Hari beranjak gelap. Dirga mencoba mengajak Andien untuk bicara berdua
"Bisa kita bicara berdua?"
"Iya, bisa Kak. Tunggu ya, aku bawa anak-anak ke kamar dulu."
Andien membawa ketiga malaikat kecil itu ke kamar ditemani Sanah untuk menyiapkan keperluan sekolah mereka esok hari, dan bermain santai sambil menunggu kantuk datang.
"Kita ngobrol di bangku taman aja kak?"
"Oke."
Mereka duduk bersisian. Dirga menggenggam tangan Andien, lalu mengecup punggung tangan itu. Mereka lalu saling menatap dalam diam.
"Aku kangen lho!" ucap Dirga seraya memberi sentuhan lembut di pipi Andien.
"Hmmm..."
Dirga mengecup bibir Andien sesaat.
"Udah selesai janji sama Papa kamu?"
"Iya udah. Soon to be Papa kamu juga."
Andien terkekeh, sementara Dirga sibuk mengusap lembut surai Andien, mengunci wajah cantik itu dalam netra dan ingatannya.
"Setiap minggu kami giliran nemenin Papa berkuda. Bang Irgi, bang Ari, aku dan Edo."
"Oh gitu. Om masih kuat berkuda?"
"Iya masih. Mama dan Papa alhamdulillah masih segar."
Selama bicara mereka terus saling menatap, Dirga sesekali mengecup tangan yang di genggamnya, mengelus pipi Andien yang kerap dibalas dengan usapan di rahang Dirga.
'Jelas banget sih ini, love language-nyaphysical touch banget.'
"Kenapa?" tanya Dirga kala mendapati Andien yang seperti sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Apa?"
"Kok bengong lagi?"
"Ah ngga, Kak."
"Yakin? Ada yang ganggu pikiran kamu?"
Andien tersenyum, lalu menggeleng.
"Ngga sih. Tadi cuma kepikiran aja, sejak kita ketemu, kamu bahasa cintanya 'menyentuh' banget."
"Menyentuh?"
"I mean, physical touch."
"Kamu risih?" tanya Dirga, khawatir membuat Andien berfikir salah tentangnya.
"Maaf, aku ga maksud..."
"Ga apa-apa, Kak. Ngga kok, bukan dalam artian menyentuh yang ga sopan atau bikin ga nyaman. Tapi lebih ke cara kamu mengekspresikan perasaan kamu ke aku. Kamu suka duduk nempel, suka genggam tangan aku, suka meluk, suka ngusap kepala aku, suka nyium."
"Tapi kamu nyaman ga?" tanya Dirga lagi.
"Nyaman, Kak. Kan aku bilang tadi, itu love language kamu."
"Kalau kamu? Love language kamu apa?"
"Coba tebak!" pinta Andien.
"Mmm, looks like, quality time?"
"Exactly!"
Dirga mencengir lebar. Bahkan hal sesederhana ini, sekedar membicarakan love language satu sama lain, bisa membuatnya bahagia.
Pembicaraan mereka hanyut ke berbagai hal, hingga tak terasa alarm di ponsel Andien berbunyi menunjukkan pukul sembilan malam. Waktunya Andien memastikan kebutuhan anak-anaknya esok pagi sudah tersedia.
"Sudah malam ya?"
"Iya, aku harus nyiapin kebutuhan anak-anak buat besok pagi."
"Aku pulang kalau gitu, lagian ga bagus juga aku lama-lama di sini."
"Iya, Kak."
"Cepat istirahat ya, my soon to be wife!"
Andien terkekeh. Pria itu terus saja bicara menyerempet penuh makna.
"Ih malah ketawa. Aku serius sayang."
"Hmmm..."
Dirga mendekatkan wajahnya, menyatukan kening mereka, menyentuh dan menahan tengkuk Andien. Segera, bibir mereka bertemu dan saling mengecap beberapa saat.
"Minggu ini kegiatanku lumayan padat. Banyak meeting di kantor, ketemu klien dan mastiin beberapa progress proyek. Aku ga bisa janji sering ke sini." ucap Dirga sesaat setelah pautan bibir mereka terlepas.
Andien tau, jarak Jakarta - Bogor jika harus ditempuh untuk sekedar berkencan disela-sela kesibukan bukanlah hal yang bijak.
"It's ok!" ucap Andien "Oh iya Kak... Aku ada janji makan siang hari rabu besok."
"Oh, sama siapa?"
"Mmm, teman SMA."
"Teman SMA?" Dirga merasa ada hal yang ganjil. Ia menaikkan sebelah alisnya, menunggu kalimat penjelas dari Andien.
"Hmmm, mantan aku waktu SMA, Kak. Tiga bulan yang lalu dia dinas ke Berlin. Sebelum berangkat dia minta aku memikirkan ajakan dia. Dan sekarang dia udah balik, aku terus menunda ketemu dia sejak minggu lalu. Sekarang aku harus ketemu dia. Ga bisa menghindar lagi." jawab Andien.
Dirga memijit pelipisnya yang entah kenapa terasa berat. Resah. Rasanya seperti ada bara di dalam kepala dan dadanya.
"Kamu pacaran lagi sama dia?" tanyanya datar.
"Ya ampun... Ngga lah Kak! Aku baru punya hubungan sama cowo setelah Papanya anak-anak ga ada ya baru sama kamu!"
"Ya kalau gitu by phone aja, ga usah ketemu segala!"
"Ga mungkin aku jawab tawaran dia by
phone. Ga etis kan.""Kok ga etis? Bilang aja aku ga ijinin."
"Aku ga minta ijin, Kak. Aku ngasih tau kamu. Apapun itu, aku harus nemuin dia. Aku udah janji nemuin dia dari minggu lalu waktu dia bilang dia mau pulang."
Dirga ingin tegas melarangnya. Pria mana yang mau mengijinkan wanitanya pergi menemui pria lain. Bagaimana kalau nanti di saat mereka bertemu hati Andien goyah?
Bahkan Andien dan dirinya baru bertemu lagi dua hari ini. Dirga mengembuskan napasnya kasar, tidak bisa menutupi kekesalannya.
Andien menyentuh rahang Dirga, mengecup cepat pipi kekasihnya.
"Aku ga akan macam-macam kok. Hanya menegaskan jawabanku saja."
"Memang dia ngajak apa sih?" Dirga bertanya penuh keraguan. Khawatir apa yang ada di benaknya benar.
"Dia ngajak nikah."
"Ya Tuhan Andien! Aku bener-bener ga mau kamu menemui dia!" kesal Dirga.
"Jadi kak Dirga lebih senang aku di teror terus sama dia?"
"Ya udah aku ikut!"
"Ga usah Kak. Lagian kan tadi kamu bilang jadwal kamu lagi padat, aku gak mau ganggu rutinitas kamu. Ditambah, aku ga mau dia berfikir kalau aku nolak dia karena kamu. Ada ataupun ga ada kamu, jawaban aku tetap sama, aku ga mau menikah dengan dia."
Dirga mengerutkan keningnya. Ingin bertanya lebih lanjut tetapi ia urungkan. Seperti waktunya belum tepat - itu yang dirasakannya.
"Di mana?"
"Tanamera, Kemang."
"Sayaaang, please..." Dirga mencoba lagi peruntungannya agar Andien mengurungkan niatnya menemui laki-laki itu.
"Kak, percaya sama aku ya... Ga ada apa-apa antara aku dan dia."
Dirga menghembuskan napasnya, menyerah, tak ingin berdebat yang malah akan membawa mereka ke keadaan yang lebih menyebalkan lagi.
Kesal, tetapi ia tau Andien tak akan mengikuti kemauannya.
Andien menyentuh kedua pipi Dirga, menariknya mendekati wajahnya, kemudian mengecup lembut bibirnya beberapa saat. Sesaat, kegelisahan Dirga seperti menguap begitu saja.
"I love you..." lirih Dirga sesaat setelah Andien mengusaikan kecupannya.
"I love you too!"
Dirga ternganga.
"Kamu bilang apa barusan?"
"Bilang apa?"
"Coba bilang lagi?"
"Bilang apa? Udah sana pulang. Nanti kemalaman sampe unit."
"Bilang dulu..."
"Ga ada siaran ulang!"
"Sayang ih, tega banget! Udahlah janjian sama cowo lain, bilang cinta sama aku aja ga mau!"
"Ga cocok Kak merajuk gitu."
"Ya udah aku pulang!" Ketus Dirga seraya beranjak berdiri dari kursi taman yang mereka berdua duduki. Sementara Andien menahan tawanya.
Andien menahan Dirga dengan menggenggam tangannya dan ikut berdiri.
"I love you too. Dulu pun begitu. Sayangnya kita berdua sama-sama ga tau isi hati masing-masing."
Dirga membeku mendengar pernyataan Andien.
"Kita ga akan kehabisan tema ngobrol saat berdua, Kak. Terlalu banyak cerita yang bisa kita bagi. Iya kan?"
"Aku ga usah pulang ya?"
Andien tertawa renyah.
"Udah ah, pulang sana. Kayak yang ga bakalan ketemu lagi aja!" ujar Andien seraya mendorong pria itu menuju arah mobilnya.
Dirga terpaksa menuruti keinginan Andien agar dirinya segera beranjak dari rumah sederhana itu. Walaupun kaki dan hatinya terlalu berat untuk pergi. Mendadak isi kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan tanpa kunci jawaban.
Dirga masuk ke dalam mobil. Menyalakan mobilnya dan membuka kaca jendela. Andien mendekat, menunduk, mensejajarkan kedua netra mereka seraya bertumpu pada kedua sikunya yang tersandar di bingkai jendela.
"Kamu cemburu?"
"Iyalah!"
Andien tersenyum lebar, sementara Dirga mendengus kesal.
"Hati-hati ya, Kak. Cemburunya dipending dulu, nanti kalau sudah di unit baru dilanjut lagi"
"Hmmm!" Pria itu bergumam malas.
'Bener-bener ini cewe, ga ada usaha baik-baikin gue!' batinnya.
'I love you' ucap Andien tanpa suara, lalu menjauhkan tubuhnya dari kendaraan roda empat itu - sambil terkekeh melihat sang pengemudi yang bibirnya berkedut menahan senyum.
***
Sejak sampai di unit apartemennya Dirga terus tak tenang memikirkan pertemuan yang akan datang antara Andien dan mantan kekasihnya di masa SMA. Bahkan pagi ini ia tergesa-gesa karena tak sengaja ketiduran di atas sajadah seusai ibadah subuhnya tadi - akibat dari matanya yang enggan terpejam semalaman.
Sampai di kantornya, jam sudah menunjukkan pukul 07.59 wib. Borne - sekretaris sekaligus salah satu sahabat Dirga sudah duduk di kursi meja kerjanya sambil membereskan bekas sarapan paginya.
"Nyarap apa lo?" tanya Dirga.
"Pagi Bos! Ngapa muka lo? Makin ngenes aje!" kening Borne berkerut melihat sahabatnya yang lesu dengan lingkaran hitam di matanya.
"Comment aja lo! Masuk ke ruangan gue!"
Borne beranjak, melangkah masuk ke ruangan Dirga sambil membawa tablet yang berisi jadwal kerja sahabatnya itu sehari penuh. Dirga duduk di kursi kerjanya, tangan kiri menyalakan pc dan laptop, tangan kanan menyuapkan roti lapis isi tuna - yang karena ketidakfokusannya sebagian dari isian tuna itu keluar dari tumpukan roti ke atas meja kerja. Lalu seperti biasa, isian yang jatuh ia punguti kemudian dimakannya lagi. Kelakuan Dirga itu tak luput dari perhatian Borne sahabatnya.
"Jorok lu kagak ilang-ilang!" omel Borne.
"Ga sengaja, bro!"
"Makan dulu makanya baru kerja. Macam karyawan aja lo! Bos mah harusnya bebas!"
Dirga menurut, menandaskan roti lapis itu sambil mendengarkan jadwal yang dibacakan Borne.
"Bro... Padetin jadwal gue. Hari Rabu gue cabut jam makan siang."
"Mau ngapain?"
"Ngintilin cewek gue!"
"Emang lo punya cewek?"
"Eh kampret, lo pikir gue ga laku?"
"Gue pikir lo belok malah?" kelakar Borne seraya terkekeh.
"Sial! Masih lempeng gue. Asem lo!"
"Ya jarang-jarang kan ada duda tahan main solo lima tahun lebih!"
"Setan!" maki Dirga. Yang dimaki malah tertawa terbahak-bahak.
"Beneran lo punya cewek?"
Dirga mengangguk. "Asli Ne, gue musti ngintilin dia jam makan siang Rabu besok."
Dirga menyesap kopi pahitnya. Pikirannya kembali kalut.
"Dia sempet dilamar, hari Rabu itu dia janjian sama tuh orang buat jawab lamarannya. Ketar ketir gue!"
"Lah udah dilamar kok bisa jadi cewe klo?"
"Baru lamaran personal kali. Ga ngerti lah! Males juga bahasnya."
"Siapa cewe lo?"
"First love gue."
"Andien? Wah! Akhirnya ketemu?"
"Ketemu saat ga dicari. Tuhan ga mungkin bercanda kan, bro?" Dirga mengusap wajahnya, gusar.
"Makan siang kita omongin lagi. Gue mesti cek materi meeting. Lima belas menit lagi kita meeting." lanjut Dirga.
"Aye Capt!"
Pagi hingga siang hari itu Dirga disibukkan dengan internal meeting dan pertemuan dengan client. Kesibukan yang cukup untuk mengalihkannya dari pikiran-pikiran negatif antara Andien dan sang mantan.
Saat waktu memasuki jam istirahat siang, Dirga mengecek ponselnya. Mencari notifikasi pesan dari sang kekasih hati.
'Nah ini dia', bibirnya otomatis melengkungkan senyum saat mendapati apa yang dicarinya.
[Baby]
Aku lagi di kedai. Kapan-kapan ke sini ya. Soto padangnya juara lho.Pesan itu terkirim sekitar lima belas menit yang lalu.
[Me]
Sure.Pengen nyandar di pundak kamu...[Baby]
Kenapa?Sakit?Cape?[Me]
Kangen![Baby]
Udah makan siang?Makan dulu gih.Baru lanjutin lagi kangennya.[Me]
Lah bisa gitu.Emang sinetron pake lanjutan.[Baby]
😂[Me]
😔[Baby]
Serius, makan dulu. Biar aku ga kwatir.[Me]
😘 Iya, sebentar lagi aku mau makan.Kamu ga kangen aku?[Baby]
Kangenlah.Kalau deket udah aku gojekin ini soto. Pake surat pengantar yang isinya 'selamat makan siang pacarnya aku ❤️'[Me]
Gemas! 😍[Baby]
Gih sana makan. Di sini juga lagi rame. Aku mau bantu anak-anak dulu.[Me]
Ok. Kamu juga jangan lupa makan siang ya sayang.[Baby]
Iya. Met makan sayang.[Me]
Love you 😘[Baby]
Love you too 🤗Dirga mematikan layar ponselnya bertepatan dengan kepala Borne yang menyembul di antara pintu ruangan Dirga.
"Jadi mau makan di cafe depan?"
"Jadilah."
"Ayolah buruan. Ngapain aja sih lo dari tadi? Gue tungguin ga keluar-keluar ruangan."
"Sori-sori. Yuk lah!"
Seraya menikmati makan siang mereka, Borne mengorek habis kisah pertemuan kembali sahabatnya itu dengan sang cinta pertama.
"Berarti Ian berjasa banget tuh, bro. Kalian ga cerita sama gue."
"Karena ga yakin juga beneran ketemu lagi. Apalagi ternyata dia tau gue, mana kepikiran sampai sana gue bro... Kata Ian, ga ada makan siang gratis! Gue dipalakin design rumah buat bayarannya! Mau renov rumah dia. Kamarnya kurang buat bayi katanya."
"Hahaha. Jalan bener tuh otaknya si Ian."
"Yoi!"
"Tapi bro, lo udah cerita tentang kondisi lo ke Andien?"
"Belum."
"Kenapa?" tanya Borne lagi.
"Emang perlu ya? Calon anak gue udah tiga juga."
"Perlu lah. Lo serius kan sama dia? Dia perlu tau keadaan lo, bro. Termasuk kenapa lo pisah sama mantan lo."
"Tapi dia ga nanya."
"Ga nanya bukan berarti dia ga perlu tau, Ga!"
"Gitu ya?"
"Perempuan itu makhluk yang penuh dengan asumsi. Selogis apapun karakternya. Jadi dia perlu tau keadaan lo. Belum lagi soal Vio, mantan lo itu ngeri kelakuannya! Asli Ga, lo musti jelasin ke Andien. Dunia ini sempit, kemungkinan mereka ketemu bisa aja terjadi. Kalau masih bisa menghindari kesalahpahaman, sebaiknya hindari. Jelasin sedari awal. Cewek kalau udah salah paham - duh bro, ngalah-ngalahin pas PMS! Horor!"
Dirga mengangguk lemah, memikirkan ucapan Borne.
'Apa Andien bisa nerima keadaan gue?'
Akhirnya hari ini tiba juga. Hari yang membuat Dirga semakin gelisah. Bukan berarti Dirga tidak percaya dengan Andien, tetapi mengingat hubungan kasih mereka yang benar-benar masih sangat singkat, ditambah Dirga tidak bisa menerka sejauh mana sepak terjang saingannya itu, semakin membuat pria itu bangun dari tidurnya dalam keadaan moodyang terjun bebas.Selesai melakukan ibadah subuhnya, pria itu lantas menyiapkan diri agar bisa datang lebih pagi ke kantornya. Seraya memakai pakaian kerjanya, Dirga men-dial nomor Andien, mengubah panggilannya ke speaker mode.'tuuut''tuuut'"Pagi sayang!"
Andien masihshockdengan kelakuan kekasihnya itu. Matanya mengikuti langkah Dirga, tetapi mulutnya belum juga menutup sempurna, ternganga karena kecupan kecil yang bahkan sering Dirga berikan padanya saat kebersamaan mereka.'Astagaaa, sengaja banget sih kayak gitu!'"Ehem!" suara Arga mengganggu lamunan Andien.Andien mengalihkan tatapannya ke manik pekat milik Arga, masih terlihat jelas amarah di sana, ditambah rahang yang kaku seperti sedang menahan berbagai umpatan. Sementara Andien sendiri bersusah payah menunjukkan ekspresin datar.Saat yang sama Arga akan bersuara lagi, pelayan datang membawa pesanan mereka. Sete
Usai Agra meninggalkannya, Andien beranjak menuju meja yang ditempati Dirga dan Ian. Andien mengatupkan bibirnya agar tak terkekeh melihat pemandangan di depannya. Kedua pria itu menatapnya dengan tangan Ian yang masih menggenggam erat pergelangan tangan Dirga."Segitu naksirnya lo sama cowok gue?" ledek Andien pada Ian sambil menunjuk genggaman tangan Ian dengan dagunya.Kedua pria itu langsung memandang ke arah pandang Andien."Najis!""Najis!"Ucap keduanya bersamaan.'Hahahaha!'Andien terbahak melihat ekspresi keduanya, pun beberapa orang pelanggan seperti mereka yang sedang menikmati sajian."Tuh laki lo! Kalo ga dipegangin udah baku hantam sama mantan lo! Heran! PMS lo ya? Emosian banget!" omel Ian."PMS pala lo! Kan ada elo pengacara gue. Tinggal lo urus!" balas Dirga."Eh kampret! Lo pikir itu orang ga akan kenapa-kenapa dipukulin sabuk hitam kayak elo? Bagus kalo cuma lecet, kalo modar?""Lo pikir
Dirga melajukan mobilnya keluar daricafeyang sudah menjadi favoritnya itu sejak beberapa tahun yang lalu. Belum jauh beranjak, langit menumpahkan buliran hujan dengan derasnya, bahkan sang angin pun seperti memberi peringatan jika ia akan bertiup lebih kencang di siang menjelang sore itu. Dirga melirik kekasihnya yang masih tertidur pulas, menimbang-nimbang apa yang ada di pikirannya, dan akhirnya memutuskan untuk membawa Andien ke unitnya saja.Sesampainya di parkiran apartemen, Dirga mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan singkat lalu mengetik pesan untuk sang penerima di sana yang sangat ia sayangi.[Me]El, lagi apa nak?[Eldra]Main game Om.[Me]Main sama Anne dan Cantika juga dong El.[Eldra]Udah tadi. Sekarang anne sama cantika masih bobo.El baru di bolehin ummah main ha
"Lipsticksiapa ini? KAMU NGAPAIN?" bentak seorang perempuan yang menerobos masuk unit Dirga sore itu. Tak jauh dari mereka, di sana, Andien berdiri, menatap nanar kedua orang dihadapannya sambil menahan rasa panas di kedua netranya. Dirga yang sempat terkejut mengalihkan pandangannya pada Andien, perempuan itu pun mengikuti arah pandang Dirga. Saat kedua pasang netra kedua perempuan itu bertemu, tamu tak diundang itu berjalan cepat mendekati Andien seraya menahan amarah. "BRENGSEK!!!" maki perempuan itu. "PELACUR SIAL--- !!!" *PLAK!* Entah sejak kapan Dirga sudah berada di antara keduanya, hingga bukan pipi mulus Andien yang terkena tamparan, tetapi justru pipi berhiaskanfive o'clock shadowmilik Dirga yang terkena panasnya benturan telapak tangan perempuan itu. Dirga meringis, tangannya mengusap darah yang keluar dari sudur bibirnya, sepertinya karena goresan dengan salah satu cincin yang tersemat h
Kini mereka berempat duduk di ruangan dengan dua buah sofa panjang yang saling berhadapan. Debby sudah menyiapkan hidangan di hadapan mereka masing-masing. Rice boxlengkap dengan sapiszechuan, ditambah caisim cah bawang putih dan kepiting lemburi lada garam. Satu-satunya orang yang makan dengan lahap di ruangan itu adalah Borne, pria itu benar-benar tidak terganggu dengan ketegangan yang terjadi tadi. Debby sibuk memperhatikan pasangan di depannya yang tidak menyentuh makanan mereka sama sekali, sambil sesekali menambahkan lauk pauk ke dalamboxsuaminya.
"Sayang..." panggil Dirga dengan suara paraunya yang terdengar begitu memelas di telinga Andien. Andien menghentikan kegiatan menata isi tasnya, menghela nafas sesaat sebelum menegakkan tubuh dan berputar agar berdiri berhadapan dengan pria yang sudah membuatnya kembali mencinta. Tak tega melihat raut kesedihan dan serba salah di wajah Dirga, Andien melangkah mendekat untuk memeluk pria itu. Dirga pun membalas pelukan Andien dengan rengkuhan yang lebih erat. Andien menepuk lembut punggung Dirga seraya menghindu aroma khas tubuh yang bercampur dengan notes woody dari
Andien tertawa mendengar celotehan Dirga. Hidup ini begitu lucu, mereka bahkan tidak bertemu bertahun-tahun. Tidak pula saling mengetahui keberadaan satu sama lain. Pun saat keduanya masih kanak-kanak ataupun remaja, mereka hanya menjadi pengagum jarak jauh bagi satu sama lain. Dan sekarang, bagaimana bisa dalam lima hari kebersamaan Dirga sudah ingin memasangkan cicin sederhana itu ke jari manis Andien? Katakanlah Dirga lebih mengenal Andien karena memang pria itu selalu mencari-cari informasi tentang Andien dari orang-orang sekitarnya, bahkan tak segan mencari akal agar bisa mengamati perempuan itu sedekat mungkin. Tapi Andien? Andien benar-benar tidak mengenal sosok Dirga. Wajahnya saja Andien tak mampu mengingatnya. Satu-satunya fakta yang Andien tau, pria itu hanya mengirimkan salam untuknya sekali
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo – adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
“Kak...” sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya – hendak memasangkan dasi untuk sang suami. “Ada meeting ya hari ini?” “Iya. Mau ada tender lagi, sayang.”
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect