Bab 167: Titip Salam
Jarak antara rukoku dengan rumah Charles memang tidak terlau jauh. Paling lama hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja jika menggunakan sepeda motor. Sedikit lebih lama jika menggunakan kendaraan roda empat. Plus semakin lama kalau terjebak kemacetan.
Jika tidak terlalu banyak barang bawaan biasanya aku menggunakan jasa ojek online unuk menuju ke rumah Charles itu. Namun jika sebaliknya, aku terpaksa menggunakan taksi. Seperti sekarang ini, hari Sabtu yang cerah, aku duduk di dalam sebuah taksi yang mengantarkan pulang menuju ke ruko.
Aku baru saja pulang dari rumah Charles untuk mengantar beberapa laptop yang telah selesai aku perbaiki. Pada kesempatan itu pula aku sekaligus mengambil beberapa part bekas dari ponsel yang sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi. Ada juga, dan ini yang paling banyak, yaitu laptop-la
Bab 168:Suara Yang Tidak Asing BEBERAPA HARI KEMUDIAN..,Terhitung sejak aku mendapat titipan salam dari Menuk, entah ya, entah mengapa aku semakin bersemangat saja menjalani hari-hariku. Mengapa bisa begitu? Ajaib, aku tidak bisa menjawabnya. Lebih ajaib lagi, hal itu menimbulkan sensasi ganjil seperti begini; bahwa ke mana pun aku melangkah aku merasa sedang diawasi oleh sesuatu, dan itu entah apa, atau sesiapa.Maka dengan suntikan semangat yang ganjil itu, orderan reparasi laptop dan ponsel yang datang tak putus-putusnya semua aku eksekusi sampai tuntas, khususnya untuk para pelanggan baru yang datang ke geraiku. Sementara “job” yang kudapat dari ayah Charles juga seperti tidak pernah habis. Aku senang saja, dan aku bersyukur saja, karena itu berarti cuan yang mengalir lancar ke pundi-pundiku. 
Bab 169:Angel Semakin ke sini, fokusku semakin kacau terhadap suara Yana. Karena sepertinya, suara si customer wanita di depan itu, sepertinya.., suara itu tidak asing di telingaku!Aku sampai menegakkan dudukku di kursi, memiringkan sedikit kepala, menajamkan pendengaran dan sedikit menjauhkan ponselku dari telinga. Suara Yana semakin menjauh, dan suara si customer wanita di gerai depan yang terhalangi dinding ini semakin jelas di telingaku.Aku terkesiap, seakan darahku tersirap, seiring ingatanku yang meraba-raba kenangan masa lalu tentang siapakah di antara sekian banyaknya wanita yang aku kenal yang memiliki warna suara seperti ini.Aksen atau logatnya sedikit unik, suaranya sendiri merupakan perpaduan
Bab 170:Ojo Dibandingke Malam harinya, aku duduk di meja kerjaku dan kembali berkutat dengan mainboard laptop yang belum sempat aku selesaikan. Namun, karena penasaran, aku mengambil ponsel milik costumer bernama Angel dan menelitinya di bawah lampu kerja.Meskipun berasal dari brand yang sama ternyata ponsel milik Angel ini sedikit berbeda dengan ponsel yang aku miliki. Perbedaan itu terletak pada kontruksi casing, dudukan komponen dan klip penguncinya. Milik costumerku ini jauh lebih rumit, dan itu wajar mengingat harganya yang sangat mahal.Aku perlu menelepon Charles, sahabatku si tukang umpan itu. Jujur, aku butuh bantuan dari sang suhu. Ternyata, Charles juga belum pernah mengoprek ponsel dengan tipe yang sekarang ada di meja operasiku ini.
Bab 171: Anak Kucing di Atas Pohon Aku dan Menuk saling bertukar kabar. Lalu, selayaknya orang yang pernah saling mengenal kami berdua pun segera terlibat obrolan yang hangat. Kami saling bertanya tentang kegiatan masing-masing, tentang pekerjaan, tentang hobi, dicampur dengan rumpi-rumpi sedikit, plus sedikit canda untuk lebih mencairkan suasana. Ketika obrolan kami terjeda karena tema yang menggantung atau karena saling mencari bahasan baru, aku terdiam dengan sedikit rasa malu. Sementara Menuk, dia gugup dan aku tahu itu. Penyebabnya, tentu saja dia yang dulu pernah menyukai aku, dan aku tahu itu. “Eh, Nuk, ini nomor hape kamu yang baru ya?” tanyaku mencoba mengatasi rasa kikuk. “Iya.” “Nomor asli atau nomor samaran?” “Maksud kamu?” “Maksudku, apakah nomor ini hanya kamu pakai untuk sementara saja?” “Tidak, ini memang nomorku yang baru.” “Ya sudah kalau begitu. Biar aku simpan. Ngomong-ngomong,
Bab 172:Anak Kucing di Bawah Kap Mesin “Mas, mas, tolong saya, Mas!” tahan wanita pengendara yang tengah berdiri di samping mobilnya itu.“Ada apa, Bu?” tanyaku setelah berhenti.“Ini, sini, tolong ke sini,” wanita itu melambaikan tangan dan mengajak aku ke arah sisi depan mobil, di mana kap mesinnya sendiri telah ia buka. Ia lalu menunjuk-nunjuk ke dalam ruang mesin.“Di sini ada anak kucing, tapi tidak tahu tepatnya di mana. Tolong saya keluarin kucingnya, Mas.”Sontak saja aku merasa heran. Ini bagaimana ceritanya bisa begini? Kenapa semua orang banyak yang meminta tolong padaku hari i
Bab 173:Malaikat di Depan Toko Keesokan harinya..,Aku sedang menonton sebuah tayangan video melalui saluran internet ketika Pepen datang menghampiri aku.“Mas, hape yang atas nama Angel, sudah selesai diperbaiki, Mas?”“Angel?”“Iya, itu orangnya sudah datang mau mengambil.”Aku mem-pause tayangan video yang sedang kutonton. Bangkit dari kursi aku membuka sebuah laci untuk mengambil ponsel milik Angel. Lalu, aku berjalan ke arah gerai depan sambil mengelap-elap layar ponsel menggunakan kain halus yang kucomot sambil berjalan tadi.&nb
Bab 174:Bidadari di Kereta Kencana “Bu Joyce!”“Bu Joyce!”Kenapa Ibu Joyce tidak mendengarku? Tidak mungkin, tidak mungkin dia tidak mendengar suara panggilanku. Aku menggegas langkah menuju mobilnya yang mulai berjalan perlahan meninggalkan pelataran ruko.“Bu Joyce!” panggilku lagi dengan suara yang makin keras. Dan, mobil wanita yang mengaku bernama Angel itu terus saja berjalan hingga sedikit lagi hampir saja mencapai jalan aspal. Aku sampai berlari untuk mengejarnya, lalu menghadang.Aku sengaja memosisikan diriku persis di depan mobil supaya ia berhenti. Setelah mobil Angel berhenti aku segera menyisir ke arah samping pada sisi pengemudi. Aku membungkukkan tubuhku sedikit dan mengetuk pelan kaca jendela. Entah mengapa aku takut, cemas, tapi anehnya aku juga merasa senang dan bahagia. Apalagi ketika kemudian Angel berkenan memberi kesempatan dengan menu
Bab 175:Duda Butuh Curhat Sumpah mati aku jadi penasaran. Mengapa Ibu Joyce tidak mau mengakui jatidirinya di depanku? Mengapa ia tampak begitu takut dan malu? Apakah ini berkaitan dengan masa lalu kami berdua yang.., ah, aku jadi tidak berselera untuk melakukan apa-apa.Sudah pukul sepuluh malam. Deden dan Pepen sudah menutup pintu toko. Sekarang mereka berdua sudah masuk ke kamar untuk beristirahat. Aku masih duduk di meja kerjaku, membiarkan tayangan video tentang pertandingan voli luar negeri berputar sendiri tanpa sedikit pun kuambil peduli.Sedikit menunduk, aku terpaku sebentar pada komponen-komponen laptop yang tadi siang telah aku bongkar, lalu menggesernya pada satu pojok di meja kerjaku. Kaca pembesar dan lampu bertangkai juga aku geser ke tepi. Supaya aku bisa maju l