Bab 196: Menikah Lagi?
“Kamu tidak berpikir untuk mencari pengganti, Ko? Kamu tidak berencana untuk menikah lagi?”
“Saat ini, belum, Bu,” jawabku segan. Masih dengan rasa segan seperti yang dulu antara atasan dan bawahan.
“Kenapa?”
Aku hanya menggeleng pelan.
“Masih trauma?”
“Tidak juga.”
“So?”
“Hanya, emm, hanya belum menemukan calon yang cocok saja.”
Ibu Joyce mengangguk-angguk, penuh wibawa. Ini adalah wibawa yang berbeda dengan yang terpancar dari dirinya dulu sebagai bosku. Mungkin serupa aura, atau pesona, atau marwah, yang menyinar dari keseluruhan ujudnya dan itu membuatku tidak berani berpikir kurang ajar.
Aku bahkan tidak berani mengenang pada bagaimana dulu kami pernah terlentang bersama dan berpelukan di dalam sebuah kamar hotel. Secara naluriah, sekarang aku ingin m
Bab 197: Masih Waras? Joyce Angelique berlari di sepanjang jalur pejalan kaki dengan perasaan yang campur aduk. Tak ia hiraukan kedua kaki dan betisnya yang telah pegal. Tidak ia hiraukan juga nafasnya yang sudah tersengal-sengal. Ia terus berlari, semakin jauh meninggalkan saung dan taman, menuju rumah untuk kembali pulang. Pada jarak yang ia rasa sudah cukup jauh, ia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Sungguh ia merasa khawatir jika Joko mengejar dirinya. Syukurlah, ternyata lelaki itu tidak mengejar. Namun, anehnya, dan itu ganjil sekali, dalam lubuk hatinya yang paling dalam justru ia merasa ingin dikejar!Bagaimana ini bisa terjadi? Perasaan yang tak menentu ini? Paradoks sekali!“Ah, Joko, padahal aku ingin menghindari kamu. Tetapi, kenapa kita malah bertemu?” Joyce berkata-kata sendiri dalam hati.“Aku tahu ketika kamu datang ke rumahku tadi, Joko. Tepat ketika aku akan keluar rumah untuk melakukan jogging sore, aku melihat sosokmu berdiri di balik pagar. Aku sege
Bab 198:Kodok Memakai Mahkota Selama beberapa hari di kota kelahiran kita ini, Mas Joko, aku lebih sering tidur di rumah sakit daripada di rumah sendiri. Aku menjaga ibuku yang tetap terbaring dalam pingsannya. Sementara nenekku, menginap di rumah kami setelah kami menjemputnya beberapa hari yang lalu.Dalam menjaga Ibu aku memang tidak sendiri. Ada saudara atau kerabat yang selalu menemani aku secara bergantian. Setiap hari, aku akan pulang ke rumah untuk bersalin baju dan untuk keperluan-keperluan lainnya. Saat-saat pulang ke rumah itu aku selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan nenekku. Ada rasa pilu dalam hatiku, rasa rindu, dan juga rasa syahdu, manakala tangan nenekku yang telah renta menyentuh kepala dan mengelus rambutku. Kasihnya tidak berubah, masih sama seperti dulu, dan itu adalah kasih yang sama dengan ibu kandungku, yang pergi meninggalkan aku tepat ketika aku genap berusia dua
Bab 199: Sikat Dia! “Apa??”Alex terperangah. Sekonyong-konyong ia menegakkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Gerakannya yang tadi mau mengisap rokok pun terhenti di udara. Si asap rokok, bergerak meliuk ke atas melintasi wajah Alex yang terkejut.“Iya, Lex,” ujarku.“Kamu jatuh cinta pada Ibu Joyce??” Tanya Alex seakan tak percaya.“Iya,” sahutku.“Ibu Joyce mantan atasan kamu dulu??”“Iya.”“Mantan bos kamu dulu di Sinergi Waras??”“Laras, Lex, Laras. Yang betul itu Laras, bukan Waras.”“Iya, iya, itu maksudku. Kamu jatuh cinta sama mantan bos kamu di Sinergi Waras itu?”“Iya, aku jatuh cinta, tapi.., Sinergi Laras, bukan Sinergi Waras.” “Iya, itu maksudku, Sinergi Waras.”“Laras! Sinergi Laras! Bukan Sinergi Waras!”“Iya! WARAS, kaaan..??” Alex membentak.“LARAS! LAA.., RASS..!!” Aku balas membentak.“Memangnya tadi aku bilang apa??” Alex membentak lagi.“Kamu tadi bilang WARAS!” Balasku membentak lagi.“Masak sih??”“Iya!”“Ah, perasaanku tadi aku bilang LARAS, kok!”Sumpah
Bab 200:Bros Joyce Angelique sedang berada di dalam kamarnya. Ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang sahabat, memenuhi janjinya untuk bersilaturahmi. Itu adalah agendanya yang pertama. Lalu sore harinya, ia akan mengikuti sebuah pengajian pada sebuah pesantren yang diasuh oleh seorang ustadzah terkenal.Joyce hampir selesai mengenakan hijabnya. Satu ujung kain jilbab itu ia silangkan di leher, terus ke arah belakang hingga selanjutnya terjuntai di bawah punggungnya. Sementara ujung yang lain ia biarkan terjuntai di depan dada. Lalu, pertemuan persilangan di bawah lehernya itu, akan ia kait dengan tambahan asesoris berupa bros yang terbuat dari rangkaian mutiara.Joyce membuka laci meja rias untuk mengambil bros itu. Ternyata, tidak ada. Ia membuka laci yang lain, dan tetap tidak menemui bros yang ia inginkan. Pandangan matanya mengedar di sekitar meja rias. Pikirnya, mungkin saja bros itu tergel
Bab 201:Persetimbangan Energi “To the point saja, Joko. Saya sedang ada keperluan lain. Apa yang kamu inginkan dari saya?” Tanya Joyce tanpa tedeng aling-aling.“Begini, Bu..,”Serentak saja Joyce Angelique menarik nafas yang dalam. Dipasangnya juga konsentrasi penuh untuk menyimak penuturan seorang lelaki yang pernah membuat hatinya kisruh. Masih, sampai sekarang juga masih membuatnya kisruh.Menyahuti suara Joko dari seberang sana, Joyce pun berkata-kata dengan sangat antusias. Tampak raut cantik manisnya yang terkejut. Tampak pula parasnya yang pias dan gugup. Sesekali ia mendebat, menolak dan tak jarang ia terpaksa harus menyahut dengan sedikit sarkastik.Saking seriusnya, Joyce bahkan sampai berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya. Sebentar ia berdiri di depan jendela, sebentar kemudian ia duduk di meja rias. Menyusul kemudian ia bangkit dan berjalan hilir-m
Bab 202:Sebelum Berubah Pikiran Hening.., bisu..,Joyce menundukkan kepala. Matanya yang berlinang menatap lekat pada sampul depan novel Eternal Love yang kini ia pegang dengan tangan yang gemetaran. Lalu, seiring dengan jarinya yang menekan tepian buku sehingga setiap helai kertasnya berbalikan dari kanan ke kiri, ia pun terlempar pada masa lalunya yang telah tersembunyi di lipatan waktu.Benar, Joyce memang pernah mencintai Joko, dan ia telah mengakui itu. Tetapi, itu dulu, sebelum ia berhijrah pada kehidupannya sebagai muslimah sekarang ini. Segala polemik hatinya yang disebabkan asmara durjana pada orang yang dulu adalah bawahannya, telah ia buang jauh-jauh.Demi Allah, dan demi apa pun, Joyce tidak lagi mencintai lelaki bernama Joko ini. Settingan hatinya sekarang berada pada posisi ‘default’, tidak ingin memiliki dan tidak ingin dimiliki oleh siapa pun. Itu sebabnya, ketika
Bab 203: Segenting Buka Tiga “Assalamu alaikum.” Itu adalah salam pamit dariku.“Waalaikum salam.” Dan itu adalah sahutan Angel dari seberang sana.Panggilan pun berakhir, meninggalkan sensasi dahsyat yang luar biasa tak terkira-kira di dalam hatiku ini. Rasa bahagiaku begitu membuncah, senangku tak terbilang, dan gembiraku tak cukup termuati oleh sebanyak-banyak kata pun yang ada di dunia ini. Beberapa saat aku masih menunduk, memandangi layar ponselku sambil tersenyum. Hingga berselang lima menit kemudian, aku masih saja belum melepaskan pandanganku dari nama Angel di layar ponsel beserta rincian durasi panggilan telepon yang tadi aku lakukan.Aku seperti orang linglung, tapi linglung ini dari jenis yang menyenangkan. Aku serupa orang bermimpi yang mendapatkan segantang emas dalam genggaman tangan, lalu ketika terbangun emas yang segantang itu ada di tanganku.Wuih! Mimpikah ini? Tanyaku dalam hati. Ya Allah, apakah aku bermimpi? Tanyaku lagi, masih tidak percaya dengan hasil pe
Bab 204: Dag-dig-dug! Walaupun aku bisa dan berani melamar Angel seorang diri saja, akan tetapi menurut pertimbangan moralku itu tidak etis. Betul, bukan? Seyogyanya aku memang membawa pendamping, baik itu keluarga, kerabat, atau sahabat, pokoknya siapa pun yang mempunyai hubungan dekat denganku. Untuk menunjukkan bahwa aku adalah orang yang baik, berasal dari suatu komunitas sosial yang baik, dan aku diterima dengan baik di lingkungan sosial itu. Begitu, bukan?Beres menelepon si Alexander alias Alex keriting itu, aku pun menelepon Mas Yadin. Aku butuh seseorang seperti dia untuk memperkuat mentalku. Dalam hal ini, katakanlah, aku menganggap dia sebagai kakak laki-lakiku. Namun sayang, ia tidak bisa menemani aku untuk melamar Angel nanti malam. Dia bilang, sedang berdinas di luar kota. Intinya, itu adalah tugas negara. Baiklah, aku mengerti, kedaulatan NKRI memang harga mati.Aku kemudian menelepon.., aduh, siapa