"Dirga, apa Papa melewati batas jika Papa bertanya, sebenarnya bagaimana hubungan kalian berdua?" Anggara menyuarakan pertanyaannya berhubung Dirga sedari tadi hanya duduk membatu di tengah ruangan itu. Tentu saja, berdua yang dimaksud Anggara adalah putera ketiganya itu dengan mantan isterinya.
"Tidak ada hubungan apapun kecuali seperti yang tertera di surat cerai kami, Pa!" jawab Dirga tegas.
"Aku tidak pernah menyetujui perceraian kita, Ga! Aku tidak pernah mau bercerai dengan kamu! Kamu salah paham selama ini." Sanggah Viona.
"Masih ada yang perlu kamu sampaikan?" tanya Dirga setelah berhasil menenangkan emosinya."Aku cuma ingin kamu mencintaiku, Ga!""Apapun yang aku jelaskan ke kamu, ga akan merubah apa yang sudah kamu tanam di benakmu Vio. Itu yang aku kenal baik tentang kamu!""Sudahlah. Intinya, aku tidak selingkuh. Janin yang kukandung saat itu anak kita! Kamu mabuk, makanya kamu ga ingat waktu kita melakukannya."
'BRAK!' suara pintu utama tertutup - terdengar begitu keras. Begitulah Viona, entah pergi kemana adab sopan santun wanita itu.Dirga masih menundukkan kepalanya, menunggu Anggara dan Anggita berkeluhkesah karena salah sikapnya yang menutupi penyebab perceraiannya dengan Viona. Walaupun Dirga berpikir tak ingin membuat keduanya khawatir, tetap saja, keputusan yang diambilnya adalah kesalahan. Tepat di hadapannya, Anggita masih menatap puteranya itu lekat. Air mata belum juga berhenti mengalir di wajah senjanya."Dirga..." rintih Anggara pelan, namun masih terdengar jelas di telinga Dirga."PAPA!" Dirga beringsut, bersimpuh di hadapan Anggara yang mencengkram erat dadanya.'Ya Allah, Papa...'
Andien meregangkan tubuhnya dengan netra yang masih terpejam. Tadi ia tertidur di sofa ruang tamu, menunggu para penghuni rumah ini kembali. Kaki kirinya yang terluka terasa begitu nyeri. Andien membuka matanya, menatap Dirga yang duduk di atas karpet dengan menyandarkan punggungnya ke kaki sofa tepat di samping kepala Andien. Mata pria itu memejam walau tak tertidur."Sayang..." panggil Andien seraya mengusap lembut kepala Dirga.Kedua netra Dirga terbuka. Ia menoleh, membenahi posisinya, menghadap Andien.
Dirga dan Andien berjalan bergandengan memasuki pintu masuk utama Rumah Sakit. Pagi ini seusai sarapan dan memastikan ketiga malaikat kecil mereka sudah tuntas rutinitas paginya, mereka berdua pergi menjenguk Anggara.“Kamu yakin kaki kamu ga apa-apa sayang?” tanya Dirga yang masih saja khawatir dengan keadaan kekasihnya. Jika saja Andien tak henti merajuk pagi tadi, dipastikan Dirga tak akan membawanya ikut ke Rumah Sakit.“Iya. Ga apa-apa, kok.”“Kita pakai kursi roda
Andien yang mendengar ucapan Dirga menghentikan langkahnya. Rengkuhan Andien di pinggang Dirga menguat, membuat Dirga turut menghentikan langkahnya."Kok kamu ga bilang?" Lirih Andien.Dirga mengelus lembut punggung Andien, lalu kembali merengkuhnya, memberi isyarat agar mereka kembali melanjutkan langkah."Ga apa-apa sayang. Ga keras juga naboknya. Tapi Bang Irgi nangis pas nabok aku. Bukan karena Papa sakit, tapi karena aku selama ini diam. Bang Irgi
Dirga dan Andien memisahkan diri, duduk di tepi kolam renang, usai ketiga sahabat itu adu tanding kepiawaian karate dengan Irgi. Ian dan Borne yang kelelahan, terlentang tak tentu arah di ruang keluarga. Sementara Debby dan Meta asik menonton drama korea kesayangan mereka di Netflix."Sayang, nanti diantar Borne dan Debby ya... Aku mau balik lagi ke rumah sakit. Ga tega ninggal Papa.""Iya ga apa-apa." Andien menautkan jemari mereka berdua. "Yang penting sekarang Papa, beliau biar sehat dulu."
"Saat itu, Abah dan Ummah mendidik aku dengan keras. Mungkin karena merekapun dulu dididik seperti itu. Tapi, aku ga kuat dengan cara Abah dan Ummah. Akibat awalnya, aku jadi ga fokus belajar. Nilai-nilaiku hampir selalu di bawah rata-rata. Dulu kan ga seperti sekarang ya Kak, banyak psikolog anak yang bisa di ajak konsultasi. Ilmu-ilmu parenting juga sekarang mudah didapat. Jadi, merosotnya nilai-nilaiku justru membuat Ummah dan Abah berang. Itu salah satu penyebab yang bikin kamu jarang lihat aku keluar rumah."Andien memberi jeda. Dirga masih menyimak dengan seksama.
Andien menumpang Borne dan Debby dalam perjalanan pulang dari Bandung. Dirga yang belum bisa meninggalkan Papanya, meminta tolong pada Borne agar mengantar Andien sampai ke kediamannya di Bogor. "Kedai buka non?" tanya Borne pada Andien. "Buka. Mau mampir makan dulu?" "Iye. Laper gue abis dihajar Bang Irgi."
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect