Bab 192: Ada Udang Ada Petir
Yana, dia akan ke sini! Mungkin sebentar lagi dia akan sampai. Lalu bagaimana jika Menuk dan Yana bertemu di sini? Gawat..!
Tiba-tiba saja aku menjadi gugup. Namun, aku tetap berusaha untuk tidak kelihatan panik. Dalam waktu bersamaan aku juga berpikir keras, bagaimana caranya supaya Menuk dan Yana tidak bertemu di sini. Aku yang mengajak Menuk pergi? Atau aku yang mengirim pesan pada Yana supaya dia jangan datang karena aku punya urusan yang mendadak? Atau.., Menuk dan Yana, kedua-duanya aku nikahi? Eeehh.., alah! Dasar duda mentel! Umpatku dalam hati.
“Bagaimana menurut kamu, Ko?” Tanya Menuk dengan pandangannya yang masih tertambat pada lukisan.
“Bagaimana, eee.., bagaimana apanya?”
“Menurut kamu, bagaimana pendapatku tadi tentang lukisan ini?”
“Hebat, menurutku, hebat,” kataku sambil mengangguk-angguk. Aku pu
Bab 193:Joko-ku! Joko-ku! Tiba-tiba saja Yana memekik keras.“Deeeerrr..!”Astaga naga.!! Astaghfirullah!! Copot jantungku copot-copot-copot!Aku terkejut sampai terlonjak. Menuk yang duduk di sampingku juga kompak. Ia terkejut dan juga ikut terlonjak. Saking terkejutnya, ia bahkan sampai menjatuhkan ponsel miliknya yang baru aku hidupkan tadi. Kemudian, dalam detik yang sama kami juga kompak menoleh pada asal suara petir yang ‘der’ tadi.Itu, itu dia wujudnya, Yana si dewi petir yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang menegang dan kaku.Sadar siapa yang datang, sontak saja wajah Menuk memerah. Ia memandangi Yana dengan mata yang melotot, penuh rasa tidak suka, seperti mau melompat dan menerkam saja. Yana juga tampak memerah wajahnya. Ia kelihatan begitu shocked, terkejut bukan kepalang dengan keberadaan Menuk di sini.Menuk dan Yana
Bab 194: Saung Syukurlah, perang dunia ketiga tidak terjadi. Menuk dan Yana sepakat untuk mengadakan gencatan senjata, katakanlah seperti itu. Tanpa harus berembug akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertikaian.“Yana, percayalah padaku. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Menuk.”Mendengar penjelasanku itu wajah Yana sontak bercahaya, lega nan bahagia. Ia merasa menang atas seterunya si Menuk Sudarwati, yang wajahnya mulai memucat dan kecewa.Kecewanya Menuk itu, mungkin karena ia yang mulai sadar, bahwa aku memiliki hubungan khusus dengan Yana. Akan tetapi, semua itu terpatahkan dengan..,“Dan Menuk..,” kataku lagi sambil menghadap Menuk. “Percayalah padaku. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Yana.”Sontak juga wajah Menuk berpendar berkilauan. Ia merasa senang, lega dan bahagia. Menyusul kemudian, Yana yang kecewa, malu, dan serba salah. Tadi ia mungkin merasa bahwa aku telah berpihak padanya. Ternyata tidak. Aku memang tidak berpihak kepada salah seorang pun di anta
Bab 195:Bidadari Di Bawah Saung “Kalau kamu mau bicara, bicaralah,” kata wanita berhijab di seberang situ.Entah apakah ia berbicara denganku, atau dengan orang lain. Tetapi, kata-katanya itu membuat aku menoleh dan menatap heran padanya. Momen ini bersamaan dengan dirinya yang menurunkan majalah yang tadi menutupi wajahnya.Aku terkejut setengah mati, karena ternyata, dia adalah.., Angel!Aku tercekat, seakan tidak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Sungguh aku tidak mengerti, bagaimana mungkin Ibu Joyce tiba-tiba bisa berada di saung ini? Cepat aku menoleh kanan dan kiri, mencari-cari mobil Ibu Joyce yang mungkin saja diparkir di sekitar taman. Tidak ada! Seingatku tadi mobil Ibu Joyce memang berada di dalam garasi. Hingga beberapa saat kemudian pertanyaan dalam hatiku ini pun tak terjawab.Aku memandang Ibu Joyce masih dengan sorot yang tidak percaya. Menerima tatapan
Bab 196:Menikah Lagi? “Kamu tidak berpikir untuk mencari pengganti, Ko? Kamu tidak berencana untuk menikah lagi?”“Saat ini, belum, Bu,” jawabku segan. Masih dengan rasa segan seperti yang dulu antara atasan dan bawahan.“Kenapa?”Aku hanya menggeleng pelan.“Masih trauma?”“Tidak juga.”“So?”“Hanya, emm, hanya belum menemukan calon yang cocok saja.”Ibu Joyce mengangguk-angguk, penuh wibawa. Ini adalah wibawa yang berbeda dengan yang terpancar dari dirinya dulu sebagai bosku. Mungkin serupa aura, atau pesona, atau marwah, yang menyinar dari keseluruhan ujudnya dan itu membuatku tidak berani berpikir kurang ajar.Aku bahkan tidak berani mengenang pada bagaimana dulu kami pernah terlentang bersama dan berpelukan di dalam sebuah kamar hotel. Secara naluriah, sekarang aku ingin m
Bab 197: Masih Waras? Joyce Angelique berlari di sepanjang jalur pejalan kaki dengan perasaan yang campur aduk. Tak ia hiraukan kedua kaki dan betisnya yang telah pegal. Tidak ia hiraukan juga nafasnya yang sudah tersengal-sengal. Ia terus berlari, semakin jauh meninggalkan saung dan taman, menuju rumah untuk kembali pulang. Pada jarak yang ia rasa sudah cukup jauh, ia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Sungguh ia merasa khawatir jika Joko mengejar dirinya. Syukurlah, ternyata lelaki itu tidak mengejar. Namun, anehnya, dan itu ganjil sekali, dalam lubuk hatinya yang paling dalam justru ia merasa ingin dikejar!Bagaimana ini bisa terjadi? Perasaan yang tak menentu ini? Paradoks sekali!“Ah, Joko, padahal aku ingin menghindari kamu. Tetapi, kenapa kita malah bertemu?” Joyce berkata-kata sendiri dalam hati.“Aku tahu ketika kamu datang ke rumahku tadi, Joko. Tepat ketika aku akan keluar rumah untuk melakukan jogging sore, aku melihat sosokmu berdiri di balik pagar. Aku sege
Bab 198:Kodok Memakai Mahkota Selama beberapa hari di kota kelahiran kita ini, Mas Joko, aku lebih sering tidur di rumah sakit daripada di rumah sendiri. Aku menjaga ibuku yang tetap terbaring dalam pingsannya. Sementara nenekku, menginap di rumah kami setelah kami menjemputnya beberapa hari yang lalu.Dalam menjaga Ibu aku memang tidak sendiri. Ada saudara atau kerabat yang selalu menemani aku secara bergantian. Setiap hari, aku akan pulang ke rumah untuk bersalin baju dan untuk keperluan-keperluan lainnya. Saat-saat pulang ke rumah itu aku selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan nenekku. Ada rasa pilu dalam hatiku, rasa rindu, dan juga rasa syahdu, manakala tangan nenekku yang telah renta menyentuh kepala dan mengelus rambutku. Kasihnya tidak berubah, masih sama seperti dulu, dan itu adalah kasih yang sama dengan ibu kandungku, yang pergi meninggalkan aku tepat ketika aku genap berusia dua
Bab 199: Sikat Dia! “Apa??”Alex terperangah. Sekonyong-konyong ia menegakkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Gerakannya yang tadi mau mengisap rokok pun terhenti di udara. Si asap rokok, bergerak meliuk ke atas melintasi wajah Alex yang terkejut.“Iya, Lex,” ujarku.“Kamu jatuh cinta pada Ibu Joyce??” Tanya Alex seakan tak percaya.“Iya,” sahutku.“Ibu Joyce mantan atasan kamu dulu??”“Iya.”“Mantan bos kamu dulu di Sinergi Waras??”“Laras, Lex, Laras. Yang betul itu Laras, bukan Waras.”“Iya, iya, itu maksudku. Kamu jatuh cinta sama mantan bos kamu di Sinergi Waras itu?”“Iya, aku jatuh cinta, tapi.., Sinergi Laras, bukan Sinergi Waras.” “Iya, itu maksudku, Sinergi Waras.”“Laras! Sinergi Laras! Bukan Sinergi Waras!”“Iya! WARAS, kaaan..??” Alex membentak.“LARAS! LAA.., RASS..!!” Aku balas membentak.“Memangnya tadi aku bilang apa??” Alex membentak lagi.“Kamu tadi bilang WARAS!” Balasku membentak lagi.“Masak sih??”“Iya!”“Ah, perasaanku tadi aku bilang LARAS, kok!”Sumpah
Bab 200:Bros Joyce Angelique sedang berada di dalam kamarnya. Ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang sahabat, memenuhi janjinya untuk bersilaturahmi. Itu adalah agendanya yang pertama. Lalu sore harinya, ia akan mengikuti sebuah pengajian pada sebuah pesantren yang diasuh oleh seorang ustadzah terkenal.Joyce hampir selesai mengenakan hijabnya. Satu ujung kain jilbab itu ia silangkan di leher, terus ke arah belakang hingga selanjutnya terjuntai di bawah punggungnya. Sementara ujung yang lain ia biarkan terjuntai di depan dada. Lalu, pertemuan persilangan di bawah lehernya itu, akan ia kait dengan tambahan asesoris berupa bros yang terbuat dari rangkaian mutiara.Joyce membuka laci meja rias untuk mengambil bros itu. Ternyata, tidak ada. Ia membuka laci yang lain, dan tetap tidak menemui bros yang ia inginkan. Pandangan matanya mengedar di sekitar meja rias. Pikirnya, mungkin saja bros itu tergel
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.