Masih, tiga bulan yang lalu.
"Ndien..." sapa Ian sambil menyodorkan segelas es kopi susu di depan wajah Andien.
Andien menerimanya, pandangannya beralih pada sesosok perempuan hamil dengan paras cantik yang mengikuti di belakang Ian.
"Meta. Istri gue." tandas Ian.
Perempuan itu menyapa Andien dan mengulurkan tangannya untuk saling berkenalan satu sama lain, sementara Ian sudah duduk manis tepat di sebelah Andien.
London, tiga bulan yang lalu. Dirga baru selesai menghabiskan makan siangnya ketika notifikasi ponselnya berbunyi. Biasanya, ia adalah manusia paling malas membuka ponsel saat waktu makannya. Entah kenapa hari ini terasa berbeda, seolah ada kabar yang begitu ia nantikan menyapa. 'Wah, kenapa nih anak?' batin Dirga ketika melihat nama Ian di notifikasi pesan singkatnya. Sangat jarang ia menerima pesan pribadi dari Ian. Ia, Ian dan Borne biasa menyapa di chat group yang sengaja mereka buat untuk saling bertukar kabar. Tak menunggu lama, ia pun langsung membuka pesan singkat dari sahabatnya itu.
ANDIEN Point of View Besok, tepat 28 hari hubungan kasih yang kujalin dengan Dirga. Sebulan kurang dua hari. Sejauh ini, hubungan kami bisa dibilang baik-baik saja. Kami memang masih beradaptasi satu sama lain, kadang kami juga bertengkar, tapi jujur aku sangat menikmati hubungan ini. Ya, memiliki kekasih seperti dirinya, sangat menyenangkan. Dirga ternyata punya pribadi yang cukup keras dan tertutup, tak heran jika orang-orang terdekatnya kerap kali menjulukinya 'batu'. Kekasihku itu orang yang tidak banyak bertanya kecuali saat rasa penasarannya terpancing, tidak juga banyak
Sedari pagi, aku sudah berada di kedai soto padangku ini. Seperti biasa, khusus hari Sabtu dan Minggu kami memang buka lebih pagi, sejak jam tujuh pagi. Ruko tempat menjajahkan daganganku ini memang cukup strategis.Di pagi hari, terlebih weekend seperti ini, padat dengan mereka yang menyempatkan diri berolah raga — dari lari pagi, bersepeda, bahkan mengikuti group senam tak jauh dari kedaiku berada. Tentu saja, tak akan sungkan, banyak di antara mereka yang memutuskan untuk mencicipi sarapan di kedai kami.
Hari beranjak semakin siang. Sejak kepulangan Viona dari kedainya, Andien hanya mengurung diri di ruang pribadinya di lantai dua ruko. Sakit kepala menderanya, tangannya perlahan gemetar. Sudah tiga bulan terakhir dia amat jarang mengkonsumsi obat anticemas yang diresepkan dokter untuknya. Dan juga tak pernah obat-obat itu ada di tasnya lagi. Andien benar-benar berusaha lepas dari semua pil pengendalinya itu.Andien masih terbaring meringkuk di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu. Selalu seperti ini, setiap kali kecemasan menyapanya, seolah dunia ini menyempit, udara di sekitarnya berkurang, tenaganya terhisap habis. Ingatan akan segala gangguan yang dilancarkan mantan istri Dirga tadi terus saja membuat kepalanya berdenyut nyeri. Andien tak membuka kedua netranya hingga terdengar seseorang mengetu
Menjelang senja Dirga dan Andien sudah sampai di kota Bandung. Dirga langsung membawa Andien dan ketiga anaknya ke kediaman orang tuanya."Assalammu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Andien terpengangah melihat ramainya kediaman yang ia kunjungi itu.
'praaang!'Suara keras dari arah dapur mengalihkan semua pasang netra yang tadinya terkesiap dengan ulah perempuan itu. Tertegun, tak sadar Andien melepaskan pitcher di tangannya. Pikirannya kosong, tak menyangka dengan apa yang baru saja ia saksikan."Sayang!" lirih Dirga.Dirga bersegera berdiri, berjalan cepat setengah berlari mendekati Andien. Sementara anggota keluarga yang lain seperti disadarkan kembali oleh
"Dirga, apa Papa melewati batas jika Papa bertanya, sebenarnya bagaimana hubungan kalian berdua?" Anggara menyuarakan pertanyaannya berhubung Dirga sedari tadi hanya duduk membatu di tengah ruangan itu. Tentu saja, berdua yang dimaksud Anggara adalah putera ketiganya itu dengan mantan isterinya."Tidak ada hubungan apapun kecuali seperti yang tertera di surat cerai kami, Pa!" jawab Dirga tegas."Aku tidak pernah menyetujui perceraian kita, Ga! Aku tidak pernah mau bercerai dengan kamu! Kamu salah paham selama ini." Sanggah Viona.
"Masih ada yang perlu kamu sampaikan?" tanya Dirga setelah berhasil menenangkan emosinya."Aku cuma ingin kamu mencintaiku, Ga!""Apapun yang aku jelaskan ke kamu, ga akan merubah apa yang sudah kamu tanam di benakmu Vio. Itu yang aku kenal baik tentang kamu!""Sudahlah. Intinya, aku tidak selingkuh. Janin yang kukandung saat itu anak kita! Kamu mabuk, makanya kamu ga ingat waktu kita melakukannya."
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect