Bab 177: Gara-gara Bebek
Akhirnya, Alex yang aku tunggu-tunggu datang juga. Ia sampai di rukoku pukul sebelas malam. Segera saja aku membuka pintu geser dan menyuruh dia untuk memasukkan motornya ke dalam. Deden dan Pepen sedang menonton tayangan televisi di laptop menggunakan TV tuner. Aku melihat sekilas lewat pintu kamar mereka yang terbuka. Aku tidak ingin mengganggu mereka dengan menyuruh membuatkan kopi. Biarlah mereka istirahat, pikirku.
Aku lalu mengajak Alex untuk naik ke lantai atas di mana kamarku berada. Di atas sini, selain kamar tidur masih ada lagi satu kamar mandi dan sebuah ruangan serbaguna yang cukup luas.
“Lumayan lama juga kamu tidak ke sini ya, Lex?” Tanyaku.
“Baru seb
Bab 178:Perempuan di Lampu Merah “Memangnya, siapa perempuan yang kamu lihat itu?”“Ningsih.”“Ning.., sih..??”Tiba-tiba aku terdiam. Perlahan kugerakkan kepalaku untuk menoleh pada Alex, lalu mencermati sosok sahabatku ini beserta segala mimik yang tertera di wajahnya. Temaram lampu di balkon ini masih cukup terang untuk menampakkan wajah Alex.Sebuah nama, Ningsih, yang seketika saja membuat hatiku berdebar. Lalu, secara sekilas dan secepat kelebatan cahaya dari lampu mobil yang melintas di jalan raya, aku pun terbawa ke masa lalu yang betapa pun ingin aku lupakan tetapi ianya sangat membekas di dalam ingatanku. “Ningsih?” Ulangku bertanya.&n
Bab 179: Penantian Yang Mendebarkan “Menemui dia? Heh, untuk apa?” “Untuk.., “Aku terdiam. Benar juga, pikirku, untuk alasan apa aku menemui Ibu Joyce? Perasaan macam apa ini yang membuatku ingin bertemu lagi dengan mantan atasanku itu? Ganjilnya lagi, mengapa aku ingin mengulangi momen saat-saat aku memandang wajahnya yang ayu nan teduh dalam balutan hijabnya yang menawan? “Hayo? Untuk apa kamu ingin menemui Bu Joyce itu?” “Untuk.., untuk.., untuk menanyakan kepadanya, kenapa dia bersikap seolah-olah mau menghindari aku?” “Apakah itu perlu?” Tanya Alex lagi sambil menyorotku dengan pandangannya yang sedikit tajam. Aku diam sebentar, lalu mengangguk. “Perlu,” jawabku. “Kamu bilang perlu..,” Alex mencondongkan badannya ke arahku. Dua jarinya yang menjepit rokok sedang menyala ia tudingkan ke arah wajahku. Lalu katanya.., “Nah, yang menjawab perlu itu, akal kamu? Atau hati kamu?”
Bab 180:Kucing Patah Hati “Assalamu’alaikum..,”Terdengar suara salam di depan pintu. Aku pun menoleh untuk melihat sosok yang..,Deg!Oh, Ya Allah.., copot jantungku! Lolos semua sendi dan tulang-tulangku, nafasku tercekat, aliran darahku terasa berhenti dan tubuhku mematung seakan dipaku ke bumi, saat aku melihat seorang wanita berhijab yang berhenti di depan situ untuk membuka sepatu. Kepalanya dan tubuhnya menunduk. Ujung baju terusan dan ujung hijabnya terjuntai hampir menyentuh lantai.Tiba-tiba aku merasa gugup dan takut. Tapi aneh, aku juga merasakan kegembiraan yang luar biasa dan itu tak terjelaskan dengan kata-kata. Karena dia, dia.., dia adalah Angel! Dia adalah Joyce Angelique yang beberapa hari lalu bertemu denganku di gerai. Maka benar, Angel dan Ibu Joyce adalah orang yang sama!Ibu Joyce
Bab 181:Semakin Kepo “Sakitkah? Kecelakaankah?”“Patah hati.”Oik..!! Kucing? Bisa patah hati? Terus mati?“Astaghfirullah. Kasihan sekali. Sampai segitunya, Bu?”“Suka-suka dialah!” Sahut Ibu Joyce ketus. “Mau mati, mau patah hati, mau minum racun bunuh diri, kalau dia sudah bosan hidup mau bagaimana lagi??”Maka, mati jugalah ideku untuk memancing Ibu Joyce supaya mau berbicara denganku. Aku bingung kehabisan kamus. Terus ditatap Ibu Joyce dengan sorot yang tajam, aku semakin bingung.Kemudian, Ibu Joyce balikkan badan dan dengan cepat meninggalkan aku menuju ke dalam. Sepertinya ia berhenti di ruang tengah. Aku sempat mendengar ia berbicara dengan seseorang. Bukan, bukan pembantunya yang membuka pagar tadi. Tetapi suaranya sangat lembut dan sangat keibuan. Mungkinkah itu ibunya? Entahlah. Aku memang tidak pern
Bab 182: Kenangan Dalam Lamunan Aku membaringkan tubuhku di atas kasur. Kedua tangan aku lipat di bawah kepala untuk meninggikan bantalku yang malam ini entah mengapa terasa kempes. Mungkin sekempes hatiku pasca ditolak untuk berbicara dengan Ibu Joyce tadi sore.Aku memejamkan mataku. Maka yang tampak dalam pandanganku adalah kegelapan. Tidak gelap seluruhnya, karena ada suatu bayangan yang entah bagaimana caranya bisa terbentang, menampilkan fragmen kenangan hidup yang pernah aku lalui. Yaitu, saat aku pertama kali bertemu dengan Ibu Joyce pada sesi wawancara kerja dulu.“Maaf, ini serius? Ini beneran? Asli?”“Iya, Bu, itu memang nama saya.”“Joko?”“Betul, Bu.”“Joko, hemm, Joko. Ngomong-ngomong tinggi badan kamu berapa, Ko?”“Seratus sembilan puluh senti, lebih kurang.”“Kamu bisa main basket?”“Tidak bisa, Bu.”“Tinggi badan kamu jadi mubazir, Ko.”“Tapi, saya bisa main voli, Bu.”“Hah?! Serius? Kamu bisa mukul? Bisa nye-mash?”“Bisa, Bu. Memang itu spesialisnya saya di olah rag
Bab 183:Yang Datang Mencari “Ini rahasia, Mbak, dan hanya Bu Joyce saja yang boleh tahu.”“Sepenting apa sih?”“Sepenting..,” aku berpikir cepat. “Sepenting hidup seseorang.”“Sepenting hidup seseorang? Siapa?”“Hanya Ibu Joyce yang boleh tahu.”“Sayangnya, dia sedang tidak ada di rumah, Mas.”Dan, di sinilah jurusku berhasil membuat sang asisten ini keceplosan.“Waduh, sayang sekali, Ibu Joyce pasti lupa dengan saya. Pergi ke mana sih dia, Mbak?”“Ke pengajian.”Pengajian? Aku tersentak. Pe.., nga.., jian? Hah? Benarkah itu? Ah, aku sampai merinding mendengarnya. Benarkah Ibu Joyce mengikuti pengajian?“Pengajian apa, Mbak?”“Pengajian.., ah, sudahlah, nanti saya diomeli lagi sama Bu Joyce!”“Buk,
Bab 184:Nada Sambung Aku naik ke lantai atas sambil merogoh kantong celanaku, mengambil ponsel dan dan membuka daftar kontak. Aku mencari-cari seorang perempuan yang bernama Sudarwati di dalam memori kontakku.Sampai di kamar aku mengambil handuk lalu berjalan ke kamar mandi sambil tetap mencari nama kontak Sudarwati. Sampai di pintu kamar mandi, aku berhenti, masih mencari. Hingga akhirnya aku sampai pada satu kebuntuan. Tidak ada orang yang bernama Sudarwati di memori ponselku.Aku kemudian menyandarkan punggungku di samping pintu kamar mandi, terus mengutak-atik ponsel, membacai satu persatu nama kontak. Karena, tidak menutup kemungkinan bahwa Sudarwati ini adalah nama alias atau nama panjang dari seseorang yang selama ini hanya aku tahu nama pendeknya.Sudarwati, itu nama orang dari suku Jawa tentunya. Oh, iya, ada satu orang di kelasku waktu kuliah dulu yang sepertinya punya korelasi. Ibu jariku
Bab 185:Jejak Ibu, Di sini! Ibu Joyce yang kali ini memakai kaca mata, bukan lensa kontak, menatap wajahku dengan sorot mata yang menantang.“Apa? Apa yang tertinggal?” Tanya dia mulai kesal.Maka, ini adalah satu momen yang telah aku pikirkan sejak beberapa hari yang lalu, sejak aku bertemu kembali dengan Ibu Joyce di tokoku, sejak aku merasa penasaran bagaimana ia bisa mengalami banyak perubahan begini. Pertanyaan Ibu Joyce ini juga adalah sesuatu yang telah aku antisipasi sebelumnya. Sesuatu yang aku sendiri pun tidak mengerti, mengapa aku begitu ingin untuk bertemu dengannya, berbicara, berbincang, bertukar cerita, dan..,“Joko? Halo? Apa yang tertinggal?” Ibu Joyce bertanya lagi padaku, tanpa melepaskan tatapannya yang menusuk pada diriku yang menunduk.Aku kemudian balas menatap wajah Ibu Joyce yang bersinar seri dalam keanggunan hijabnya. Hatiku bergetar. Aku mena