Bab 198: Kodok Memakai Mahkota
Selama beberapa hari di kota kelahiran kita ini, Mas Joko, aku lebih sering tidur di rumah sakit daripada di rumah sendiri. Aku menjaga ibuku yang tetap terbaring dalam pingsannya. Sementara nenekku, menginap di rumah kami setelah kami menjemputnya beberapa hari yang lalu.
Dalam menjaga Ibu aku memang tidak sendiri. Ada saudara atau kerabat yang selalu menemani aku secara bergantian. Setiap hari, aku akan pulang ke rumah untuk bersalin baju dan untuk keperluan-keperluan lainnya. Saat-saat pulang ke rumah itu aku selalu menyempatkan diri untuk berbincang dengan nenekku.
Ada rasa pilu dalam hatiku, rasa rindu, dan juga rasa syahdu, manakala tangan nenekku yang telah renta menyentuh kepala dan mengelus rambutku. Kasihnya tidak berubah, masih sama seperti dulu, dan itu adalah kasih yang sama dengan ibu kandungku, yang pergi meninggalkan aku tepat ketika aku genap berusia dua
Bab 199: Sikat Dia! “Apa??”Alex terperangah. Sekonyong-konyong ia menegakkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki. Gerakannya yang tadi mau mengisap rokok pun terhenti di udara. Si asap rokok, bergerak meliuk ke atas melintasi wajah Alex yang terkejut.“Iya, Lex,” ujarku.“Kamu jatuh cinta pada Ibu Joyce??” Tanya Alex seakan tak percaya.“Iya,” sahutku.“Ibu Joyce mantan atasan kamu dulu??”“Iya.”“Mantan bos kamu dulu di Sinergi Waras??”“Laras, Lex, Laras. Yang betul itu Laras, bukan Waras.”“Iya, iya, itu maksudku. Kamu jatuh cinta sama mantan bos kamu di Sinergi Waras itu?”“Iya, aku jatuh cinta, tapi.., Sinergi Laras, bukan Sinergi Waras.” “Iya, itu maksudku, Sinergi Waras.”“Laras! Sinergi Laras! Bukan Sinergi Waras!”“Iya! WARAS, kaaan..??” Alex membentak.“LARAS! LAA.., RASS..!!” Aku balas membentak.“Memangnya tadi aku bilang apa??” Alex membentak lagi.“Kamu tadi bilang WARAS!” Balasku membentak lagi.“Masak sih??”“Iya!”“Ah, perasaanku tadi aku bilang LARAS, kok!”Sumpah
Bab 200:Bros Joyce Angelique sedang berada di dalam kamarnya. Ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang sahabat, memenuhi janjinya untuk bersilaturahmi. Itu adalah agendanya yang pertama. Lalu sore harinya, ia akan mengikuti sebuah pengajian pada sebuah pesantren yang diasuh oleh seorang ustadzah terkenal.Joyce hampir selesai mengenakan hijabnya. Satu ujung kain jilbab itu ia silangkan di leher, terus ke arah belakang hingga selanjutnya terjuntai di bawah punggungnya. Sementara ujung yang lain ia biarkan terjuntai di depan dada. Lalu, pertemuan persilangan di bawah lehernya itu, akan ia kait dengan tambahan asesoris berupa bros yang terbuat dari rangkaian mutiara.Joyce membuka laci meja rias untuk mengambil bros itu. Ternyata, tidak ada. Ia membuka laci yang lain, dan tetap tidak menemui bros yang ia inginkan. Pandangan matanya mengedar di sekitar meja rias. Pikirnya, mungkin saja bros itu tergel
Bab 201:Persetimbangan Energi “To the point saja, Joko. Saya sedang ada keperluan lain. Apa yang kamu inginkan dari saya?” Tanya Joyce tanpa tedeng aling-aling.“Begini, Bu..,”Serentak saja Joyce Angelique menarik nafas yang dalam. Dipasangnya juga konsentrasi penuh untuk menyimak penuturan seorang lelaki yang pernah membuat hatinya kisruh. Masih, sampai sekarang juga masih membuatnya kisruh.Menyahuti suara Joko dari seberang sana, Joyce pun berkata-kata dengan sangat antusias. Tampak raut cantik manisnya yang terkejut. Tampak pula parasnya yang pias dan gugup. Sesekali ia mendebat, menolak dan tak jarang ia terpaksa harus menyahut dengan sedikit sarkastik.Saking seriusnya, Joyce bahkan sampai berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya. Sebentar ia berdiri di depan jendela, sebentar kemudian ia duduk di meja rias. Menyusul kemudian ia bangkit dan berjalan hilir-m
Bab 202:Sebelum Berubah Pikiran Hening.., bisu..,Joyce menundukkan kepala. Matanya yang berlinang menatap lekat pada sampul depan novel Eternal Love yang kini ia pegang dengan tangan yang gemetaran. Lalu, seiring dengan jarinya yang menekan tepian buku sehingga setiap helai kertasnya berbalikan dari kanan ke kiri, ia pun terlempar pada masa lalunya yang telah tersembunyi di lipatan waktu.Benar, Joyce memang pernah mencintai Joko, dan ia telah mengakui itu. Tetapi, itu dulu, sebelum ia berhijrah pada kehidupannya sebagai muslimah sekarang ini. Segala polemik hatinya yang disebabkan asmara durjana pada orang yang dulu adalah bawahannya, telah ia buang jauh-jauh.Demi Allah, dan demi apa pun, Joyce tidak lagi mencintai lelaki bernama Joko ini. Settingan hatinya sekarang berada pada posisi ‘default’, tidak ingin memiliki dan tidak ingin dimiliki oleh siapa pun. Itu sebabnya, ketika
Bab 203: Segenting Buka Tiga “Assalamu alaikum.” Itu adalah salam pamit dariku.“Waalaikum salam.” Dan itu adalah sahutan Angel dari seberang sana.Panggilan pun berakhir, meninggalkan sensasi dahsyat yang luar biasa tak terkira-kira di dalam hatiku ini. Rasa bahagiaku begitu membuncah, senangku tak terbilang, dan gembiraku tak cukup termuati oleh sebanyak-banyak kata pun yang ada di dunia ini. Beberapa saat aku masih menunduk, memandangi layar ponselku sambil tersenyum. Hingga berselang lima menit kemudian, aku masih saja belum melepaskan pandanganku dari nama Angel di layar ponsel beserta rincian durasi panggilan telepon yang tadi aku lakukan.Aku seperti orang linglung, tapi linglung ini dari jenis yang menyenangkan. Aku serupa orang bermimpi yang mendapatkan segantang emas dalam genggaman tangan, lalu ketika terbangun emas yang segantang itu ada di tanganku.Wuih! Mimpikah ini? Tanyaku dalam hati. Ya Allah, apakah aku bermimpi? Tanyaku lagi, masih tidak percaya dengan hasil pe
Bab 204: Dag-dig-dug! Walaupun aku bisa dan berani melamar Angel seorang diri saja, akan tetapi menurut pertimbangan moralku itu tidak etis. Betul, bukan? Seyogyanya aku memang membawa pendamping, baik itu keluarga, kerabat, atau sahabat, pokoknya siapa pun yang mempunyai hubungan dekat denganku. Untuk menunjukkan bahwa aku adalah orang yang baik, berasal dari suatu komunitas sosial yang baik, dan aku diterima dengan baik di lingkungan sosial itu. Begitu, bukan?Beres menelepon si Alexander alias Alex keriting itu, aku pun menelepon Mas Yadin. Aku butuh seseorang seperti dia untuk memperkuat mentalku. Dalam hal ini, katakanlah, aku menganggap dia sebagai kakak laki-lakiku. Namun sayang, ia tidak bisa menemani aku untuk melamar Angel nanti malam. Dia bilang, sedang berdinas di luar kota. Intinya, itu adalah tugas negara. Baiklah, aku mengerti, kedaulatan NKRI memang harga mati.Aku kemudian menelepon.., aduh, siapa
Bab 205: Aku Cinta Kamu, Bu “Joyce Angelique putriku.., apakah kamu bersedia menerima Joko sebagai suamimu?”Angel diam. Beberapa detik tetap diam. Membuat jantungku dag-dig-dug tak keruan!Maka, di sinilah berlangsung sebuah momen yang hening. Para orang-orang tua yang ada di ruangan tamu ini rupanya sudah sama-sama mafhum pada satu kondisi, di mana etika dan keluhuran budi pekerti bahkan dapat dimengerti hanya dengan berdiam diri. Diamnya seorang gadis ketika dikhitbah atau dilamar, maka itu berarti kerelaannya, atau persetujuannya, atau dengan kata lain, dia menerima. Lalu bagaimana dengan Angel yang notabene adalah seorang janda? Ia punya hak untuk berbicara. Namun, kendatipun ia punya hak untuk menentukan sikap, jika ia hanya diam, maka itu juga berarti kerelaannya!Angel yang sudah kenyang mengikuti kajian-kajian agama itu cukup mengerti akan hal itu. Maka, ia tak perlu bersuara untuk menyatakan kesediaannya. Akan tetapi, lihatlah di situ, ia menunduk, dan pelan-pelan mengang
Bab 206:Kisah Dari Pelarian “Kamu masih ingat aku, Mas?” Tanya wanita itu dengan suara dan bibirnya yang bergetar, dengan matanya yang berlinangan, dan dengan paras wajahnya yang mengurai kesedihan.Aku terkejut bukan kepalang. Sungguh aku tidak menyangka bahwa wanita yang telah aku lupakan ini akan hadir di hadapanku. Beberapa saat aku tercekat dan tak mampu bereaksi untuk menyambutnya secara wajar. Aku berdiam diri pada beberapa detik yang memberiku banyak pilihan. Mengusirnya? Atau menyambutnya? Mendampratnya? Atau menyanjungnya?Aku juga berpikir pada banyaknya skenario hidup yang bisa menunjukkan, dan membawa pula wanita ini datang ke rukoku. Bagaimana dia bisa tahu alamatku di sini? Lalu bagaimana pula dia mampu menebal-nebalkan mukanya supaya sanggup menahan coretan aib, bagaimana dia bisa memotong urat malu di lehernya dan bagaimana mungkin dia bisa sanggup untuk berdiri di hadapanku? Men
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.