Share

Bab 158: Trofi

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 158: Trofi

“Ngomong-ngomong, istri kamu tidak ikut ke sini?”

Jleb! Begitu rasanya di dalam hatiku ini. Dadaku langsung sesak, jiwaku langsung mobat-mabit, dan keceriaan di wajahku segera sirna. Ada jeda satu atau dua detik antara aku dan Lo Rena. Dan untunglah aku tidak harus menjawab pertanyaannya yang terakhir itu. Karena kemudian, dua orang bule sahabat Lo Rena yang ada di tribun tadi ternyata telah turun, dan sekarang sedang berjalan ke arah kami berdua.

“Heii..! Come here!” sambut Lo Rena dengan ceria pada sahabatnya itu, satu laki-laki dan satu perempuan. Beberapa saat mereka berbincang dengan sangat antusias, tentu saja menggunakan bahasa asing yang sayangnya aku hanya paham di bagian ujungnya saja; wesewess!

Lo Rena kemudian saling memperkenalkan kami. Sedikit kikuk aku pun menyalami mereka satu persatu.

“Jessica,” sebut si bule p

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 159: Yang Galau di Lampu Merah

    Bab 159:Yang Galau di Lampu Merah “Hari ini, entah untuk yang ke berapa kalinya aku duduk lagi di trotoar, di sebuah bangku di bawah pohon peneduh, tidak jauh dari perempatan lampu merah yang biasa dilalui oleh laki-laki bersepeda misterius yang membuatku penasaran dan juga ingin berkenalan itu.”“Kadang-kadang aku merasa jengkel. Karena penampakan dia di perempatan lampu merah ini seperti.., apa namanya? Penjual pulsa? Maksudku begini, ketika aku sedang dalam perjalanan entah kemana dan sedang tidak ingin membeli pulsa, aku melihat banyak sekali penjual pulsa yang bertebaran di sepanjang tepi jalan.”“Tetapi, suatu ketika aku ingin membeli pulsa, eeeh.., aku tidak melihat satu konter pun yang menjual pulsa. Nah, begitu. Sama juga ceritanya dengan tukang tambal ban, penjual bensin eceran, tukang siomay kelil

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 160: Kisah Si Duran

    Bab 160:Kisah Si Duran Tanpa terasa, hari terus berganti. Tujuh sekawan si Senin, si Selasa, si Rabu sampai si Minggu datang dan pergi. Sudah pun pergi, eee.., tahu-tahu datang lagi, dan terus begitu silih berganti. Kemudian datanglah minggu, disusul dengan minggu yang lain. Tak ingin ketinggalan datang juga bulan.Sudah berapa lamakah ini? Sejak aku meninggalkan kota kelahiranku? Sejak aku dipecat dari pekerjaanku di Sinergi Laras? Sejak aku ditinggalkan Resti?Usiaku belum lagi genap dua puluh lima, dan aku sudah menyandang status sebagai duda.Mengenaskan sebenarnya. Tetapi, acapkali aku merasa tersanjung dengan sebutan dari Alex yang ia tujukan kepadaku. “Hei, Duren!”

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 161: Antara Ciputat dan Tangerang

    Bab 161:Antara Ciputat dan Tangerang BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..,Walaupun sisa kontrak kamar kosku masih menyisakan beberapa bulan, tetapi aku sudah tidak tinggal di kos jalan Ikhlas itu lagi. Sekarang aku tinggal di sebuah ruko dua lantai yang tergolong sederhana di bilangan Pasir Emas. Jauh, lumayan jauh dari pusat kota Bandar Baru, tetapi tidak terlalu jauh dari tempat kerja Alex. Ini artinya, semakin jauh dari rumah mantan ibu mertuaku, Tante Resmi itu.Sebenarnya, secara administratif lokasi ruko yang aku kontrak ini sudah termasuk wilayah kabupaten Kampar. Namun secara jarak justru lebih dekat dengan kotamadya Bandar Baru. Ini seperti Ciputat yang dimiliki Tangerang walaupun kenyataannya lebih dekat dengan Jakarta Selatan. Entah ya, aku belum pernah ke Jakarta. Tetapi kata orang sih, begitu.Rukoku ini terletak

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 162: Pertemuan Yang Mengharukan

    Bab 162:Pertemuan Yang Mengharukan Tiba-tiba saja, aku mendengar sebuah panggilan yang sayup-sayup sampai di telingaku. Suaranya timbul tenggelam di antara deru aneka kendaraan yang melintas di jalan raya.“Mas!”“Maaass..!”“Mas Joko..!”Serentak aku hentikan langkah, dan balikkan badan untuk melihat seseorang yang memanggilku barusan. Siapakah dia? Tanyaku dalam hati. Aku mengerutkan dahi dan juga menyipitkan mata. Sorot matahari yang kemerahan membuat aku sedikit tersilaukan.Aku melihat seorang perempuan yang berlari-lari kecil ke arahku. Dia memakai celana training, bersepatu kets warna putih dan berkaos oblong. Rambutnya sebahu, dikuncir kuda, dan bergoyang kanan-kiri seirama dengan langkah kakinya yang tergesa

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 163: Yang Teringat dan Yang Terlupa

    Bab 163:Yang Teringat dan Yang Terlupa “Iya, Dik, aku Mas Joko,” kataku dengan suara yang bergetar menahan isakan.“Aku tahu, Mas. Aku tahu kamu pasti Mas Joko,” sahut Dyah pula dengan isakan.Beberapa saat aku dan Dyah saling berpelukan. Kami yang sedarah dan terlahir dari rahim yang sama ini saling melepaskan rindu. Air mataku meleleh. Aku susap, meleleh lagi. Aku usap lagi, dan meleleh lagi.Sinar matahari semakin meredup dengan warnanya yang merah emas mempesona. Orang-orang yang berjalan di trotoar dan yang melintas di jalan raya, semua menyempatkan diri untuk menoleh dan menatap kami dengan mimik heran penuh tanda tanya.“Kamu, kamu.., kamu kok bisa berubah begini

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 164: Yudha Ponsel

    Bab 164:Yudha Ponsel Malam ini, aku hanya berdiam diri di workshop yang ada di bagian tengah rukoku. Aku duduk di di depan meja kerja. Bengong, mematung, dan melamun. Peralatan kerjaku berserakan, berupa setang solder, gulungan timah, kaca pembesar dengan lampu dan tangkai, multitester, dan aneka macam obeng.Di sisi kanan ada komponen-komponen laptop yang sedang aku reparasi. Sementara di sisi kiri ada laptop yang menunggu antrean di meja operasi. Aku biarkan semuanya begitu saja, tanpa ada sedikit pun gairah untuk melanjutkan pekerjaanku.Aku berdecak sekali, lalu menghela nafas dalam-dalam. Aku masih saja merasa kesal pada diri sendiri setelah pertemuanku dengan Dyah tadi sore. Bagaimana tidak? Aku lupa meminta nomor ponsel adikku itu. Aku juga lupa memberi nomor ponselku padanya. Jadi kesimpulannya, aku terputus kontak lagi dengannya. Kony

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 165: Janda Dua Kali Talak

    Bab 165:Janda Dua Kali Talak Ini juga benar, namanya memang Pepen. Itu nama asli. Tidak seperti Alex yang samaran, yang sesungguhnya memiliki nama asli..,Oh ya, Deden dan Pepen inilah yang menjaga gerai laptop dan ponselku. Mereka yang melayani penjualan pulsa, paket internet, asesoris ponsel dan lain sebagainya. Mereka bekerja berganti-gantian, dan tak jarang bersamaan, seperti malam ini. Prinsipnya, aku memberikan jam kerja yang fleksibel kepada mereka berdua, dan itu sudah aku sesuaikan dengan jam perkuliahan mereka.Aku cukup senang dengan keberadaan mereka berdua, anak baik yang tidak neko-neko. Aku sering melihat ketika sedang menjaga gerai itu, mereka barengi dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah.Deden, adalah orang yang direkomendasikan oleh Charles. Sementara P

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 166: Drama Picisan

    Bab 166:Drama Picisan “Sejak kemarin, ibu tiriku telah berada di kota Bandar Baru ini. Ia rupanya menyewa seorang sopir untuk mengemudikan mobil keluarga kami dari Selat Panjang sana. Ibu ingin menjenguk Ayah. Maka tadi siang, dengan diantar sopir itu kami pun pergi ke rutan Polda.”“Namun sayangnya, kali ini aku dan Ibu tidak diizinkan untuk bertemu dengan Ayah. Petugas yang sedang berjaga menjelaskan bahwa ini adalah kebijakan baru dari tim penyidik, yang tidak membolehkan Ayah dijenguk oleh siapa pun. Oh, sudah berapa lamakah Ayah berada di dalam sana? Dua bulan? Tidak, lebih lama dari itu. Tiga bulan? Sepertinya lebih. Hampir empat bulan kalau aku tak salah ingat.”“Walau bagaimana pun aku dan Ibu memohon, namun petugas itu tetap saja bergeming

Bab terbaru

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 231: Sang Penari

    Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 230: Tamu Tak Diundang

    Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 229: Anak Menantu di Dalam Foto

    Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 228: Nama Asli Sahabat

    Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 227: Ampuni Aku, Ibu

    Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 226: Burung Bangau

    Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 225: Kabar dari Tetangga

    Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 224: Perbincangan di Jalan Tol

    Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 223: Tiket ke Surga

    Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.

DMCA.com Protection Status