Bab 157: Onde Mande
Dia segera turun dari tribun penonton, lalu berlari-lari kecil menuju ke arahku. Tidak salah lagi, dia adalah.., Lucious Renata, alias Ibu Lusi, alias Lo Rena!
Untuk beberapa detik aku hanya bisa terperangah, mendapati si tuan putri nan cantik anak bungsu dari Bapak Sugih Singadimeja sang pemilik Benua Trada Group yang telah sampai di depanku ini. Aku gugup pada todongan mata orang-orang yang datang dari berbagai arah, di mana ujung dari semua itu mengerucut pada sosok Lo Rena, yang dengan begitu sumringahnya dia..,
“Hai, Joko. Apa kabar?” Ia menyapaku, dan suaranya samar-samar lindap di antara gemuruh ribuan penonton yang sebagiannya mulai berduyun-duyun keluar gedung. <
Bab 158:Trofi “Ngomong-ngomong, istri kamu tidak ikut ke sini?”Jleb! Begitu rasanya di dalam hatiku ini. Dadaku langsung sesak, jiwaku langsung mobat-mabit, dan keceriaan di wajahku segera sirna. Ada jeda satu atau dua detik antara aku dan Lo Rena. Dan untunglah aku tidak harus menjawab pertanyaannya yang terakhir itu. Karena kemudian, dua orang bule sahabat Lo Rena yang ada di tribun tadi ternyata telah turun, dan sekarang sedang berjalan ke arah kami berdua.“Heii..! Come here!” sambut Lo Rena dengan ceria pada sahabatnya itu, satu laki-laki dan satu perempuan. Beberapa saat mereka berbincang dengan sangat antusias, tentu saja menggunakan bahasa asing yang sayangnya aku hanya paham di bagian ujungnya saja; wesewess!Lo Rena kemudian saling memperkenalkan kami. Sedikit kikuk aku pun menyalami mereka satu persatu.“Jessica,” sebut si bule p
Bab 159:Yang Galau di Lampu Merah “Hari ini, entah untuk yang ke berapa kalinya aku duduk lagi di trotoar, di sebuah bangku di bawah pohon peneduh, tidak jauh dari perempatan lampu merah yang biasa dilalui oleh laki-laki bersepeda misterius yang membuatku penasaran dan juga ingin berkenalan itu.”“Kadang-kadang aku merasa jengkel. Karena penampakan dia di perempatan lampu merah ini seperti.., apa namanya? Penjual pulsa? Maksudku begini, ketika aku sedang dalam perjalanan entah kemana dan sedang tidak ingin membeli pulsa, aku melihat banyak sekali penjual pulsa yang bertebaran di sepanjang tepi jalan.”“Tetapi, suatu ketika aku ingin membeli pulsa, eeeh.., aku tidak melihat satu konter pun yang menjual pulsa. Nah, begitu. Sama juga ceritanya dengan tukang tambal ban, penjual bensin eceran, tukang siomay kelil
Bab 160:Kisah Si Duran Tanpa terasa, hari terus berganti. Tujuh sekawan si Senin, si Selasa, si Rabu sampai si Minggu datang dan pergi. Sudah pun pergi, eee.., tahu-tahu datang lagi, dan terus begitu silih berganti. Kemudian datanglah minggu, disusul dengan minggu yang lain. Tak ingin ketinggalan datang juga bulan.Sudah berapa lamakah ini? Sejak aku meninggalkan kota kelahiranku? Sejak aku dipecat dari pekerjaanku di Sinergi Laras? Sejak aku ditinggalkan Resti?Usiaku belum lagi genap dua puluh lima, dan aku sudah menyandang status sebagai duda.Mengenaskan sebenarnya. Tetapi, acapkali aku merasa tersanjung dengan sebutan dari Alex yang ia tujukan kepadaku. “Hei, Duren!”
Bab 161:Antara Ciputat dan Tangerang BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..,Walaupun sisa kontrak kamar kosku masih menyisakan beberapa bulan, tetapi aku sudah tidak tinggal di kos jalan Ikhlas itu lagi. Sekarang aku tinggal di sebuah ruko dua lantai yang tergolong sederhana di bilangan Pasir Emas. Jauh, lumayan jauh dari pusat kota Bandar Baru, tetapi tidak terlalu jauh dari tempat kerja Alex. Ini artinya, semakin jauh dari rumah mantan ibu mertuaku, Tante Resmi itu.Sebenarnya, secara administratif lokasi ruko yang aku kontrak ini sudah termasuk wilayah kabupaten Kampar. Namun secara jarak justru lebih dekat dengan kotamadya Bandar Baru. Ini seperti Ciputat yang dimiliki Tangerang walaupun kenyataannya lebih dekat dengan Jakarta Selatan. Entah ya, aku belum pernah ke Jakarta. Tetapi kata orang sih, begitu.Rukoku ini terletak
Bab 162:Pertemuan Yang Mengharukan Tiba-tiba saja, aku mendengar sebuah panggilan yang sayup-sayup sampai di telingaku. Suaranya timbul tenggelam di antara deru aneka kendaraan yang melintas di jalan raya.“Mas!”“Maaass..!”“Mas Joko..!”Serentak aku hentikan langkah, dan balikkan badan untuk melihat seseorang yang memanggilku barusan. Siapakah dia? Tanyaku dalam hati. Aku mengerutkan dahi dan juga menyipitkan mata. Sorot matahari yang kemerahan membuat aku sedikit tersilaukan.Aku melihat seorang perempuan yang berlari-lari kecil ke arahku. Dia memakai celana training, bersepatu kets warna putih dan berkaos oblong. Rambutnya sebahu, dikuncir kuda, dan bergoyang kanan-kiri seirama dengan langkah kakinya yang tergesa
Bab 163:Yang Teringat dan Yang Terlupa “Iya, Dik, aku Mas Joko,” kataku dengan suara yang bergetar menahan isakan.“Aku tahu, Mas. Aku tahu kamu pasti Mas Joko,” sahut Dyah pula dengan isakan.Beberapa saat aku dan Dyah saling berpelukan. Kami yang sedarah dan terlahir dari rahim yang sama ini saling melepaskan rindu. Air mataku meleleh. Aku susap, meleleh lagi. Aku usap lagi, dan meleleh lagi.Sinar matahari semakin meredup dengan warnanya yang merah emas mempesona. Orang-orang yang berjalan di trotoar dan yang melintas di jalan raya, semua menyempatkan diri untuk menoleh dan menatap kami dengan mimik heran penuh tanda tanya.“Kamu, kamu.., kamu kok bisa berubah begini
Bab 164:Yudha Ponsel Malam ini, aku hanya berdiam diri di workshop yang ada di bagian tengah rukoku. Aku duduk di di depan meja kerja. Bengong, mematung, dan melamun. Peralatan kerjaku berserakan, berupa setang solder, gulungan timah, kaca pembesar dengan lampu dan tangkai, multitester, dan aneka macam obeng.Di sisi kanan ada komponen-komponen laptop yang sedang aku reparasi. Sementara di sisi kiri ada laptop yang menunggu antrean di meja operasi. Aku biarkan semuanya begitu saja, tanpa ada sedikit pun gairah untuk melanjutkan pekerjaanku.Aku berdecak sekali, lalu menghela nafas dalam-dalam. Aku masih saja merasa kesal pada diri sendiri setelah pertemuanku dengan Dyah tadi sore. Bagaimana tidak? Aku lupa meminta nomor ponsel adikku itu. Aku juga lupa memberi nomor ponselku padanya. Jadi kesimpulannya, aku terputus kontak lagi dengannya. Kony
Bab 165:Janda Dua Kali Talak Ini juga benar, namanya memang Pepen. Itu nama asli. Tidak seperti Alex yang samaran, yang sesungguhnya memiliki nama asli..,Oh ya, Deden dan Pepen inilah yang menjaga gerai laptop dan ponselku. Mereka yang melayani penjualan pulsa, paket internet, asesoris ponsel dan lain sebagainya. Mereka bekerja berganti-gantian, dan tak jarang bersamaan, seperti malam ini. Prinsipnya, aku memberikan jam kerja yang fleksibel kepada mereka berdua, dan itu sudah aku sesuaikan dengan jam perkuliahan mereka.Aku cukup senang dengan keberadaan mereka berdua, anak baik yang tidak neko-neko. Aku sering melihat ketika sedang menjaga gerai itu, mereka barengi dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah.Deden, adalah orang yang direkomendasikan oleh Charles. Sementara P