Bab 180:Kucing Patah Hati “Assalamu’alaikum..,”Terdengar suara salam di depan pintu. Aku pun menoleh untuk melihat sosok yang..,Deg!Oh, Ya Allah.., copot jantungku! Lolos semua sendi dan tulang-tulangku, nafasku tercekat, aliran darahku terasa berhenti dan tubuhku mematung seakan dipaku ke bumi, saat aku melihat seorang wanita berhijab yang berhenti di depan situ untuk membuka sepatu. Kepalanya dan tubuhnya menunduk. Ujung baju terusan dan ujung hijabnya terjuntai hampir menyentuh lantai.Tiba-tiba aku merasa gugup dan takut. Tapi aneh, aku juga merasakan kegembiraan yang luar biasa dan itu tak terjelaskan dengan kata-kata. Karena dia, dia.., dia adalah Angel! Dia adalah Joyce Angelique yang beberapa hari lalu bertemu denganku di gerai. Maka benar, Angel dan Ibu Joyce adalah orang yang sama!Ibu Joyce
Bab 181:Semakin Kepo “Sakitkah? Kecelakaankah?”“Patah hati.”Oik..!! Kucing? Bisa patah hati? Terus mati?“Astaghfirullah. Kasihan sekali. Sampai segitunya, Bu?”“Suka-suka dialah!” Sahut Ibu Joyce ketus. “Mau mati, mau patah hati, mau minum racun bunuh diri, kalau dia sudah bosan hidup mau bagaimana lagi??”Maka, mati jugalah ideku untuk memancing Ibu Joyce supaya mau berbicara denganku. Aku bingung kehabisan kamus. Terus ditatap Ibu Joyce dengan sorot yang tajam, aku semakin bingung.Kemudian, Ibu Joyce balikkan badan dan dengan cepat meninggalkan aku menuju ke dalam. Sepertinya ia berhenti di ruang tengah. Aku sempat mendengar ia berbicara dengan seseorang. Bukan, bukan pembantunya yang membuka pagar tadi. Tetapi suaranya sangat lembut dan sangat keibuan. Mungkinkah itu ibunya? Entahlah. Aku memang tidak pern
Bab 182: Kenangan Dalam Lamunan Aku membaringkan tubuhku di atas kasur. Kedua tangan aku lipat di bawah kepala untuk meninggikan bantalku yang malam ini entah mengapa terasa kempes. Mungkin sekempes hatiku pasca ditolak untuk berbicara dengan Ibu Joyce tadi sore.Aku memejamkan mataku. Maka yang tampak dalam pandanganku adalah kegelapan. Tidak gelap seluruhnya, karena ada suatu bayangan yang entah bagaimana caranya bisa terbentang, menampilkan fragmen kenangan hidup yang pernah aku lalui. Yaitu, saat aku pertama kali bertemu dengan Ibu Joyce pada sesi wawancara kerja dulu.“Maaf, ini serius? Ini beneran? Asli?”“Iya, Bu, itu memang nama saya.”“Joko?”“Betul, Bu.”“Joko, hemm, Joko. Ngomong-ngomong tinggi badan kamu berapa, Ko?”“Seratus sembilan puluh senti, lebih kurang.”“Kamu bisa main basket?”“Tidak bisa, Bu.”“Tinggi badan kamu jadi mubazir, Ko.”“Tapi, saya bisa main voli, Bu.”“Hah?! Serius? Kamu bisa mukul? Bisa nye-mash?”“Bisa, Bu. Memang itu spesialisnya saya di olah rag
Bab 183:Yang Datang Mencari “Ini rahasia, Mbak, dan hanya Bu Joyce saja yang boleh tahu.”“Sepenting apa sih?”“Sepenting..,” aku berpikir cepat. “Sepenting hidup seseorang.”“Sepenting hidup seseorang? Siapa?”“Hanya Ibu Joyce yang boleh tahu.”“Sayangnya, dia sedang tidak ada di rumah, Mas.”Dan, di sinilah jurusku berhasil membuat sang asisten ini keceplosan.“Waduh, sayang sekali, Ibu Joyce pasti lupa dengan saya. Pergi ke mana sih dia, Mbak?”“Ke pengajian.”Pengajian? Aku tersentak. Pe.., nga.., jian? Hah? Benarkah itu? Ah, aku sampai merinding mendengarnya. Benarkah Ibu Joyce mengikuti pengajian?“Pengajian apa, Mbak?”“Pengajian.., ah, sudahlah, nanti saya diomeli lagi sama Bu Joyce!”“Buk,
Bab 184:Nada Sambung Aku naik ke lantai atas sambil merogoh kantong celanaku, mengambil ponsel dan dan membuka daftar kontak. Aku mencari-cari seorang perempuan yang bernama Sudarwati di dalam memori kontakku.Sampai di kamar aku mengambil handuk lalu berjalan ke kamar mandi sambil tetap mencari nama kontak Sudarwati. Sampai di pintu kamar mandi, aku berhenti, masih mencari. Hingga akhirnya aku sampai pada satu kebuntuan. Tidak ada orang yang bernama Sudarwati di memori ponselku.Aku kemudian menyandarkan punggungku di samping pintu kamar mandi, terus mengutak-atik ponsel, membacai satu persatu nama kontak. Karena, tidak menutup kemungkinan bahwa Sudarwati ini adalah nama alias atau nama panjang dari seseorang yang selama ini hanya aku tahu nama pendeknya.Sudarwati, itu nama orang dari suku Jawa tentunya. Oh, iya, ada satu orang di kelasku waktu kuliah dulu yang sepertinya punya korelasi. Ibu jariku
Bab 185:Jejak Ibu, Di sini! Ibu Joyce yang kali ini memakai kaca mata, bukan lensa kontak, menatap wajahku dengan sorot mata yang menantang.“Apa? Apa yang tertinggal?” Tanya dia mulai kesal.Maka, ini adalah satu momen yang telah aku pikirkan sejak beberapa hari yang lalu, sejak aku bertemu kembali dengan Ibu Joyce di tokoku, sejak aku merasa penasaran bagaimana ia bisa mengalami banyak perubahan begini. Pertanyaan Ibu Joyce ini juga adalah sesuatu yang telah aku antisipasi sebelumnya. Sesuatu yang aku sendiri pun tidak mengerti, mengapa aku begitu ingin untuk bertemu dengannya, berbicara, berbincang, bertukar cerita, dan..,“Joko? Halo? Apa yang tertinggal?” Ibu Joyce bertanya lagi padaku, tanpa melepaskan tatapannya yang menusuk pada diriku yang menunduk.Aku kemudian balas menatap wajah Ibu Joyce yang bersinar seri dalam keanggunan hijabnya. Hatiku bergetar. Aku mena
Bab 186:Lukisan Yang Hidup Rasa penasaran yang kudapat pasca disuruh pulang, ralat—diusir oleh Ibu Joyce membuat aku terus saja bertanya-tanya. Mengapa dia tidak mau berbicara denganku? Apa karena jawabanku tadi yang membuatnya tidak berkenan? Atau mungkin waktu yang bagi dia tidak mengizinkan akibat suatu kesibukan?Jika begitu, paling tidak dia bisa memberiku peluang. Sekadar untuk basa-basi juga tidak mengapa. Misalnya, dia bilang saja, “Bagaimana kalau besok?”, “Atau lusa?”, “Atau, minggu depan bagaimana?”. Iya, kan? Iya, kan?Kemudian satu hal lagi yang benar-benar membuatku tak habis pikir, adalah Ibu Joyce sampai tega memanggil petugas keamanan untuk menyuruhku pergi, ralat lagi—mengusir aku. Seakan-akan ia tidak pernah mengenalku. Seakan-akan aku ini adalah orang yang tidak pernah singgah di dalam hatinya. Seakan-akan ia tidak pernah mencintai aku. Seak
Bab 187:Cinta Yang Tak Terbilang “Astaghfirullahal adzim.., Mas Joko! Musibah apa lagi ini yang aku alami?? Mengapa nasibku menjadi begini?? Mengapa cobaan datang kepadaku tak henti-henti??”“Rasanya, aku seperti mendengar petir di siang bolong. Panas terik matahari tak ada mendung bahkan tak ada awan, tetapi guntur meledak dan menggelegar tepat di samping telingaku. Ini semua kualami ketika aku menerima telepon dari kampung halaman, yang memberi kabar kepadaku tentang sebuah kecelakaan yang dialami ibuku.”“Aku sedih, sedih sekali. Hatiku pilu, pilu sekali. Sontak saja aku menangis dan menjerit histeris di dalam kamarku. Chintya, yang kebetulan sedang menginap di rumahku sampai kesulitan untuk menghibur dan menenangkan aku.”“Sebuah dekapan dan pelukan dari seorang sahabat rupanya berhasil membuat aku tidak segera pitam. Chintya lalu membimbingku untuk duduk