelap oleh Dirga. 
Dirga sampai di kantor nyaris pukul sepuluh. Kemacetan sepanjang jalan Bogor - Jakarta nyaris menghabiskan mood dan tenaganya pagi itu. Borne masuk ke ruangnya, membawa segelas es kopi susu ukuran large yang ia pesan lewat aplikasi di ponselnya. "Buat balikin mood lo!" ujar Borne seraya meyodorkan gelas kopi itu kepada Dirga. Dirga menerimanya, mengaduk cairan itu, menancapkan
Ian masuk ke ruangan CEO 3D Design Corp tepat pukul dua siang. Ia mengetuk meja kerja Borne - yang masih sibuk double checking beberapa dokumen dan design sebelum masuk ke meja CEO. "Bentar, nanggung dikit lagi!" ucap Borne tanpa menengok ke arah Ian. "Lo masuk aja langsung." "Lo ikut, bro! Penting ini." perintah Ian sambil melangkahkan kakinya ke ruang kerja Dirga. Mengetuk kayu kokoh itu beberapa kali, Ian lantas langsung
Sementara di tempat lain, seorang pria terus memukuli samsak di hadapannya hingga buku-buku jarinya memerah, meradang, perih. Kesal bukan main setelah melihat perempuan yang sejak lama ia cintai keluar dari gedung perkantoran di mana sang mantan suami mengembangkan usahanya. "AAAAAAARRRRRGGGHHHHH!!!" teriaknya nyaring. Ia menghentikan aksi brutalnya dan membaringkan dirinya yang masih terengah-engah di atas lantai kayu. Ingatannya memutar kembali berbagai kejadian bahagia yang sempat ia lalui dengan perempuan itu. Masa-masa sebelum Dirga datang mengganggu tali kasihnya dengan Viona. Berkali-kali Ditya berusaha mendapatkan hati Viona kembali, berkali-
Menjelang akhir pekan, Andien membawa Cantika ke poli Spesialis Anak untuk pengulangan imunisasi campak-nya kali ke dua. Tadinya ia ingin membawa Cantika esok hari, karena khawatir terlalu lama berada di rumah sakit. Ia bahkan harus berangkat sebelum tengah hari, selain karena Rumah Sakit yang mereka tuju ada di Jakarta, pun karena Andien memiliki janji di poli lain sebelum lanjut memeriksakan tumbuh kembang Cantika dan imunisasi di poli Pediatri. Mau bagaimana lagi, esok hari Ummah dan Abah sudah harus kembali ke tempat keduanya tinggal. Harus membantu tetangga yang akan menikahkan anaknya, kata Abah semalam, saat Andien meminta agar mereka bisa leb
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect