Bab 206: Kisah Dari Pelarian
“Kamu masih ingat aku, Mas?” Tanya wanita itu dengan suara dan bibirnya yang bergetar, dengan matanya yang berlinangan, dan dengan paras wajahnya yang mengurai kesedihan.
Aku terkejut bukan kepalang. Sungguh aku tidak menyangka bahwa wanita yang telah aku lupakan ini akan hadir di hadapanku. Beberapa saat aku tercekat dan tak mampu bereaksi untuk menyambutnya secara wajar. Aku berdiam diri pada beberapa detik yang memberiku banyak pilihan. Mengusirnya? Atau menyambutnya? Mendampratnya? Atau menyanjungnya?
Aku juga berpikir pada banyaknya skenario hidup yang bisa menunjukkan, dan membawa pula wanita ini datang ke rukoku. Bagaimana dia bisa tahu alamatku di sini? Lalu bagaimana pula dia mampu menebal-nebalkan mukanya supaya sanggup menahan coretan aib, bagaimana dia bisa memotong urat malu di lehernya dan bagaimana mungkin dia bisa sanggup untuk berdiri di hadapanku? Men
Bab 207: Gugur “Mas Joko, Pangeran Kodokku.., aku tidak tahu di mana kamu berada, dan aku tidak tahu sedikit pun kabar tentang kamu. Pastinya, aku terus saja memikirkan kamu setelah ibuku menceritakan kisah yang sebenarnya tentang kamu.”“Maafkan aku Mas Joko. Aku mohon, maafkanlah aku karena telah berusaha untuk membenci kamu. Kamu tahu kan, Mas, bahwa aku tak pernah berhasil melakukannya? Sumpah demi janin yang ada di rahimku ini, aku tak pernah berhasil membenci kamu. Yang ada adalah.., aku semakin rindu!”“Mas Joko.., cobaan datang silih berganti, seperti tidak mau berhenti. Hal-hal yang terjadi belakangan ini dalam kehidupanku benar-benar telah membuatku depresi. Terkait kamu, itu ada di sisi neraca hatiku yang berbeda dan betul, itu amat menyiksaku.””Kemudian terkait ibuku, itu benar-benar melahirkan semacam, atau sesuatu.., oh, apakah namanya perasaan ini? A
Bab 208: Kesempatan Kedua? “Maafkan aku, Mas.., aku mohooon.., maafkan aku..,”Tangisan yang mengiba, meratap lagi nestapa Resti ini, tidak bisa tidak, telah membuat hatiku bergetar! Aku tersentuh. Entah apakah ini kekuatan magis dari tangisan seorang wanita, aku pun terdiam menyimaknya, lalu menekur.Alam pikiranku kemudian terbang secepat peluru ke masa lalu. Tiba-tiba aku terkenang pada bagaimana dulu aku dan Resti bertemu, berkenalan, kemudian berpacaran, lalu.., huh! Aku menepis semua bayangan yang menggoda itu dengan menggeleng-gelengkan kepalaku.Demi Tuhan, aku tetap menghormati Tante Resmi yang di kesempatan ini pun tetap aku panggil dengan sebutan ‘mama’. Maka, maksud dari kata-kataku berikutnya bukanlah untuk membuat ia tersinggung ataupun sakit hati. Akan tetapi, lebih kepada menunjukkan betapa berlapang dadanya aku sebagai laki-laki.Terlebih dulu memandang wajah Tante Resmi, a
Bab 209:Mamah Papah Sudah, sudah. Aku lupakan saja si Resti similikiti itu. Aku berharap, semoga dia mendapat pencerahan di dalam hidupnya, sekaligus menemukan mukanya yang dulu sempat hilang. Mohon maaf kalau aku menjadi sarkas. Aku menganggap ini sebagai reaksi psikologis yang normal sebagai korban yang telah disakiti. Mau bagaimana lagi? Aku bukan nabi, bukan orang suci, bukan pula begawan atau pertapa yang dilempar batu membalas dengan roti.Nah, hal yang selanjutnya harus aku pikirkan adalah bagaimana semestinya aku bersikap terhadap Menuk dan Yana? Bagaimana aku mengatakan kepada mereka berdua, bahwa aku tidak bisa menerima mereka? Apakah aku akan tega? Ini kali yang kedua lho!Beberapa hari kemudian..,********Sudah, sudah. Aku lupakan saja Menuk dan Yana itu. Ganjalan yang mengganjal perasaanku.., hemm, ganjalan yang mengganjal? Sepertinya kata itu memang su
Bab 210: Sampai Maut MemisahkanAku tidak sanggup membayangkan, kira-kira apa yang dirasakan oleh Menuk dan Yana setelah mengetahui story wa yang aku buat. Tidak lama setelah aku memposting foto tanganku dan tangan Angel yang sedang bergenggaman itu, mereka berdua segera mereaksi dengan pertanyaan-pertanyaan investigatif.“Itu tangan siapa, Ko?” Tanya Yana lewat pesan chatnya.“Siapa yang bertunangan, Mas?” Tanya Menuk pula.Aku membalas dengan jawaban yang jujur, sejujur-jujurnya. Setelah mengetahui jawaban dariku, mereka masih menanyakan lagi status keabsahan jawaban yang aku beri itu.“Serius?” Tanya Menuk.“Kamu bercanda ya?” Tanya Menuk pula.Maka, sembari menahan rasa ngilu di dalam hati, aku pun menceritakan sekilas kisah pertunanganku dengan Angel. Satu pesan aku kirim pada Menuk. Setelahnya, aku meng-copy pesan itu dan mengirimkannya pula pad
Bab 211:You Are My Everything Eh, eh, setelah kupandang, kupikir dan kuingat, “Kok sepertinya aku kenal dengan driver ojek ini ya,” kataku dalam hati.“Maaf, nama Abang siapa?” Tanyaku setelah dia sampai di depanku.“Abdul Jabar, kenapa, Mas?” jawab si tukang ojek dengan tanya pula.Aku berusaha mengingat seseorang yang pernah aku kenal dengan nama Abdul Jabar. Mungkin teman SMA dulu, atau mungkin sesama pemain voli. Ternyata, tidak, aku tidak pernah memiliki teman atau kenalan dengan nama itu. Atau, nama lainnya..,“Nama panggilan Abang?”Driver ojek menjawab, “Biasa saya dipanggil dengan nama Aje.”Aje? A-Je? Ah, aku juga tidak punya teman dengan nama Aje.“Begini, Bang..,” kataku selanjutnya. “Abang tidak keberatan kalau aku minta tolong untuk mengantarkan pesanan lagi?”Driver oje
Bab 212:Mawar 1 VVIP “Waalaikum salam,” sahutku di sini.“Ini.., siapa?” Tanyaku dengan hati yang sontak berdebar.“Ini aku Mas.., Bastian.”Bastian? Tanyaku dalam hati. Oh iya, aku ingat. Bastian ini adalah adik laki-laki dari Angel, si bungsu dari tiga bersaudara yang usianya sendiri sebaya denganku. Artinya, dia adalah calon adik iparku. Ketika acara lamaran tempo hari kami telah bertemu dan berkenalan.“Oh, kamu Bas. Aku kira siapa tadi.”“Iya, kebetulan, hape Kak Joyce sedang aku pegang.” “Ngomong-ngomong, Kakak kamu ada, Bas? Dia sudah tidur?” Tanyaku.“Emmh, sebentar, emmh, ini, emmmh..,”Aneh! Tiba-tiba saja suara Bastian terdengar gugup. Selanjutnya, aku tidak mendengar suara apa-apa lagi selain kresek-kresek, dan sedikit suara bisik-bisik.“Halo? Bas?&rdq
Bab 213:Tidur Cantik Pelan-pelan, aku melangkahkan kakiku lagi untuk mendekati pintu, lalu mengetuk.Tok! Tok!Tidak berapa lama pintu segera terbuka. Menyambut aku, adalah ibunda Angel yang telah aku panggil juga dengan sebutan Mama.“Angel kenapa, Ma?” Tanyaku dengan suara lirih, sembari melangkah masuk ruangan.“Dia pingsan.”“Pingsan? Sejak kapan?”“Sejak lepas Maghrib tadi.”“Kenapa, Ma? Kenapa dia bisa pingsan?” Kejarku lagi, dengan kecemasan yang telah kubawa sejak tadi.Mama menghela nafas yang terdengar berat, mengalihkan pandangannya pada Papa yang baru saja bangkit dari sofa. Aku lalu mengedarkan pandangan ke seantero ruang perawatan di mana Angel berada ini. Ia tengah berbaring di sebuah brankar. Tubuhnya tertutup selimut, dan di hidungnya terjepit selang oksigen.Papa mendekat ke arahku d
Bab 214:Seutas Tali “Kanker apa?”“Kanker otak.”Kabar yang aku dengar dari ayah Angel ini seperti petir yang menggelegar di samping telingaku. Aku terkejut bukan kepalang, dan serasa aku terlempar tiba-tiba ke dalam jurang. Beberapa saat aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya termangu memandang wajah Papa yang juga tengah menatapku dengan sorotnya yang meredup dan tua.Duh, Ya Allah, padahal pernikahan kami hanya tinggal beberapa hari saja!Tiba-tiba aku teringat pada satu momen yang pernah aku lalui bersama Angel dulu, ketika aku masih bekerja di Sinergi Laras dan Angel masih memegang urusan manajerial di perusahaan itu. Sewaktu menemui Angel di ruangannya untuk mempertanyakan perihal pemotongan gajiku, aku sempat melihat dia memegangi kepalanya. Mimik wajahnya seperti sedang menahan sakit. Jahatnya aku ketika itu, berkata di dalam hati; “Jangan sembuh-sembuh ya B