Bab 162: Pertemuan Yang Mengharukan
Tiba-tiba saja, aku mendengar sebuah panggilan yang sayup-sayup sampai di telingaku. Suaranya timbul tenggelam di antara deru aneka kendaraan yang melintas di jalan raya.
“Mas!”
“Maaass..!”
“Mas Joko..!”
Serentak aku hentikan langkah, dan balikkan badan untuk melihat seseorang yang memanggilku barusan. Siapakah dia? Tanyaku dalam hati. Aku mengerutkan dahi dan juga menyipitkan mata. Sorot matahari yang kemerahan membuat aku sedikit tersilaukan.
Aku melihat seorang perempuan yang berlari-lari kecil ke arahku. Dia memakai celana training, bersepatu kets warna putih dan berkaos oblong. Rambutnya sebahu, dikuncir kuda, dan bergoyang kanan-kiri seirama dengan langkah kakinya yang tergesa
Bab 163:Yang Teringat dan Yang Terlupa “Iya, Dik, aku Mas Joko,” kataku dengan suara yang bergetar menahan isakan.“Aku tahu, Mas. Aku tahu kamu pasti Mas Joko,” sahut Dyah pula dengan isakan.Beberapa saat aku dan Dyah saling berpelukan. Kami yang sedarah dan terlahir dari rahim yang sama ini saling melepaskan rindu. Air mataku meleleh. Aku susap, meleleh lagi. Aku usap lagi, dan meleleh lagi.Sinar matahari semakin meredup dengan warnanya yang merah emas mempesona. Orang-orang yang berjalan di trotoar dan yang melintas di jalan raya, semua menyempatkan diri untuk menoleh dan menatap kami dengan mimik heran penuh tanda tanya.“Kamu, kamu.., kamu kok bisa berubah begini
Bab 164:Yudha Ponsel Malam ini, aku hanya berdiam diri di workshop yang ada di bagian tengah rukoku. Aku duduk di di depan meja kerja. Bengong, mematung, dan melamun. Peralatan kerjaku berserakan, berupa setang solder, gulungan timah, kaca pembesar dengan lampu dan tangkai, multitester, dan aneka macam obeng.Di sisi kanan ada komponen-komponen laptop yang sedang aku reparasi. Sementara di sisi kiri ada laptop yang menunggu antrean di meja operasi. Aku biarkan semuanya begitu saja, tanpa ada sedikit pun gairah untuk melanjutkan pekerjaanku.Aku berdecak sekali, lalu menghela nafas dalam-dalam. Aku masih saja merasa kesal pada diri sendiri setelah pertemuanku dengan Dyah tadi sore. Bagaimana tidak? Aku lupa meminta nomor ponsel adikku itu. Aku juga lupa memberi nomor ponselku padanya. Jadi kesimpulannya, aku terputus kontak lagi dengannya. Kony
Bab 165:Janda Dua Kali Talak Ini juga benar, namanya memang Pepen. Itu nama asli. Tidak seperti Alex yang samaran, yang sesungguhnya memiliki nama asli..,Oh ya, Deden dan Pepen inilah yang menjaga gerai laptop dan ponselku. Mereka yang melayani penjualan pulsa, paket internet, asesoris ponsel dan lain sebagainya. Mereka bekerja berganti-gantian, dan tak jarang bersamaan, seperti malam ini. Prinsipnya, aku memberikan jam kerja yang fleksibel kepada mereka berdua, dan itu sudah aku sesuaikan dengan jam perkuliahan mereka.Aku cukup senang dengan keberadaan mereka berdua, anak baik yang tidak neko-neko. Aku sering melihat ketika sedang menjaga gerai itu, mereka barengi dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah.Deden, adalah orang yang direkomendasikan oleh Charles. Sementara P
Bab 166:Drama Picisan “Sejak kemarin, ibu tiriku telah berada di kota Bandar Baru ini. Ia rupanya menyewa seorang sopir untuk mengemudikan mobil keluarga kami dari Selat Panjang sana. Ibu ingin menjenguk Ayah. Maka tadi siang, dengan diantar sopir itu kami pun pergi ke rutan Polda.”“Namun sayangnya, kali ini aku dan Ibu tidak diizinkan untuk bertemu dengan Ayah. Petugas yang sedang berjaga menjelaskan bahwa ini adalah kebijakan baru dari tim penyidik, yang tidak membolehkan Ayah dijenguk oleh siapa pun. Oh, sudah berapa lamakah Ayah berada di dalam sana? Dua bulan? Tidak, lebih lama dari itu. Tiga bulan? Sepertinya lebih. Hampir empat bulan kalau aku tak salah ingat.”“Walau bagaimana pun aku dan Ibu memohon, namun petugas itu tetap saja bergeming
Bab 167:Titip Salam Jarak antara rukoku dengan rumah Charles memang tidak terlau jauh. Paling lama hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja jika menggunakan sepeda motor. Sedikit lebih lama jika menggunakan kendaraan roda empat. Plus semakin lama kalau terjebak kemacetan.Jika tidak terlalu banyak barang bawaan biasanya aku menggunakan jasa ojek online unuk menuju ke rumah Charles itu. Namun jika sebaliknya, aku terpaksa menggunakan taksi. Seperti sekarang ini, hari Sabtu yang cerah, aku duduk di dalam sebuah taksi yang mengantarkan pulang menuju ke ruko.Aku baru saja pulang dari rumah Charles untuk mengantar beberapa laptop yang telah selesai aku perbaiki. Pada kesempatan itu pula aku sekaligus mengambil beberapa part bekas dari ponsel yang sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi. Ada juga, dan ini yang paling banyak, yaitu laptop-la
Bab 168:Suara Yang Tidak Asing BEBERAPA HARI KEMUDIAN..,Terhitung sejak aku mendapat titipan salam dari Menuk, entah ya, entah mengapa aku semakin bersemangat saja menjalani hari-hariku. Mengapa bisa begitu? Ajaib, aku tidak bisa menjawabnya. Lebih ajaib lagi, hal itu menimbulkan sensasi ganjil seperti begini; bahwa ke mana pun aku melangkah aku merasa sedang diawasi oleh sesuatu, dan itu entah apa, atau sesiapa.Maka dengan suntikan semangat yang ganjil itu, orderan reparasi laptop dan ponsel yang datang tak putus-putusnya semua aku eksekusi sampai tuntas, khususnya untuk para pelanggan baru yang datang ke geraiku. Sementara “job” yang kudapat dari ayah Charles juga seperti tidak pernah habis. Aku senang saja, dan aku bersyukur saja, karena itu berarti cuan yang mengalir lancar ke pundi-pundiku. 
Bab 169:Angel Semakin ke sini, fokusku semakin kacau terhadap suara Yana. Karena sepertinya, suara si customer wanita di depan itu, sepertinya.., suara itu tidak asing di telingaku!Aku sampai menegakkan dudukku di kursi, memiringkan sedikit kepala, menajamkan pendengaran dan sedikit menjauhkan ponselku dari telinga. Suara Yana semakin menjauh, dan suara si customer wanita di gerai depan yang terhalangi dinding ini semakin jelas di telingaku.Aku terkesiap, seakan darahku tersirap, seiring ingatanku yang meraba-raba kenangan masa lalu tentang siapakah di antara sekian banyaknya wanita yang aku kenal yang memiliki warna suara seperti ini.Aksen atau logatnya sedikit unik, suaranya sendiri merupakan perpaduan
Bab 170:Ojo Dibandingke Malam harinya, aku duduk di meja kerjaku dan kembali berkutat dengan mainboard laptop yang belum sempat aku selesaikan. Namun, karena penasaran, aku mengambil ponsel milik costumer bernama Angel dan menelitinya di bawah lampu kerja.Meskipun berasal dari brand yang sama ternyata ponsel milik Angel ini sedikit berbeda dengan ponsel yang aku miliki. Perbedaan itu terletak pada kontruksi casing, dudukan komponen dan klip penguncinya. Milik costumerku ini jauh lebih rumit, dan itu wajar mengingat harganya yang sangat mahal.Aku perlu menelepon Charles, sahabatku si tukang umpan itu. Jujur, aku butuh bantuan dari sang suhu. Ternyata, Charles juga belum pernah mengoprek ponsel dengan tipe yang sekarang ada di meja operasiku ini.
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.