Bab 185: Jejak Ibu, Di sini!
Ibu Joyce yang kali ini memakai kaca mata, bukan lensa kontak, menatap wajahku dengan sorot mata yang menantang.
“Apa? Apa yang tertinggal?” Tanya dia mulai kesal.
Maka, ini adalah satu momen yang telah aku pikirkan sejak beberapa hari yang lalu, sejak aku bertemu kembali dengan Ibu Joyce di tokoku, sejak aku merasa penasaran bagaimana ia bisa mengalami banyak perubahan begini. Pertanyaan Ibu Joyce ini juga adalah sesuatu yang telah aku antisipasi sebelumnya. Sesuatu yang aku sendiri pun tidak mengerti, mengapa aku begitu ingin untuk bertemu dengannya, berbicara, berbincang, bertukar cerita, dan..,
“Joko? Halo? Apa yang tertinggal?” Ibu Joyce bertanya lagi padaku, tanpa melepaskan tatapannya yang menusuk pada diriku yang menunduk.
Aku kemudian balas menatap wajah Ibu Joyce yang bersinar seri dalam keanggunan hijabnya. Hatiku bergetar. Aku mena
Bab 186:Lukisan Yang Hidup Rasa penasaran yang kudapat pasca disuruh pulang, ralat—diusir oleh Ibu Joyce membuat aku terus saja bertanya-tanya. Mengapa dia tidak mau berbicara denganku? Apa karena jawabanku tadi yang membuatnya tidak berkenan? Atau mungkin waktu yang bagi dia tidak mengizinkan akibat suatu kesibukan?Jika begitu, paling tidak dia bisa memberiku peluang. Sekadar untuk basa-basi juga tidak mengapa. Misalnya, dia bilang saja, “Bagaimana kalau besok?”, “Atau lusa?”, “Atau, minggu depan bagaimana?”. Iya, kan? Iya, kan?Kemudian satu hal lagi yang benar-benar membuatku tak habis pikir, adalah Ibu Joyce sampai tega memanggil petugas keamanan untuk menyuruhku pergi, ralat lagi—mengusir aku. Seakan-akan ia tidak pernah mengenalku. Seakan-akan aku ini adalah orang yang tidak pernah singgah di dalam hatinya. Seakan-akan ia tidak pernah mencintai aku. Seak
Bab 187:Cinta Yang Tak Terbilang “Astaghfirullahal adzim.., Mas Joko! Musibah apa lagi ini yang aku alami?? Mengapa nasibku menjadi begini?? Mengapa cobaan datang kepadaku tak henti-henti??”“Rasanya, aku seperti mendengar petir di siang bolong. Panas terik matahari tak ada mendung bahkan tak ada awan, tetapi guntur meledak dan menggelegar tepat di samping telingaku. Ini semua kualami ketika aku menerima telepon dari kampung halaman, yang memberi kabar kepadaku tentang sebuah kecelakaan yang dialami ibuku.”“Aku sedih, sedih sekali. Hatiku pilu, pilu sekali. Sontak saja aku menangis dan menjerit histeris di dalam kamarku. Chintya, yang kebetulan sedang menginap di rumahku sampai kesulitan untuk menghibur dan menenangkan aku.”“Sebuah dekapan dan pelukan dari seorang sahabat rupanya berhasil membuat aku tidak segera pitam. Chintya lalu membimbingku untuk duduk
Bab 188:Tidak Bisa Dicas “Ini, apa namanya ini?” Tanya Yana sambil menunjuk satu bagian yang ada di lukisan.“Hammock,” jawabku, “Atau, ah, sebut saja itu ayunan pantai.”“Nah, iya, ayunan pantai. Seolah-olah aku bisa melihat ada seorang perempuan yang berjalan ke sini, lalu duduk dan merebahkan diri di ayunan ini.”Aku lalu menengadahkan kepalaku, ikut memandangi lukisan itu dari posisi duduk di kursiku sendiri. Aku mengikuti alur berpikir Yana dan berusaha membayangkan apa yang ia terangkan tentang lukisan itu.Tidak ada, aku tidak merasakan suatu kesan apa pun seperti yang dirasakan oleh Yana. Bagiku, itu hanya sebuah lukisan usang yang kubeli dengan harga murah dari sebuah pasar loak. Itu hanya coretan kuas di atas kanvas, hasil karya seorang seniman yang tak memiliki nama atau pun alias, tidak juga julukan atau pun gelar.Luki
Bab 189: Tidak Bisa Dicas Lagi Selama beberapa kemudian, aku terus berusaha menelepon Ibu Joyce lewat nomor yang dulu kuberi nama kontak sebagai Jus Mengkudu. Aku tak peduli, meskipun nada sambung religinya mengingatkan aku pada.., mati!“Orang kaya mati, orang miskin mati, Raja-raja mati, rakyat biasa mati.., Semua pergi menghadap Ilahi..,” Aku juga tidak peduli, meskipun Ibu Joyce tidak pernah mengangkat teleponku, sehingga dengan demikian, grup band Wali itu menjadi leluasa menyebut-nyebutku..,“Orang kaya mati, orang miskin mati,Yang nikah mati, yang jomblo mati.., Yang perjaka mati, yang duda juga mati..,” Dua baris terakhir itu memang tidak ada pada lagu versi aslinya. Aku-nya saja yang terbawa suasana, menjadi ‘baper’, cengeng, dan meluaskan pemikiranku pada hal-hal yang semestinya tidak ada.Memasuki hari ketiga pasca kedatangan Yana, panggilan teleponku terhadap nomor Jus Mengkudu tetap saja tidak mendapat sambutan. Aku kemudian berpikir, barangkali karena nama Ibu Joy
Bab 190:Sudarwati “Ini orangnya yang bernama Sudarwati,” kata Pepen. Sudarwati?? Perempuan yang nomor kontaknya ada di ponselku tetapi tidak kutahu siapakah dia itu? Yang selama beberapa hari ini kucari tahu tetap saja tidak kutahu? Siapakah dia? Tanya hatiku yang sontak penasaran.“Oh, iya, saya segera ke depan,” sahutku. “Bilang ke dia, tunggu sebentar, ya. Saya mau cuci muka dulu.”“Iya, Mas.” Peden mengangguk, lalu kembali ke posnya di gerai depan.Aku duduk diam, dan menunggu, barangkali ada pembicaraan yang bisa kudengar antara Pepen dengan Sudarwati. Sayangnya, selain konfirmasi yang disampaikan Pepen dariku tadi, tidak ada pembicaraan lain. Padahal aku ingin mendengar suaranya lebih banyak lagi dan lebih jelas tentunya, supaya aku bisa mengidentifikasi perempuan itu lewat suaranya.Jika dia adalah Resti Amelia si kuntilanak i
Bab 191:Eternal Love Di kawasan Kepala Gading, di sebuah komplek perumahan mewah di bagian timur kota Bandar Baru..,Widuri, seorang gadis berjilbab coklat, asisten Joyce Angelique tampak sibuk dengan laptop dan berkas-berkas pekerjaannnya. Hari ini ia berkutat dengan banyaknya data-data administrasi dan keuangan. Lumayan membosankan, tapi ia pikir sepadan karena di banyak hari-hari kerjanya, lebih sering ia hanya duduk manis tanpa mengerjakan apa-apa.Sementara di meja yang lain, Joyce Angelique menarik layar laptop ke arah dirinya sendiri, melipat sedikit supaya tampilan layar tidak mengganggu pandangannya. Masih kurang puas, ia lantas menunduk, dan menumpukan keningnya pada dua tangan yang ia letakkan di atas meja.Joyce Angelique yang tampaknya merasa lelah, memejamkan mata supaya tidak bisa melihat apa-apa lagi selain kegelapan. Tetapi, serba salah, pikirnya. Di dalam kegelapan matanya yang terpe
Bab 192:Ada Udang Ada Petir Yana, dia akan ke sini! Mungkin sebentar lagi dia akan sampai. Lalu bagaimana jika Menuk dan Yana bertemu di sini? Gawat..!Tiba-tiba saja aku menjadi gugup. Namun, aku tetap berusaha untuk tidak kelihatan panik. Dalam waktu bersamaan aku juga berpikir keras, bagaimana caranya supaya Menuk dan Yana tidak bertemu di sini. Aku yang mengajak Menuk pergi? Atau aku yang mengirim pesan pada Yana supaya dia jangan datang karena aku punya urusan yang mendadak? Atau.., Menuk dan Yana, kedua-duanya aku nikahi? Eeehh.., alah! Dasar duda mentel! Umpatku dalam hati.“Bagaimana menurut kamu, Ko?” Tanya Menuk dengan pandangannya yang masih tertambat pada lukisan.“Bagaimana, eee.., bagaimana apanya?”“Menurut kamu, bagaimana pendapatku tadi tentang lukisan ini?”“Hebat, menurutku, hebat,” kataku sambil mengangguk-angguk. Aku pu
Bab 193:Joko-ku! Joko-ku! Tiba-tiba saja Yana memekik keras.“Deeeerrr..!”Astaga naga.!! Astaghfirullah!! Copot jantungku copot-copot-copot!Aku terkejut sampai terlonjak. Menuk yang duduk di sampingku juga kompak. Ia terkejut dan juga ikut terlonjak. Saking terkejutnya, ia bahkan sampai menjatuhkan ponsel miliknya yang baru aku hidupkan tadi. Kemudian, dalam detik yang sama kami juga kompak menoleh pada asal suara petir yang ‘der’ tadi.Itu, itu dia wujudnya, Yana si dewi petir yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang menegang dan kaku.Sadar siapa yang datang, sontak saja wajah Menuk memerah. Ia memandangi Yana dengan mata yang melotot, penuh rasa tidak suka, seperti mau melompat dan menerkam saja. Yana juga tampak memerah wajahnya. Ia kelihatan begitu shocked, terkejut bukan kepalang dengan keberadaan Menuk di sini.Menuk dan Yana
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.