Bab 175: Duda Butuh Curhat
Sumpah mati aku jadi penasaran. Mengapa Ibu Joyce tidak mau mengakui jatidirinya di depanku? Mengapa ia tampak begitu takut dan malu? Apakah ini berkaitan dengan masa lalu kami berdua yang.., ah, aku jadi tidak berselera untuk melakukan apa-apa.
Sudah pukul sepuluh malam. Deden dan Pepen sudah menutup pintu toko. Sekarang mereka berdua sudah masuk ke kamar untuk beristirahat. Aku masih duduk di meja kerjaku, membiarkan tayangan video tentang pertandingan voli luar negeri berputar sendiri tanpa sedikit pun kuambil peduli.
Sedikit menunduk, aku terpaku sebentar pada komponen-komponen laptop yang tadi siang telah aku bongkar, lalu menggesernya pada satu pojok di meja kerjaku. Kaca pembesar dan lampu bertangkai juga aku geser ke tepi. Supaya aku bisa maju l
Bab 176:Tentara Gadungan “Mas Joko, kamu tahu? Aku duduk di perempatan lampu merah ini seperti orang linglung. Aku memandangi mobil-mobil dan semua kendaraan yang lalu-lalang di depanku dengan pandangan yang kosong. Aku melamun, terus melamun.”“Rasanya, aku ingin cepat pulang kampung ke Selat Panjang sana, meninggalkan saja kuliahku yang semakin terbengkalai, dan mengubur angan-anganku untuk menjadi seorang bidan. Aku ingin pulang ke rumah nenekku, orang yang dulu merawatku ketika masih kecil. Aku ingin berjalan-jalan di halaman belakangnya yang penuh dengan tanaman buah. Terus berjalan, jauh, menurun, melintasi hutan kecil hingga sampai di tepi pantai. Di situ, ada pohon ketapang dan cemara angin yang tumbuh berdekatan. Aku ingin memasang ayunan hammock di antara dua pohon itu, dan berbaring di atasnya untuk menikmati embusa
Bab 177:Gara-gara Bebek Akhirnya, Alex yang aku tunggu-tunggu datang juga. Ia sampai di rukoku pukul sebelas malam. Segera saja aku membuka pintu geser dan menyuruh dia untuk memasukkan motornya ke dalam. Deden dan Pepen sedang menonton tayangan televisi di laptop menggunakan TV tuner. Aku melihat sekilas lewat pintu kamar mereka yang terbuka. Aku tidak ingin mengganggu mereka dengan menyuruh membuatkan kopi. Biarlah mereka istirahat, pikirku.Aku lalu mengajak Alex untuk naik ke lantai atas di mana kamarku berada. Di atas sini, selain kamar tidur masih ada lagi satu kamar mandi dan sebuah ruangan serbaguna yang cukup luas.“Lumayan lama juga kamu tidak ke sini ya, Lex?” Tanyaku.“Baru seb
Bab 178:Perempuan di Lampu Merah “Memangnya, siapa perempuan yang kamu lihat itu?”“Ningsih.”“Ning.., sih..??”Tiba-tiba aku terdiam. Perlahan kugerakkan kepalaku untuk menoleh pada Alex, lalu mencermati sosok sahabatku ini beserta segala mimik yang tertera di wajahnya. Temaram lampu di balkon ini masih cukup terang untuk menampakkan wajah Alex.Sebuah nama, Ningsih, yang seketika saja membuat hatiku berdebar. Lalu, secara sekilas dan secepat kelebatan cahaya dari lampu mobil yang melintas di jalan raya, aku pun terbawa ke masa lalu yang betapa pun ingin aku lupakan tetapi ianya sangat membekas di dalam ingatanku. “Ningsih?” Ulangku bertanya.&n
Bab 179: Penantian Yang Mendebarkan “Menemui dia? Heh, untuk apa?” “Untuk.., “Aku terdiam. Benar juga, pikirku, untuk alasan apa aku menemui Ibu Joyce? Perasaan macam apa ini yang membuatku ingin bertemu lagi dengan mantan atasanku itu? Ganjilnya lagi, mengapa aku ingin mengulangi momen saat-saat aku memandang wajahnya yang ayu nan teduh dalam balutan hijabnya yang menawan? “Hayo? Untuk apa kamu ingin menemui Bu Joyce itu?” “Untuk.., untuk.., untuk menanyakan kepadanya, kenapa dia bersikap seolah-olah mau menghindari aku?” “Apakah itu perlu?” Tanya Alex lagi sambil menyorotku dengan pandangannya yang sedikit tajam. Aku diam sebentar, lalu mengangguk. “Perlu,” jawabku. “Kamu bilang perlu..,” Alex mencondongkan badannya ke arahku. Dua jarinya yang menjepit rokok sedang menyala ia tudingkan ke arah wajahku. Lalu katanya.., “Nah, yang menjawab perlu itu, akal kamu? Atau hati kamu?”
Bab 180:Kucing Patah Hati “Assalamu’alaikum..,”Terdengar suara salam di depan pintu. Aku pun menoleh untuk melihat sosok yang..,Deg!Oh, Ya Allah.., copot jantungku! Lolos semua sendi dan tulang-tulangku, nafasku tercekat, aliran darahku terasa berhenti dan tubuhku mematung seakan dipaku ke bumi, saat aku melihat seorang wanita berhijab yang berhenti di depan situ untuk membuka sepatu. Kepalanya dan tubuhnya menunduk. Ujung baju terusan dan ujung hijabnya terjuntai hampir menyentuh lantai.Tiba-tiba aku merasa gugup dan takut. Tapi aneh, aku juga merasakan kegembiraan yang luar biasa dan itu tak terjelaskan dengan kata-kata. Karena dia, dia.., dia adalah Angel! Dia adalah Joyce Angelique yang beberapa hari lalu bertemu denganku di gerai. Maka benar, Angel dan Ibu Joyce adalah orang yang sama!Ibu Joyce
Bab 181:Semakin Kepo “Sakitkah? Kecelakaankah?”“Patah hati.”Oik..!! Kucing? Bisa patah hati? Terus mati?“Astaghfirullah. Kasihan sekali. Sampai segitunya, Bu?”“Suka-suka dialah!” Sahut Ibu Joyce ketus. “Mau mati, mau patah hati, mau minum racun bunuh diri, kalau dia sudah bosan hidup mau bagaimana lagi??”Maka, mati jugalah ideku untuk memancing Ibu Joyce supaya mau berbicara denganku. Aku bingung kehabisan kamus. Terus ditatap Ibu Joyce dengan sorot yang tajam, aku semakin bingung.Kemudian, Ibu Joyce balikkan badan dan dengan cepat meninggalkan aku menuju ke dalam. Sepertinya ia berhenti di ruang tengah. Aku sempat mendengar ia berbicara dengan seseorang. Bukan, bukan pembantunya yang membuka pagar tadi. Tetapi suaranya sangat lembut dan sangat keibuan. Mungkinkah itu ibunya? Entahlah. Aku memang tidak pern
Bab 182: Kenangan Dalam Lamunan Aku membaringkan tubuhku di atas kasur. Kedua tangan aku lipat di bawah kepala untuk meninggikan bantalku yang malam ini entah mengapa terasa kempes. Mungkin sekempes hatiku pasca ditolak untuk berbicara dengan Ibu Joyce tadi sore.Aku memejamkan mataku. Maka yang tampak dalam pandanganku adalah kegelapan. Tidak gelap seluruhnya, karena ada suatu bayangan yang entah bagaimana caranya bisa terbentang, menampilkan fragmen kenangan hidup yang pernah aku lalui. Yaitu, saat aku pertama kali bertemu dengan Ibu Joyce pada sesi wawancara kerja dulu.“Maaf, ini serius? Ini beneran? Asli?”“Iya, Bu, itu memang nama saya.”“Joko?”“Betul, Bu.”“Joko, hemm, Joko. Ngomong-ngomong tinggi badan kamu berapa, Ko?”“Seratus sembilan puluh senti, lebih kurang.”“Kamu bisa main basket?”“Tidak bisa, Bu.”“Tinggi badan kamu jadi mubazir, Ko.”“Tapi, saya bisa main voli, Bu.”“Hah?! Serius? Kamu bisa mukul? Bisa nye-mash?”“Bisa, Bu. Memang itu spesialisnya saya di olah rag
Bab 183:Yang Datang Mencari “Ini rahasia, Mbak, dan hanya Bu Joyce saja yang boleh tahu.”“Sepenting apa sih?”“Sepenting..,” aku berpikir cepat. “Sepenting hidup seseorang.”“Sepenting hidup seseorang? Siapa?”“Hanya Ibu Joyce yang boleh tahu.”“Sayangnya, dia sedang tidak ada di rumah, Mas.”Dan, di sinilah jurusku berhasil membuat sang asisten ini keceplosan.“Waduh, sayang sekali, Ibu Joyce pasti lupa dengan saya. Pergi ke mana sih dia, Mbak?”“Ke pengajian.”Pengajian? Aku tersentak. Pe.., nga.., jian? Hah? Benarkah itu? Ah, aku sampai merinding mendengarnya. Benarkah Ibu Joyce mengikuti pengajian?“Pengajian apa, Mbak?”“Pengajian.., ah, sudahlah, nanti saya diomeli lagi sama Bu Joyce!”“Buk,
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.