Bab 184: Nada Sambung
Aku naik ke lantai atas sambil merogoh kantong celanaku, mengambil ponsel dan dan membuka daftar kontak. Aku mencari-cari seorang perempuan yang bernama Sudarwati di dalam memori kontakku.
Sampai di kamar aku mengambil handuk lalu berjalan ke kamar mandi sambil tetap mencari nama kontak Sudarwati. Sampai di pintu kamar mandi, aku berhenti, masih mencari. Hingga akhirnya aku sampai pada satu kebuntuan. Tidak ada orang yang bernama Sudarwati di memori ponselku.
Aku kemudian menyandarkan punggungku di samping pintu kamar mandi, terus mengutak-atik ponsel, membacai satu persatu nama kontak. Karena, tidak menutup kemungkinan bahwa Sudarwati ini adalah nama alias atau nama panjang dari seseorang yang selama ini hanya aku tahu nama pendeknya.
Sudarwati, itu nama orang dari suku Jawa tentunya. Oh, iya, ada satu orang di kelasku waktu kuliah dulu yang sepertinya punya korelasi. Ibu jariku
Bab 185:Jejak Ibu, Di sini! Ibu Joyce yang kali ini memakai kaca mata, bukan lensa kontak, menatap wajahku dengan sorot mata yang menantang.“Apa? Apa yang tertinggal?” Tanya dia mulai kesal.Maka, ini adalah satu momen yang telah aku pikirkan sejak beberapa hari yang lalu, sejak aku bertemu kembali dengan Ibu Joyce di tokoku, sejak aku merasa penasaran bagaimana ia bisa mengalami banyak perubahan begini. Pertanyaan Ibu Joyce ini juga adalah sesuatu yang telah aku antisipasi sebelumnya. Sesuatu yang aku sendiri pun tidak mengerti, mengapa aku begitu ingin untuk bertemu dengannya, berbicara, berbincang, bertukar cerita, dan..,“Joko? Halo? Apa yang tertinggal?” Ibu Joyce bertanya lagi padaku, tanpa melepaskan tatapannya yang menusuk pada diriku yang menunduk.Aku kemudian balas menatap wajah Ibu Joyce yang bersinar seri dalam keanggunan hijabnya. Hatiku bergetar. Aku mena
Bab 186:Lukisan Yang Hidup Rasa penasaran yang kudapat pasca disuruh pulang, ralat—diusir oleh Ibu Joyce membuat aku terus saja bertanya-tanya. Mengapa dia tidak mau berbicara denganku? Apa karena jawabanku tadi yang membuatnya tidak berkenan? Atau mungkin waktu yang bagi dia tidak mengizinkan akibat suatu kesibukan?Jika begitu, paling tidak dia bisa memberiku peluang. Sekadar untuk basa-basi juga tidak mengapa. Misalnya, dia bilang saja, “Bagaimana kalau besok?”, “Atau lusa?”, “Atau, minggu depan bagaimana?”. Iya, kan? Iya, kan?Kemudian satu hal lagi yang benar-benar membuatku tak habis pikir, adalah Ibu Joyce sampai tega memanggil petugas keamanan untuk menyuruhku pergi, ralat lagi—mengusir aku. Seakan-akan ia tidak pernah mengenalku. Seakan-akan aku ini adalah orang yang tidak pernah singgah di dalam hatinya. Seakan-akan ia tidak pernah mencintai aku. Seak
Bab 187:Cinta Yang Tak Terbilang “Astaghfirullahal adzim.., Mas Joko! Musibah apa lagi ini yang aku alami?? Mengapa nasibku menjadi begini?? Mengapa cobaan datang kepadaku tak henti-henti??”“Rasanya, aku seperti mendengar petir di siang bolong. Panas terik matahari tak ada mendung bahkan tak ada awan, tetapi guntur meledak dan menggelegar tepat di samping telingaku. Ini semua kualami ketika aku menerima telepon dari kampung halaman, yang memberi kabar kepadaku tentang sebuah kecelakaan yang dialami ibuku.”“Aku sedih, sedih sekali. Hatiku pilu, pilu sekali. Sontak saja aku menangis dan menjerit histeris di dalam kamarku. Chintya, yang kebetulan sedang menginap di rumahku sampai kesulitan untuk menghibur dan menenangkan aku.”“Sebuah dekapan dan pelukan dari seorang sahabat rupanya berhasil membuat aku tidak segera pitam. Chintya lalu membimbingku untuk duduk
Bab 188:Tidak Bisa Dicas “Ini, apa namanya ini?” Tanya Yana sambil menunjuk satu bagian yang ada di lukisan.“Hammock,” jawabku, “Atau, ah, sebut saja itu ayunan pantai.”“Nah, iya, ayunan pantai. Seolah-olah aku bisa melihat ada seorang perempuan yang berjalan ke sini, lalu duduk dan merebahkan diri di ayunan ini.”Aku lalu menengadahkan kepalaku, ikut memandangi lukisan itu dari posisi duduk di kursiku sendiri. Aku mengikuti alur berpikir Yana dan berusaha membayangkan apa yang ia terangkan tentang lukisan itu.Tidak ada, aku tidak merasakan suatu kesan apa pun seperti yang dirasakan oleh Yana. Bagiku, itu hanya sebuah lukisan usang yang kubeli dengan harga murah dari sebuah pasar loak. Itu hanya coretan kuas di atas kanvas, hasil karya seorang seniman yang tak memiliki nama atau pun alias, tidak juga julukan atau pun gelar.Luki
Bab 189: Tidak Bisa Dicas Lagi Selama beberapa kemudian, aku terus berusaha menelepon Ibu Joyce lewat nomor yang dulu kuberi nama kontak sebagai Jus Mengkudu. Aku tak peduli, meskipun nada sambung religinya mengingatkan aku pada.., mati!“Orang kaya mati, orang miskin mati, Raja-raja mati, rakyat biasa mati.., Semua pergi menghadap Ilahi..,” Aku juga tidak peduli, meskipun Ibu Joyce tidak pernah mengangkat teleponku, sehingga dengan demikian, grup band Wali itu menjadi leluasa menyebut-nyebutku..,“Orang kaya mati, orang miskin mati,Yang nikah mati, yang jomblo mati.., Yang perjaka mati, yang duda juga mati..,” Dua baris terakhir itu memang tidak ada pada lagu versi aslinya. Aku-nya saja yang terbawa suasana, menjadi ‘baper’, cengeng, dan meluaskan pemikiranku pada hal-hal yang semestinya tidak ada.Memasuki hari ketiga pasca kedatangan Yana, panggilan teleponku terhadap nomor Jus Mengkudu tetap saja tidak mendapat sambutan. Aku kemudian berpikir, barangkali karena nama Ibu Joy
Bab 190:Sudarwati “Ini orangnya yang bernama Sudarwati,” kata Pepen. Sudarwati?? Perempuan yang nomor kontaknya ada di ponselku tetapi tidak kutahu siapakah dia itu? Yang selama beberapa hari ini kucari tahu tetap saja tidak kutahu? Siapakah dia? Tanya hatiku yang sontak penasaran.“Oh, iya, saya segera ke depan,” sahutku. “Bilang ke dia, tunggu sebentar, ya. Saya mau cuci muka dulu.”“Iya, Mas.” Peden mengangguk, lalu kembali ke posnya di gerai depan.Aku duduk diam, dan menunggu, barangkali ada pembicaraan yang bisa kudengar antara Pepen dengan Sudarwati. Sayangnya, selain konfirmasi yang disampaikan Pepen dariku tadi, tidak ada pembicaraan lain. Padahal aku ingin mendengar suaranya lebih banyak lagi dan lebih jelas tentunya, supaya aku bisa mengidentifikasi perempuan itu lewat suaranya.Jika dia adalah Resti Amelia si kuntilanak i
Bab 191:Eternal Love Di kawasan Kepala Gading, di sebuah komplek perumahan mewah di bagian timur kota Bandar Baru..,Widuri, seorang gadis berjilbab coklat, asisten Joyce Angelique tampak sibuk dengan laptop dan berkas-berkas pekerjaannnya. Hari ini ia berkutat dengan banyaknya data-data administrasi dan keuangan. Lumayan membosankan, tapi ia pikir sepadan karena di banyak hari-hari kerjanya, lebih sering ia hanya duduk manis tanpa mengerjakan apa-apa.Sementara di meja yang lain, Joyce Angelique menarik layar laptop ke arah dirinya sendiri, melipat sedikit supaya tampilan layar tidak mengganggu pandangannya. Masih kurang puas, ia lantas menunduk, dan menumpukan keningnya pada dua tangan yang ia letakkan di atas meja.Joyce Angelique yang tampaknya merasa lelah, memejamkan mata supaya tidak bisa melihat apa-apa lagi selain kegelapan. Tetapi, serba salah, pikirnya. Di dalam kegelapan matanya yang terpe
Bab 192:Ada Udang Ada Petir Yana, dia akan ke sini! Mungkin sebentar lagi dia akan sampai. Lalu bagaimana jika Menuk dan Yana bertemu di sini? Gawat..!Tiba-tiba saja aku menjadi gugup. Namun, aku tetap berusaha untuk tidak kelihatan panik. Dalam waktu bersamaan aku juga berpikir keras, bagaimana caranya supaya Menuk dan Yana tidak bertemu di sini. Aku yang mengajak Menuk pergi? Atau aku yang mengirim pesan pada Yana supaya dia jangan datang karena aku punya urusan yang mendadak? Atau.., Menuk dan Yana, kedua-duanya aku nikahi? Eeehh.., alah! Dasar duda mentel! Umpatku dalam hati.“Bagaimana menurut kamu, Ko?” Tanya Menuk dengan pandangannya yang masih tertambat pada lukisan.“Bagaimana, eee.., bagaimana apanya?”“Menurut kamu, bagaimana pendapatku tadi tentang lukisan ini?”“Hebat, menurutku, hebat,” kataku sambil mengangguk-angguk. Aku pu