Dirga sampai di kantor nyaris pukul sepuluh. Kemacetan sepanjang jalan Bogor - Jakarta nyaris menghabiskan mood dan tenaganya pagi itu. Borne masuk ke ruangnya, membawa segelas es kopi susu ukuran large yang ia pesan lewat aplikasi di ponselnya.
"Buat balikin mood lo!" ujar Borne seraya meyodorkan gelas kopi itu kepada Dirga.
Dirga menerimanya, mengaduk cairan itu, menancapkan
Ian masuk ke ruangan CEO 3D Design Corp tepat pukul dua siang. Ia mengetuk meja kerja Borne - yang masih sibuk double checking beberapa dokumen dan design sebelum masuk ke meja CEO. "Bentar, nanggung dikit lagi!" ucap Borne tanpa menengok ke arah Ian. "Lo masuk aja langsung." "Lo ikut, bro! Penting ini." perintah Ian sambil melangkahkan kakinya ke ruang kerja Dirga. Mengetuk kayu kokoh itu beberapa kali, Ian lantas langsung
Sementara di tempat lain, seorang pria terus memukuli samsak di hadapannya hingga buku-buku jarinya memerah, meradang, perih. Kesal bukan main setelah melihat perempuan yang sejak lama ia cintai keluar dari gedung perkantoran di mana sang mantan suami mengembangkan usahanya. "AAAAAAARRRRRGGGHHHHH!!!" teriaknya nyaring. Ia menghentikan aksi brutalnya dan membaringkan dirinya yang masih terengah-engah di atas lantai kayu. Ingatannya memutar kembali berbagai kejadian bahagia yang sempat ia lalui dengan perempuan itu. Masa-masa sebelum Dirga datang mengganggu tali kasihnya dengan Viona. Berkali-kali Ditya berusaha mendapatkan hati Viona kembali, berkali-
Menjelang akhir pekan, Andien membawa Cantika ke poli Spesialis Anak untuk pengulangan imunisasi campak-nya kali ke dua. Tadinya ia ingin membawa Cantika esok hari, karena khawatir terlalu lama berada di rumah sakit. Ia bahkan harus berangkat sebelum tengah hari, selain karena Rumah Sakit yang mereka tuju ada di Jakarta, pun karena Andien memiliki janji di poli lain sebelum lanjut memeriksakan tumbuh kembang Cantika dan imunisasi di poli Pediatri. Mau bagaimana lagi, esok hari Ummah dan Abah sudah harus kembali ke tempat keduanya tinggal. Harus membantu tetangga yang akan menikahkan anaknya, kata Abah semalam, saat Andien meminta agar mereka bisa leb
Andien mengerti maksud Alex. Tapi ia sedang tak ingin memberikan alasan-alasan yang terkesan membumbungkan ego Alex, kemudian membuat jarak sungkan yang terlalu besar antara dirinya dengan dokter penyelamat nyawanya. Singkat kata, ia tak ingin merusak hubungannya dengan Alex yang selama ini baik-baik saja hanya karena ia harus memberikan penolakan. "Bang Alex sudah pernah menikah?" tanya Andien. "Belum." "Pernah tinggal bareng tanpa pernikahan?"
DIRGA Point of View Setelah menunaikan ibadah selepas senja tadi, aku segera melangkahkan kakiku ke roda empat mungil berwarna putih yang diberi nama panggilan "Shiro" oleh Andien. Tadi, terlebih dahulu aku meletakkan puteri kecilku perlahan di car seat, memastikan agar ia nyaman selama perjalanan kami nanti. Sudahlah, tak perlu lagi menyematkan kata 'calon anak' pada ketiga malaikat kecil itu, toh aku sudah bertekad akan menjadikan Ibu mereka sebagai kekasihku selamanya. Setelah memastikan Cantika tetap terlel
Dirga Point of View Di sinilah kami sekarang, tepat di depan rumah Andien. Aku menepikan mobil tepat di depan pagar yang menutup taman rumahnya. Melirik ke jok belakang, melihat Cantika yang masih terlelap pulas, sepertinya bayiku itu terlampau lelah. Andien masih saja diam, bahkan sepertinya ia belum sadar jika kami sudah sampai di tujuan. Setelah melepas sabuk pengamanku, aku sengaja tak mematikan mesin mobil, masih menatap perempuan yang sejak dulu kucintai, sementara wajahnya membelakangiku menatap ke jalanan di balik kaca. Aku melepas sabuk pengamannya, suara yang ditimbulkan benda itu membawanya kembali ke saat ini, wajahnya berputar ke arahku, menatapku yang berjarak intim dengannya. Aku bertahan pada posisiku yang sesungguhnya tak nyaman, tapi tak kuasa melepas
Tiga bulan yang lalu. "Pada hari ini, kami hadir di tengah-tengah keluarga Bapak dan Ibu Wijaya, tiada lain dalam rangka bersilaturahmi agar saling mengenal lebih dekat antara satu dengan lainya. Selanjutnya, kami juga ingin menyampaikan hajat dari anak kami si sulung dari dua bersaudara yaitu Hangga Andara Astrayuda. Anak kami sudah cukup lama mengenal putri Bapak dan Ibu yang bernama Adisti Ayu Putri Wijaya.. Singkat cerita, izinkan kami mewakili Hangga menyampaikan niat tulus untuk melamar putri Bapak dan Ibu. Untuk itulah maksu
Masih, tiga bulan yang lalu. "Ndien..." sapa Ian sambil menyodorkan segelas es kopi susu di depan wajah Andien. Andien menerimanya, pandangannya beralih pada sesosok perempuan hamil dengan paras cantik yang mengikuti di belakang Ian. "Meta. Istri gue." tandas Ian. Perempuan itu menyapa Andien dan mengulurkan tangannya untuk saling berkenalan satu sama lain, sementara Ian sudah duduk manis tepat di sebelah Andien.
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect