Bab 208: Kesempatan Kedua?
“Maafkan aku, Mas.., aku mohooon.., maafkan aku..,”
Tangisan yang mengiba, meratap lagi nestapa Resti ini, tidak bisa tidak, telah membuat hatiku bergetar! Aku tersentuh. Entah apakah ini kekuatan magis dari tangisan seorang wanita, aku pun terdiam menyimaknya, lalu menekur.
Alam pikiranku kemudian terbang secepat peluru ke masa lalu. Tiba-tiba aku terkenang pada bagaimana dulu aku dan Resti bertemu, berkenalan, kemudian berpacaran, lalu.., huh! Aku menepis semua bayangan yang menggoda itu dengan menggeleng-gelengkan kepalaku.
Demi Tuhan, aku tetap menghormati Tante Resmi yang di kesempatan ini pun tetap aku panggil dengan sebutan ‘mama’. Maka, maksud dari kata-kataku berikutnya bukanlah untuk membuat ia tersinggung ataupun sakit hati. Akan tetapi, lebih kepada menunjukkan betapa berlapang dadanya aku sebagai laki-laki.
Terlebih dulu memandang wajah Tante Resmi, a
Bab 209:Mamah Papah Sudah, sudah. Aku lupakan saja si Resti similikiti itu. Aku berharap, semoga dia mendapat pencerahan di dalam hidupnya, sekaligus menemukan mukanya yang dulu sempat hilang. Mohon maaf kalau aku menjadi sarkas. Aku menganggap ini sebagai reaksi psikologis yang normal sebagai korban yang telah disakiti. Mau bagaimana lagi? Aku bukan nabi, bukan orang suci, bukan pula begawan atau pertapa yang dilempar batu membalas dengan roti.Nah, hal yang selanjutnya harus aku pikirkan adalah bagaimana semestinya aku bersikap terhadap Menuk dan Yana? Bagaimana aku mengatakan kepada mereka berdua, bahwa aku tidak bisa menerima mereka? Apakah aku akan tega? Ini kali yang kedua lho!Beberapa hari kemudian..,********Sudah, sudah. Aku lupakan saja Menuk dan Yana itu. Ganjalan yang mengganjal perasaanku.., hemm, ganjalan yang mengganjal? Sepertinya kata itu memang su
Bab 210: Sampai Maut MemisahkanAku tidak sanggup membayangkan, kira-kira apa yang dirasakan oleh Menuk dan Yana setelah mengetahui story wa yang aku buat. Tidak lama setelah aku memposting foto tanganku dan tangan Angel yang sedang bergenggaman itu, mereka berdua segera mereaksi dengan pertanyaan-pertanyaan investigatif.“Itu tangan siapa, Ko?” Tanya Yana lewat pesan chatnya.“Siapa yang bertunangan, Mas?” Tanya Menuk pula.Aku membalas dengan jawaban yang jujur, sejujur-jujurnya. Setelah mengetahui jawaban dariku, mereka masih menanyakan lagi status keabsahan jawaban yang aku beri itu.“Serius?” Tanya Menuk.“Kamu bercanda ya?” Tanya Menuk pula.Maka, sembari menahan rasa ngilu di dalam hati, aku pun menceritakan sekilas kisah pertunanganku dengan Angel. Satu pesan aku kirim pada Menuk. Setelahnya, aku meng-copy pesan itu dan mengirimkannya pula pad
Bab 211:You Are My Everything Eh, eh, setelah kupandang, kupikir dan kuingat, “Kok sepertinya aku kenal dengan driver ojek ini ya,” kataku dalam hati.“Maaf, nama Abang siapa?” Tanyaku setelah dia sampai di depanku.“Abdul Jabar, kenapa, Mas?” jawab si tukang ojek dengan tanya pula.Aku berusaha mengingat seseorang yang pernah aku kenal dengan nama Abdul Jabar. Mungkin teman SMA dulu, atau mungkin sesama pemain voli. Ternyata, tidak, aku tidak pernah memiliki teman atau kenalan dengan nama itu. Atau, nama lainnya..,“Nama panggilan Abang?”Driver ojek menjawab, “Biasa saya dipanggil dengan nama Aje.”Aje? A-Je? Ah, aku juga tidak punya teman dengan nama Aje.“Begini, Bang..,” kataku selanjutnya. “Abang tidak keberatan kalau aku minta tolong untuk mengantarkan pesanan lagi?”Driver oje
Bab 212:Mawar 1 VVIP “Waalaikum salam,” sahutku di sini.“Ini.., siapa?” Tanyaku dengan hati yang sontak berdebar.“Ini aku Mas.., Bastian.”Bastian? Tanyaku dalam hati. Oh iya, aku ingat. Bastian ini adalah adik laki-laki dari Angel, si bungsu dari tiga bersaudara yang usianya sendiri sebaya denganku. Artinya, dia adalah calon adik iparku. Ketika acara lamaran tempo hari kami telah bertemu dan berkenalan.“Oh, kamu Bas. Aku kira siapa tadi.”“Iya, kebetulan, hape Kak Joyce sedang aku pegang.” “Ngomong-ngomong, Kakak kamu ada, Bas? Dia sudah tidur?” Tanyaku.“Emmh, sebentar, emmh, ini, emmmh..,”Aneh! Tiba-tiba saja suara Bastian terdengar gugup. Selanjutnya, aku tidak mendengar suara apa-apa lagi selain kresek-kresek, dan sedikit suara bisik-bisik.“Halo? Bas?&rdq
Bab 213:Tidur Cantik Pelan-pelan, aku melangkahkan kakiku lagi untuk mendekati pintu, lalu mengetuk.Tok! Tok!Tidak berapa lama pintu segera terbuka. Menyambut aku, adalah ibunda Angel yang telah aku panggil juga dengan sebutan Mama.“Angel kenapa, Ma?” Tanyaku dengan suara lirih, sembari melangkah masuk ruangan.“Dia pingsan.”“Pingsan? Sejak kapan?”“Sejak lepas Maghrib tadi.”“Kenapa, Ma? Kenapa dia bisa pingsan?” Kejarku lagi, dengan kecemasan yang telah kubawa sejak tadi.Mama menghela nafas yang terdengar berat, mengalihkan pandangannya pada Papa yang baru saja bangkit dari sofa. Aku lalu mengedarkan pandangan ke seantero ruang perawatan di mana Angel berada ini. Ia tengah berbaring di sebuah brankar. Tubuhnya tertutup selimut, dan di hidungnya terjepit selang oksigen.Papa mendekat ke arahku d
Bab 214:Seutas Tali “Kanker apa?”“Kanker otak.”Kabar yang aku dengar dari ayah Angel ini seperti petir yang menggelegar di samping telingaku. Aku terkejut bukan kepalang, dan serasa aku terlempar tiba-tiba ke dalam jurang. Beberapa saat aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya termangu memandang wajah Papa yang juga tengah menatapku dengan sorotnya yang meredup dan tua.Duh, Ya Allah, padahal pernikahan kami hanya tinggal beberapa hari saja!Tiba-tiba aku teringat pada satu momen yang pernah aku lalui bersama Angel dulu, ketika aku masih bekerja di Sinergi Laras dan Angel masih memegang urusan manajerial di perusahaan itu. Sewaktu menemui Angel di ruangannya untuk mempertanyakan perihal pemotongan gajiku, aku sempat melihat dia memegangi kepalanya. Mimik wajahnya seperti sedang menahan sakit. Jahatnya aku ketika itu, berkata di dalam hati; “Jangan sembuh-sembuh ya B
Bab 215:Seandainya “Untuk apa kamu membawa tali-tali ini, Mas?”“Aku sedang mencicil,” jawabku sambil tersenyum.“Mencicil? Mencicil apa?” Angel sontak heran.“Kamu ingat, waktu kamu bertanya ke aku. Apa yang akan aku lakukan untuk membahagiakan kamu. Kamu masih ingat dengan jawabanku, kan?”Aku lalu mendekatkan wajahku ke Angel, meraih tangannya yang terpasang infus dan membawanya ke dadaku.“Itu adalah janjiku, Angel, di mana sekarang ini aku sedang mencicilnya. Potongan tali ini aku kumpulkan di sini. Nanti, kalau jumlahnya sudah cukup dan kamu sudah sembuh, tali-tali ini akan aku rangkai, aku jalin dan aku anyam menjadi ayunan pantai.”Angel tersenyum lagi, dengan caranya kini yang paling aku sukai, yaitu menarik bagian bawah bibirnya terlebih dulu baru mengulum. Aku pun balas tersenyum.Mengapa aku membawa tal
Bab 216:Bersama Sebuket Bunga Beberapa hari kemudian..,Hari Minggu, pukul tujuh pagi, aku sedang berada di balkon lantai dua rukoku, duduk pada sebuah kursi plastik dan melemparkan pandanganku ke arah jalan. Alex, yang sejak semalam menginap di rukoku ini duduk di sampingku, juga melemparkan pandangan ke arah yang sama.Lepas subuh tadi aku pulang dari rumah sakit, disambut Alex yang membukakan pintu ruko. Kami berdua lantas duduk di balkon ini dan berbincang panjang lebar. Dia yang memang telah mengetahui kabar tentang sakitnya Angel sejak dari pertama, tampak begitu prihatin dengan apa yang aku alami.Sewaktu kubercerita semua hal tentang Angel tadi, tidak sedikit pun ia bergerak dari kursinya. Ia mematung dan bergeming. Rokok yang sudah ia sulut tidak sekali pun ia isap. Perhatiannya benar-benar tertuju kepadaku. Namun sekarang, setelah usai kubercerita, ia menyulut rokoknya lagi yang baru dan men
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.