Bab 200:Bros Joyce Angelique sedang berada di dalam kamarnya. Ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah seorang sahabat, memenuhi janjinya untuk bersilaturahmi. Itu adalah agendanya yang pertama. Lalu sore harinya, ia akan mengikuti sebuah pengajian pada sebuah pesantren yang diasuh oleh seorang ustadzah terkenal.Joyce hampir selesai mengenakan hijabnya. Satu ujung kain jilbab itu ia silangkan di leher, terus ke arah belakang hingga selanjutnya terjuntai di bawah punggungnya. Sementara ujung yang lain ia biarkan terjuntai di depan dada. Lalu, pertemuan persilangan di bawah lehernya itu, akan ia kait dengan tambahan asesoris berupa bros yang terbuat dari rangkaian mutiara.Joyce membuka laci meja rias untuk mengambil bros itu. Ternyata, tidak ada. Ia membuka laci yang lain, dan tetap tidak menemui bros yang ia inginkan. Pandangan matanya mengedar di sekitar meja rias. Pikirnya, mungkin saja bros itu tergel
Bab 201:Persetimbangan Energi “To the point saja, Joko. Saya sedang ada keperluan lain. Apa yang kamu inginkan dari saya?” Tanya Joyce tanpa tedeng aling-aling.“Begini, Bu..,”Serentak saja Joyce Angelique menarik nafas yang dalam. Dipasangnya juga konsentrasi penuh untuk menyimak penuturan seorang lelaki yang pernah membuat hatinya kisruh. Masih, sampai sekarang juga masih membuatnya kisruh.Menyahuti suara Joko dari seberang sana, Joyce pun berkata-kata dengan sangat antusias. Tampak raut cantik manisnya yang terkejut. Tampak pula parasnya yang pias dan gugup. Sesekali ia mendebat, menolak dan tak jarang ia terpaksa harus menyahut dengan sedikit sarkastik.Saking seriusnya, Joyce bahkan sampai berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya. Sebentar ia berdiri di depan jendela, sebentar kemudian ia duduk di meja rias. Menyusul kemudian ia bangkit dan berjalan hilir-m
Bab 202:Sebelum Berubah Pikiran Hening.., bisu..,Joyce menundukkan kepala. Matanya yang berlinang menatap lekat pada sampul depan novel Eternal Love yang kini ia pegang dengan tangan yang gemetaran. Lalu, seiring dengan jarinya yang menekan tepian buku sehingga setiap helai kertasnya berbalikan dari kanan ke kiri, ia pun terlempar pada masa lalunya yang telah tersembunyi di lipatan waktu.Benar, Joyce memang pernah mencintai Joko, dan ia telah mengakui itu. Tetapi, itu dulu, sebelum ia berhijrah pada kehidupannya sebagai muslimah sekarang ini. Segala polemik hatinya yang disebabkan asmara durjana pada orang yang dulu adalah bawahannya, telah ia buang jauh-jauh.Demi Allah, dan demi apa pun, Joyce tidak lagi mencintai lelaki bernama Joko ini. Settingan hatinya sekarang berada pada posisi ‘default’, tidak ingin memiliki dan tidak ingin dimiliki oleh siapa pun. Itu sebabnya, ketika
Bab 203: Segenting Buka Tiga “Assalamu alaikum.” Itu adalah salam pamit dariku.“Waalaikum salam.” Dan itu adalah sahutan Angel dari seberang sana.Panggilan pun berakhir, meninggalkan sensasi dahsyat yang luar biasa tak terkira-kira di dalam hatiku ini. Rasa bahagiaku begitu membuncah, senangku tak terbilang, dan gembiraku tak cukup termuati oleh sebanyak-banyak kata pun yang ada di dunia ini. Beberapa saat aku masih menunduk, memandangi layar ponselku sambil tersenyum. Hingga berselang lima menit kemudian, aku masih saja belum melepaskan pandanganku dari nama Angel di layar ponsel beserta rincian durasi panggilan telepon yang tadi aku lakukan.Aku seperti orang linglung, tapi linglung ini dari jenis yang menyenangkan. Aku serupa orang bermimpi yang mendapatkan segantang emas dalam genggaman tangan, lalu ketika terbangun emas yang segantang itu ada di tanganku.Wuih! Mimpikah ini? Tanyaku dalam hati. Ya Allah, apakah aku bermimpi? Tanyaku lagi, masih tidak percaya dengan hasil pe
Bab 204: Dag-dig-dug! Walaupun aku bisa dan berani melamar Angel seorang diri saja, akan tetapi menurut pertimbangan moralku itu tidak etis. Betul, bukan? Seyogyanya aku memang membawa pendamping, baik itu keluarga, kerabat, atau sahabat, pokoknya siapa pun yang mempunyai hubungan dekat denganku. Untuk menunjukkan bahwa aku adalah orang yang baik, berasal dari suatu komunitas sosial yang baik, dan aku diterima dengan baik di lingkungan sosial itu. Begitu, bukan?Beres menelepon si Alexander alias Alex keriting itu, aku pun menelepon Mas Yadin. Aku butuh seseorang seperti dia untuk memperkuat mentalku. Dalam hal ini, katakanlah, aku menganggap dia sebagai kakak laki-lakiku. Namun sayang, ia tidak bisa menemani aku untuk melamar Angel nanti malam. Dia bilang, sedang berdinas di luar kota. Intinya, itu adalah tugas negara. Baiklah, aku mengerti, kedaulatan NKRI memang harga mati.Aku kemudian menelepon.., aduh, siapa
Bab 205: Aku Cinta Kamu, Bu “Joyce Angelique putriku.., apakah kamu bersedia menerima Joko sebagai suamimu?”Angel diam. Beberapa detik tetap diam. Membuat jantungku dag-dig-dug tak keruan!Maka, di sinilah berlangsung sebuah momen yang hening. Para orang-orang tua yang ada di ruangan tamu ini rupanya sudah sama-sama mafhum pada satu kondisi, di mana etika dan keluhuran budi pekerti bahkan dapat dimengerti hanya dengan berdiam diri. Diamnya seorang gadis ketika dikhitbah atau dilamar, maka itu berarti kerelaannya, atau persetujuannya, atau dengan kata lain, dia menerima. Lalu bagaimana dengan Angel yang notabene adalah seorang janda? Ia punya hak untuk berbicara. Namun, kendatipun ia punya hak untuk menentukan sikap, jika ia hanya diam, maka itu juga berarti kerelaannya!Angel yang sudah kenyang mengikuti kajian-kajian agama itu cukup mengerti akan hal itu. Maka, ia tak perlu bersuara untuk menyatakan kesediaannya. Akan tetapi, lihatlah di situ, ia menunduk, dan pelan-pelan mengang
Bab 206:Kisah Dari Pelarian “Kamu masih ingat aku, Mas?” Tanya wanita itu dengan suara dan bibirnya yang bergetar, dengan matanya yang berlinangan, dan dengan paras wajahnya yang mengurai kesedihan.Aku terkejut bukan kepalang. Sungguh aku tidak menyangka bahwa wanita yang telah aku lupakan ini akan hadir di hadapanku. Beberapa saat aku tercekat dan tak mampu bereaksi untuk menyambutnya secara wajar. Aku berdiam diri pada beberapa detik yang memberiku banyak pilihan. Mengusirnya? Atau menyambutnya? Mendampratnya? Atau menyanjungnya?Aku juga berpikir pada banyaknya skenario hidup yang bisa menunjukkan, dan membawa pula wanita ini datang ke rukoku. Bagaimana dia bisa tahu alamatku di sini? Lalu bagaimana pula dia mampu menebal-nebalkan mukanya supaya sanggup menahan coretan aib, bagaimana dia bisa memotong urat malu di lehernya dan bagaimana mungkin dia bisa sanggup untuk berdiri di hadapanku? Men
Bab 207: Gugur “Mas Joko, Pangeran Kodokku.., aku tidak tahu di mana kamu berada, dan aku tidak tahu sedikit pun kabar tentang kamu. Pastinya, aku terus saja memikirkan kamu setelah ibuku menceritakan kisah yang sebenarnya tentang kamu.”“Maafkan aku Mas Joko. Aku mohon, maafkanlah aku karena telah berusaha untuk membenci kamu. Kamu tahu kan, Mas, bahwa aku tak pernah berhasil melakukannya? Sumpah demi janin yang ada di rahimku ini, aku tak pernah berhasil membenci kamu. Yang ada adalah.., aku semakin rindu!”“Mas Joko.., cobaan datang silih berganti, seperti tidak mau berhenti. Hal-hal yang terjadi belakangan ini dalam kehidupanku benar-benar telah membuatku depresi. Terkait kamu, itu ada di sisi neraca hatiku yang berbeda dan betul, itu amat menyiksaku.””Kemudian terkait ibuku, itu benar-benar melahirkan semacam, atau sesuatu.., oh, apakah namanya perasaan ini? A