Dirga sampai di rumah orang tuanya sekitar pukul satu dini hari. Setelah membersihkan diri, ia beranjak ke pantry untuk minum segelas air hangat yang sudah menjadi ritualnya setiap malam sebelum beranjak tidur.
Sambil menikmati air hangat meluncur melewati tenggorokannya, ia mengetik pesan singkat untuk kekasih hatinya.
[Me]
Aku udah di Bandung.Sleep tight sayang.Setelah mengirimkan pesan singkat itu, Dirga menatap foto dirinya dan Andien yang tadi sempat ia ambil. Kedua sudut bibirnya naik kala menyadari pertemuannya tadi dengan sang cinta pertama bukanlah sebatas mimpi.
"Pacar kamu, nak?"
"Astaghfirullah! Mama! Bikin kaget aja."
Dirga lantas refleks mematikan layar ponselnya.
"Kok dimatiin? Mama gak boleh lihat?"
"Sini Ma, duduk dulu. Aku bikinin teh hangat ya?"
"Air putih hangat aja, nak."
Dirga berdiri, beranjak, mengambil segelas air hangat untuk Mama tercintanya - Anggita, lalu kembali ke meja makan dan duduk di samping sang Ibu.
"Pulang jam berapa, nak?"
"Jam satuan tadi Ma... Ngantar Kak Nisa dulu."
Jeda, Dirga diam, menunggu sang Mama menyesap air hangat yang tadi disuguhkannya.
"Ma, Dirga boleh tanya?"
Anggita melirik puteranya seraya menganggukkan kepala.
"Dulu, rencana Mama minta Andien buat Bang Irgi atau aku?"
Wanita paruh baya itu menatap lekat sang putera, takut jika kejadian bertahun-tahun lalu terjadi kembali karena pembahasan satu nama, Andien.
"Dirga udah ga apa-apa, Ma..." ucap Dirga seolah mengerti kekhawatiran sang Mama.
"Kamu, nak." jawab Anggita singkat.
"Mama minta maaf ya, nak." lanjutnya lagi.
"Mama gak salah... Ga mungkin juga kan Mama minta Andien saat aku dan Andien aja masih sekolah. Lagian salah Dirga juga, Dirga gak pernah cerita." jawab Dirga.
"Kamu yang paling tertutup dari keempat anak Mama. Tapi biar bagaimanapun hati seorang Ibu pasti tahu keadaan anaknya. Mama juga salah, saat itu Mama sadar ada yang sedang kamu cari, kamu perjuangkan mungkin lebih tepatnya. Tapi Mama justru menunggu kamu terbuka, padahal Mama tau sifat kamu yang seperti buku tertutup. Harusnya Mama bertanya kan?
"Mama cuma berharap seiring bertambah umurmu, hati Dirga juga bisa lebih terbuka lagi. Jangan sedih lagi ya, nak. Mama minta maaf."
Sepasang netra tua itu kembali mengalirkan tetesan beningnya.
Dirga terenyuh, memeluk sang Mama sambil mengusap lembut punggungnya.
"Ga pernah sekalipun Dirga menyalahkan Mama. Kalaupun ada yang harus disalahkan, diri Dirga sendiri yang salah. Tapi kalau Dirga pikir lagi, memang Allah yang bikin skenario ini, Ma...
"Seandainya Dirga dulu ngungkapin perasaan Dirga, lantas ujung-ujungnya kami terpisah jarak, Dirga ga yakin kami bisa jalanin hubungan itu.
"Seandainya dulu kami putus, Dirga ga yakin sanggup untuk memperbaiki hubungan kami lagi jika kesempatan kembali datang.
"Atau mungkin Dirga akan lebih terluka ketika Andien berjodoh bukan dengan Dirga.
"Jadi Mama jangan nyalahin diri Mama ya."
Dirga melepaskan pelukannya. Memberi jeda sesaat. Mengusap air mata yang sempat mengalir di wajah Anggita.
"Tadi, Dirga ketemu Andien, Ma..."
Netra tua itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
"Kamu ga apa-apa, nak?"
"I'm ok, Ma." Dirga tertawa renyah.
"Kebetulan ketemu?"
"Mmm, tiga bulan lalu Ian ngabarin aku kalau dia ketemu sama Andien, Ma. Sepupu Ian nikah sama anak sepupunya Andien. Mereka ketemu pas lamaran. Ian sempet ngobrol banyak sama Andien di acara itu. Setelah acara itu Ian ngubungin Dirga. Ian yang cerita kalau Andien sekarang single mother. Akhirnya Dirga minta satu undangan sama Ian, biar Dirga bisa ketemu sama Andien. Dan ternyata, orang tua mempelai wanita itu teman kuliahnya Bang Ari, Dirga juga baru tau pas tadi pagi ke rumah Kak Nisa karena lihat undangan yang sama ada di sana. Berhubung Bang Ari hari ini ada operasi cito, akhirnya Kak Nisa yang datang bareng sama Dirga. Di resepsi itulah Dirga ketemu lagi sama Andien."
"Lantas bagaimana kabar Andien?"
Dirga mengangguk "Kayak yang tadi Dirga bilang, Ma... She's single mother. With three kids. Bahkan anaknya masih kecil-kecil. Yang paling kecil baru dua tahun"
"Ya Allah. karena apa?"
"Her husband passed away, Ma."
Sang mama terdiam, masih menatap lekat manik kelam sang putera. Tangannya menggenggam kedua tangan Dirga.
"Sekarang Dirga mau mencoba?" tanya sang mama.
"Mau, Ma... Mama restuin ga?"
"Kamu bisa menerima keadaannya? Apalagi dengan tiga anak yang harus kamu cintai juga."
"Mama ingat kan kondisi Dirga? Adanya anak-anak itu justru seperti hadiah tambahan dari Allah, Ma..."
"Kalau Mama, apapun yang bisa bikin anak Mama bahagia pasti Mama dukung. Apalagi sejak perceraianmu lima tahun lalu, ga sekalipun Mama pernah mendengar kamu bersama seseorang. Jujur, Mama khawatir Dirga. Jadi, jika memang Andien yang kamu inginkan, berusahalah, Mama tak akan menghalangi. Semoga Allah mudahkan ya, nak."
Dirga kembali memeluk hangat Ibunya, berterima kasih tanpa kata atas semua dukungan yang telah diberikan perempuan itu padanya. Lima tahun Dirga memilih sendiri, Anggita tak pernah sekalipun mengusiknya. Bahkan kala kerabat dan orang lain menanyakan status dudanya, Anggita tetap menghargai keputusan sang putera yang masih memilih sendiri. Anggita tahu, ada cerita di balik perceraian Dirga yang meninggalkan trauma bagi anak ketiganya itu, dan hanya waktu serta ijin dari sang Pencipta yang mampu membuka hati Dirga kembali.
***
"Assalammu'alaikum... El sendiri, nak?" sapa Dirga hangat begitu ia berada tepat di depan pintu rumah Andien yang terbuka.
Eldra, putera pertama Andien, yang sedang asik memainkan stik PSnya langsung menoleh kala mendengar suara Dirga.
"Om Dirga!" serunya sambil meletakkan stik PS itu di sofa tempatnya duduk dan beranjak ke arah Dirga untuk menyalam tangan pria itu.
"Salam Om belum dijawab lho."
"W*'alaikumsalam."
"Om boleh masuk?"
"Iya boleh, Om."
"Kok sepi El? Mama mana?" tanya Dirga saat menelisik kondisi rumah dan mendapati hanya El yang ada di sana.
"Beli roti sama Nutella. Tadi Anne nangis rotinya habis." jawab El polos.
"Oh!"
Dirga duduk di sofa tepat di samping El, mengamati permainan yang dilajutkan oleh putera sulung kekasihnya itu. Hingga akhirnya obrolan keduanya berlangsung seraya bermain bersama. Beberapa saat kemudian, terdengar suara motor yang masuk ke garasi rumah itu.
Dirga menghentikan permainan PSnya dan beranjak menuju pintu utama. Melihat kedua puteri kecil Andien membuatnya merendahkan diri - menumpukan tubuhnya diatas lutut. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk lengkung sempurna.
"Assalammu'alaikum Anne, Cantika."
"W*'alaikumsalam." yang menjawab justru Andien dan Sanah.
Cantika lantas berlari kecil menghambur ke pelukan Dirga, merengkuh erat pria itu dengan tangan kecilnya.
"Papa!" ucapnya.
Dirga terkekeh seraya mengusap kepala bocah kecil itu.
Anne pun mendekat pada Dirga, mengulurkan tangan untuk menyalamnya.
"Dari mana sayang?" tanya Dirga pada gadis kecil dengan netra hazel dan rambut berombak itu. Wajahnya mengingatkan Dirga pada sosok Andien kecil yang sangat ia kagumi.
"Beli roti, Om."
"Oti... Tokat!" celoteh Cantika.
"Om juga bawa pizza lho, tuh sama abang El."
Cantika yang mendengar kata pizza langsung melepaskan diri dari Dirga, menghambur ke dalam rumah mencari object yang menarik untuk dicicipnya atau bahkan di acak-acaknya.
"Anne suka pizza?" tanya Dirga lagi.
Gadis kecil itu mengangguk, "Suka, Om."
"Yuk, kita makan sama-sama." ajaknya seraya menggandeng tangan Anne untuk masuk ke dalam rumah.
Di sisi lain yang tidak jauh dari keduanya, Andien tersenyum melihat kedekatan Dirga dengan puteri-puterinya. Jelas, pria itu benar-benar berusaha.
Andien melangkah menuju dapur, meletakkan belanjaanya, membuat secangkir teh dan kopi susu hangat, lalu membawanya ke pusat keriuhan.
Dirga yang melihat Andien mendekat tidak bisa menutupi senyum di wajahnya.
"Ih, aku gak disapa!" canda Andien begitu mendekatkan diri ke Dirga seraya meletakkan suguhannya di atas coffee table di hadapan mereka.
Dirga mendekati telinga Andien "Hai sayang!" bisiknya, lalu mengecup daun telinga dan puncak kepala Andien. menerbitkan senyum termanis di wajah sang kekasih.
'Manis banget sih.' batin Andien.
"Diminum Kak..."
Dirga mengangguk, lalu menyesap kopi susu di hadapannya.
"Udah lama?" tanya Andien pada Dirga.
"Setengah jam deh. Main PS tadi sama El sambil nunggu kalian."
"Iya tadi Anne nangis, rotinya habis. Habis diacak-acak Cantika!"
Dirga tertawa renyah membayangkan kejadian itu.
"Papa, aaaaaaa..." lagi-lagi, bocah mungil itu menyodorkan makanan ke mulut Dirga. Dan tentunya dengan senang hati disambut pria itu.
"Enaaak!" ucap Dirga sumringah.
"Enyaaak!" celoteh bocah kecil itu yang dihadiahi kecupan kecil di puncak kepalanya oleh Dirga.
Andien mengelus kepala Cantika yang kini duduk tenang menikmati potongan pizzanya di pangkuan Dirga.
"Maaf ya, masih dipanggil Papa tuh sama Cantika."
"Kok minta maaf? Hitung-hitung latihan kok."
"Latihan apa?"
"Latihan jadi Papanya anak-anak lah."
Andien terkesiap. Diam tak membalas.
Menyadari kediaman Andien, Dirga menatapnya lekat seraya tersenyum penuh arti.
"Ga usah dijadiin beban."
"Beban apa coba? Kan emang bener suatu saat kamu bakalan jadi Papa."
"Nah gitu dong!"
"Apaan sih, Kak?"
"Kan emang bakalan jadi papanya El, Anne dan Cantika."
Andien terdiam lagi.
"Someday, sayang. Saat kamu siap membuka hati kamu buat aku." ucap Dirga lembut namun ada ketegasan di dalam suaranya, seolah mengisyaratkan jika ia tak main-main dengan hubungan yang sedang mereka jalani saat ini.
Andien masih diam. Terpaku. Dan terenyuh di saat bersamaan. Merasa tersentuh dengan perlakuan Dirga saat berinteraksi dengan ketiga malaikatnya. Tak ada sedikitpun gurat keterpaksaan. Bahkan ketiga anaknya terlihat begitu nyaman berinteraksi dan bersenda gurau dengan kekasihnya itu.
'Ya Allah, masih bolehkah aku berharap?' batin Andien.
Hari beranjak gelap. Dirga mencoba mengajak Andien untuk bicara berdua"Bisa kita bicara berdua?""Iya, bisa Kak. Tunggu ya, aku bawa anak-anak ke kamar dulu."Andien membawa ketiga malaikat kecil itu ke kamar ditemani Sanah untuk menyiapkan keperluan sekolah mereka esok hari, dan bermain santai sambil menunggu kantuk datang."Kita ngobrol di bangku taman aja kak?""Oke."Mereka duduk bersisian. Dirga menggenggam tangan Andien, lalu mengecup punggung tangan itu. Mereka lalu saling menatap dalam diam."Aku kangen lho!" ucap Dirga seraya memberi sentuhan lembut di pipi Andien."Hmmm..."Dirga mengecup bibir Andien sesaat."Udah selesai janji sama Papa kamu?""Iya udah.Soon to bePapa kamu juga."Andien terkekeh, sementara Dirga sibuk mengusap lembut surai Andien, mengunci wajah cantik itu dalam netra dan ingatannya."Setiap minggu kami giliran nemenin Papa berkuda. Bang Irgi,
Akhirnya hari ini tiba juga. Hari yang membuat Dirga semakin gelisah. Bukan berarti Dirga tidak percaya dengan Andien, tetapi mengingat hubungan kasih mereka yang benar-benar masih sangat singkat, ditambah Dirga tidak bisa menerka sejauh mana sepak terjang saingannya itu, semakin membuat pria itu bangun dari tidurnya dalam keadaan moodyang terjun bebas.Selesai melakukan ibadah subuhnya, pria itu lantas menyiapkan diri agar bisa datang lebih pagi ke kantornya. Seraya memakai pakaian kerjanya, Dirga men-dial nomor Andien, mengubah panggilannya ke speaker mode.'tuuut''tuuut'"Pagi sayang!"
Andien masihshockdengan kelakuan kekasihnya itu. Matanya mengikuti langkah Dirga, tetapi mulutnya belum juga menutup sempurna, ternganga karena kecupan kecil yang bahkan sering Dirga berikan padanya saat kebersamaan mereka.'Astagaaa, sengaja banget sih kayak gitu!'"Ehem!" suara Arga mengganggu lamunan Andien.Andien mengalihkan tatapannya ke manik pekat milik Arga, masih terlihat jelas amarah di sana, ditambah rahang yang kaku seperti sedang menahan berbagai umpatan. Sementara Andien sendiri bersusah payah menunjukkan ekspresin datar.Saat yang sama Arga akan bersuara lagi, pelayan datang membawa pesanan mereka. Sete
Usai Agra meninggalkannya, Andien beranjak menuju meja yang ditempati Dirga dan Ian. Andien mengatupkan bibirnya agar tak terkekeh melihat pemandangan di depannya. Kedua pria itu menatapnya dengan tangan Ian yang masih menggenggam erat pergelangan tangan Dirga."Segitu naksirnya lo sama cowok gue?" ledek Andien pada Ian sambil menunjuk genggaman tangan Ian dengan dagunya.Kedua pria itu langsung memandang ke arah pandang Andien."Najis!""Najis!"Ucap keduanya bersamaan.'Hahahaha!'Andien terbahak melihat ekspresi keduanya, pun beberapa orang pelanggan seperti mereka yang sedang menikmati sajian."Tuh laki lo! Kalo ga dipegangin udah baku hantam sama mantan lo! Heran! PMS lo ya? Emosian banget!" omel Ian."PMS pala lo! Kan ada elo pengacara gue. Tinggal lo urus!" balas Dirga."Eh kampret! Lo pikir itu orang ga akan kenapa-kenapa dipukulin sabuk hitam kayak elo? Bagus kalo cuma lecet, kalo modar?""Lo pikir
Dirga melajukan mobilnya keluar daricafeyang sudah menjadi favoritnya itu sejak beberapa tahun yang lalu. Belum jauh beranjak, langit menumpahkan buliran hujan dengan derasnya, bahkan sang angin pun seperti memberi peringatan jika ia akan bertiup lebih kencang di siang menjelang sore itu. Dirga melirik kekasihnya yang masih tertidur pulas, menimbang-nimbang apa yang ada di pikirannya, dan akhirnya memutuskan untuk membawa Andien ke unitnya saja.Sesampainya di parkiran apartemen, Dirga mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan singkat lalu mengetik pesan untuk sang penerima di sana yang sangat ia sayangi.[Me]El, lagi apa nak?[Eldra]Main game Om.[Me]Main sama Anne dan Cantika juga dong El.[Eldra]Udah tadi. Sekarang anne sama cantika masih bobo.El baru di bolehin ummah main ha
"Lipsticksiapa ini? KAMU NGAPAIN?" bentak seorang perempuan yang menerobos masuk unit Dirga sore itu. Tak jauh dari mereka, di sana, Andien berdiri, menatap nanar kedua orang dihadapannya sambil menahan rasa panas di kedua netranya. Dirga yang sempat terkejut mengalihkan pandangannya pada Andien, perempuan itu pun mengikuti arah pandang Dirga. Saat kedua pasang netra kedua perempuan itu bertemu, tamu tak diundang itu berjalan cepat mendekati Andien seraya menahan amarah. "BRENGSEK!!!" maki perempuan itu. "PELACUR SIAL--- !!!" *PLAK!* Entah sejak kapan Dirga sudah berada di antara keduanya, hingga bukan pipi mulus Andien yang terkena tamparan, tetapi justru pipi berhiaskanfive o'clock shadowmilik Dirga yang terkena panasnya benturan telapak tangan perempuan itu. Dirga meringis, tangannya mengusap darah yang keluar dari sudur bibirnya, sepertinya karena goresan dengan salah satu cincin yang tersemat h
Kini mereka berempat duduk di ruangan dengan dua buah sofa panjang yang saling berhadapan. Debby sudah menyiapkan hidangan di hadapan mereka masing-masing. Rice boxlengkap dengan sapiszechuan, ditambah caisim cah bawang putih dan kepiting lemburi lada garam. Satu-satunya orang yang makan dengan lahap di ruangan itu adalah Borne, pria itu benar-benar tidak terganggu dengan ketegangan yang terjadi tadi. Debby sibuk memperhatikan pasangan di depannya yang tidak menyentuh makanan mereka sama sekali, sambil sesekali menambahkan lauk pauk ke dalamboxsuaminya.
"Sayang..." panggil Dirga dengan suara paraunya yang terdengar begitu memelas di telinga Andien. Andien menghentikan kegiatan menata isi tasnya, menghela nafas sesaat sebelum menegakkan tubuh dan berputar agar berdiri berhadapan dengan pria yang sudah membuatnya kembali mencinta. Tak tega melihat raut kesedihan dan serba salah di wajah Dirga, Andien melangkah mendekat untuk memeluk pria itu. Dirga pun membalas pelukan Andien dengan rengkuhan yang lebih erat. Andien menepuk lembut punggung Dirga seraya menghindu aroma khas tubuh yang bercampur dengan notes woody dari
Setelah memporak-porandakan ruang keluarga, Andien dan Dirga melanjutkan ronde kedua percintaan mereka di master bedroom rumah itu. Berbeda dengan ruangan lantai dasar yang di desain polos dengan gradasi warna cream ke putih di setiap dindingnya, lantai dua yang berisikan kamar-kamar para anggota keluarga dan sebuah ruang serbaguna, dinding-dindingnya berlukiskan hasil karya Edo ā adik ipar Dirga. Wall mural yang kini menjadi salah satu order terbesar di perusahaan desain milik Dirga dan kawan-kawan memang membuat level hunian menjadi lebih nyaman dan terkesan mewah. Kamar Andien dan Dirga didominasi furniture yang terbuat dari kayu berwarna putih tulang, sementara untuk pernak pernik dan ornamen-ornamen pemanis - warna yang dipilih Dirga adalah warna-warna pastel sep
Tahun keenam pernikahan Dirga dan Andien.Dirga memeluk sang istri dari belakang, menempelkan bibirnya di daun telinga Andien.“Sudah siap?”Andien terkekeh geli.“Norak tau, Kak!”
“Sayang...” panggil Dirga saat Andien sedang merapihkan pakaian mereka ke dalam walk in closet.“Apa?”“Sini sebentar.”Andien menghentikan kegiatannya, lalu bergabung bersama Dirga di atas ranjang mereka.“Ada apa?”
Seperti biasa, Andien terbangun dari tidurnya di jam yang sama setiap malam. Yang berbeda, malam itu Dirga tak ada di sisinya, juga tak nampak di seantero kamar mereka. Andien beranjak dari ranjang, melangkah perlahan mendekati pintu penghubung kamar itu dengan ruang kerja Dirga, pendar cahaya masih nampak menembus celah antara pintu dengan lantai kayu rumah mereka.“Sayang?” tegur Andien saat mendapati suaminya yang duduk termenung seraya menyapukan ibu jari di pinggiran mug.“Hey, baby...”“Kok ga tidur?”
Dirga sekeluarga menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia ketika Summer Break. Jadwal pulang Dirga yang sebelum menikah mengikuti kalender islam – yaitu saat puasa Ramadhan, kini bergeser mengikuti libur anak-anaknya yang masih berstatus pelajar.Saat ini mereka sedang menghadiri acara pertunangan sepupu Dirga di salah satu ballroom hotel berbintang di Jakarta. Dirga yang memiliki prinsip untuk membopong semua anak-anaknya ke setiap acara keluarga sontak menjadi perhatian utama kerabat-kerabatnya selain pasangan calon mempelai.
āKak...ā sapa Andien seraya melangkah masuk ke kamar mereka. Andien mengambil pijakan kaki dari bawah meja riasnya, mendekat pada Dirga sebelum akhirnya meletakkan benda itu dan naik ke atasnya ā hendak memasangkan dasi untuk sang suami. āAda meeting ya hari ini?ā āIya. Mau ada tender lagi, sayang.ā
“Mr. Harold?”Dirga tak menyangka dengan kehadiran seorang pria di balik pintu rumahnya. Pria itu membawa sebuah paper bag dengan nama toko mainan tempatnya bekerja.“Mr. Pranata.”“Ada yang bisa saya bantu?”
"Sayang, something happened with Anne."Dirga dan Ken baru saja turun dari deep black pearl Volkswagen Golf milik Dirga, bahkan handle pintu mobil itu masih digenggamannya. Dirga menutup pintu mobil, merangkul Andien, melabuhkan ciuman hangat di kening dan bibir isterinya."I'm home, sayang."
Andien turun dari mobilnya ingin bertandang sejenak ke sebuah toko yang menjual berbagai jenis rempah Asia. Ia baru saja mengantarkan Cantika ke play group yang tiga minggu terakhir menjadi salah satu tempat untuk belajar dan bersosialisasi bagi puteri kecilnya itu.Andien harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke dalam untuk mencapai toko yang ia tuju. Langkahnya terhenti ketika melewati sebuah café dengan nuansa modern yang terasa begitu nyaman. Netranya terbelalak melihat Dirga sedang berbicara – jika bisa dibilang demikian – dengan seorang perempuan yang begitu... perfect