Bab 188: Tidak Bisa Dicas
“Ini, apa namanya ini?” Tanya Yana sambil menunjuk satu bagian yang ada di lukisan.
“Hammock,” jawabku, “Atau, ah, sebut saja itu ayunan pantai.”
“Nah, iya, ayunan pantai. Seolah-olah aku bisa melihat ada seorang perempuan yang berjalan ke sini, lalu duduk dan merebahkan diri di ayunan ini.”
Aku lalu menengadahkan kepalaku, ikut memandangi lukisan itu dari posisi duduk di kursiku sendiri. Aku mengikuti alur berpikir Yana dan berusaha membayangkan apa yang ia terangkan tentang lukisan itu.
Tidak ada, aku tidak merasakan suatu kesan apa pun seperti yang dirasakan oleh Yana. Bagiku, itu hanya sebuah lukisan usang yang kubeli dengan harga murah dari sebuah pasar loak. Itu hanya coretan kuas di atas kanvas, hasil karya seorang seniman yang tak memiliki nama atau pun alias, tidak juga julukan atau pun gelar.
Luki
Bab 189: Tidak Bisa Dicas Lagi Selama beberapa kemudian, aku terus berusaha menelepon Ibu Joyce lewat nomor yang dulu kuberi nama kontak sebagai Jus Mengkudu. Aku tak peduli, meskipun nada sambung religinya mengingatkan aku pada.., mati!“Orang kaya mati, orang miskin mati, Raja-raja mati, rakyat biasa mati.., Semua pergi menghadap Ilahi..,” Aku juga tidak peduli, meskipun Ibu Joyce tidak pernah mengangkat teleponku, sehingga dengan demikian, grup band Wali itu menjadi leluasa menyebut-nyebutku..,“Orang kaya mati, orang miskin mati,Yang nikah mati, yang jomblo mati.., Yang perjaka mati, yang duda juga mati..,” Dua baris terakhir itu memang tidak ada pada lagu versi aslinya. Aku-nya saja yang terbawa suasana, menjadi ‘baper’, cengeng, dan meluaskan pemikiranku pada hal-hal yang semestinya tidak ada.Memasuki hari ketiga pasca kedatangan Yana, panggilan teleponku terhadap nomor Jus Mengkudu tetap saja tidak mendapat sambutan. Aku kemudian berpikir, barangkali karena nama Ibu Joy
Bab 190:Sudarwati “Ini orangnya yang bernama Sudarwati,” kata Pepen. Sudarwati?? Perempuan yang nomor kontaknya ada di ponselku tetapi tidak kutahu siapakah dia itu? Yang selama beberapa hari ini kucari tahu tetap saja tidak kutahu? Siapakah dia? Tanya hatiku yang sontak penasaran.“Oh, iya, saya segera ke depan,” sahutku. “Bilang ke dia, tunggu sebentar, ya. Saya mau cuci muka dulu.”“Iya, Mas.” Peden mengangguk, lalu kembali ke posnya di gerai depan.Aku duduk diam, dan menunggu, barangkali ada pembicaraan yang bisa kudengar antara Pepen dengan Sudarwati. Sayangnya, selain konfirmasi yang disampaikan Pepen dariku tadi, tidak ada pembicaraan lain. Padahal aku ingin mendengar suaranya lebih banyak lagi dan lebih jelas tentunya, supaya aku bisa mengidentifikasi perempuan itu lewat suaranya.Jika dia adalah Resti Amelia si kuntilanak i
Bab 191:Eternal Love Di kawasan Kepala Gading, di sebuah komplek perumahan mewah di bagian timur kota Bandar Baru..,Widuri, seorang gadis berjilbab coklat, asisten Joyce Angelique tampak sibuk dengan laptop dan berkas-berkas pekerjaannnya. Hari ini ia berkutat dengan banyaknya data-data administrasi dan keuangan. Lumayan membosankan, tapi ia pikir sepadan karena di banyak hari-hari kerjanya, lebih sering ia hanya duduk manis tanpa mengerjakan apa-apa.Sementara di meja yang lain, Joyce Angelique menarik layar laptop ke arah dirinya sendiri, melipat sedikit supaya tampilan layar tidak mengganggu pandangannya. Masih kurang puas, ia lantas menunduk, dan menumpukan keningnya pada dua tangan yang ia letakkan di atas meja.Joyce Angelique yang tampaknya merasa lelah, memejamkan mata supaya tidak bisa melihat apa-apa lagi selain kegelapan. Tetapi, serba salah, pikirnya. Di dalam kegelapan matanya yang terpe
Bab 192:Ada Udang Ada Petir Yana, dia akan ke sini! Mungkin sebentar lagi dia akan sampai. Lalu bagaimana jika Menuk dan Yana bertemu di sini? Gawat..!Tiba-tiba saja aku menjadi gugup. Namun, aku tetap berusaha untuk tidak kelihatan panik. Dalam waktu bersamaan aku juga berpikir keras, bagaimana caranya supaya Menuk dan Yana tidak bertemu di sini. Aku yang mengajak Menuk pergi? Atau aku yang mengirim pesan pada Yana supaya dia jangan datang karena aku punya urusan yang mendadak? Atau.., Menuk dan Yana, kedua-duanya aku nikahi? Eeehh.., alah! Dasar duda mentel! Umpatku dalam hati.“Bagaimana menurut kamu, Ko?” Tanya Menuk dengan pandangannya yang masih tertambat pada lukisan.“Bagaimana, eee.., bagaimana apanya?”“Menurut kamu, bagaimana pendapatku tadi tentang lukisan ini?”“Hebat, menurutku, hebat,” kataku sambil mengangguk-angguk. Aku pu
Bab 193:Joko-ku! Joko-ku! Tiba-tiba saja Yana memekik keras.“Deeeerrr..!”Astaga naga.!! Astaghfirullah!! Copot jantungku copot-copot-copot!Aku terkejut sampai terlonjak. Menuk yang duduk di sampingku juga kompak. Ia terkejut dan juga ikut terlonjak. Saking terkejutnya, ia bahkan sampai menjatuhkan ponsel miliknya yang baru aku hidupkan tadi. Kemudian, dalam detik yang sama kami juga kompak menoleh pada asal suara petir yang ‘der’ tadi.Itu, itu dia wujudnya, Yana si dewi petir yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tubuh yang menegang dan kaku.Sadar siapa yang datang, sontak saja wajah Menuk memerah. Ia memandangi Yana dengan mata yang melotot, penuh rasa tidak suka, seperti mau melompat dan menerkam saja. Yana juga tampak memerah wajahnya. Ia kelihatan begitu shocked, terkejut bukan kepalang dengan keberadaan Menuk di sini.Menuk dan Yana
Bab 194: Saung Syukurlah, perang dunia ketiga tidak terjadi. Menuk dan Yana sepakat untuk mengadakan gencatan senjata, katakanlah seperti itu. Tanpa harus berembug akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertikaian.“Yana, percayalah padaku. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Menuk.”Mendengar penjelasanku itu wajah Yana sontak bercahaya, lega nan bahagia. Ia merasa menang atas seterunya si Menuk Sudarwati, yang wajahnya mulai memucat dan kecewa.Kecewanya Menuk itu, mungkin karena ia yang mulai sadar, bahwa aku memiliki hubungan khusus dengan Yana. Akan tetapi, semua itu terpatahkan dengan..,“Dan Menuk..,” kataku lagi sambil menghadap Menuk. “Percayalah padaku. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan Yana.”Sontak juga wajah Menuk berpendar berkilauan. Ia merasa senang, lega dan bahagia. Menyusul kemudian, Yana yang kecewa, malu, dan serba salah. Tadi ia mungkin merasa bahwa aku telah berpihak padanya. Ternyata tidak. Aku memang tidak berpihak kepada salah seorang pun di anta
Bab 195:Bidadari Di Bawah Saung “Kalau kamu mau bicara, bicaralah,” kata wanita berhijab di seberang situ.Entah apakah ia berbicara denganku, atau dengan orang lain. Tetapi, kata-katanya itu membuat aku menoleh dan menatap heran padanya. Momen ini bersamaan dengan dirinya yang menurunkan majalah yang tadi menutupi wajahnya.Aku terkejut setengah mati, karena ternyata, dia adalah.., Angel!Aku tercekat, seakan tidak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Sungguh aku tidak mengerti, bagaimana mungkin Ibu Joyce tiba-tiba bisa berada di saung ini? Cepat aku menoleh kanan dan kiri, mencari-cari mobil Ibu Joyce yang mungkin saja diparkir di sekitar taman. Tidak ada! Seingatku tadi mobil Ibu Joyce memang berada di dalam garasi. Hingga beberapa saat kemudian pertanyaan dalam hatiku ini pun tak terjawab.Aku memandang Ibu Joyce masih dengan sorot yang tidak percaya. Menerima tatapan
Bab 196:Menikah Lagi? “Kamu tidak berpikir untuk mencari pengganti, Ko? Kamu tidak berencana untuk menikah lagi?”“Saat ini, belum, Bu,” jawabku segan. Masih dengan rasa segan seperti yang dulu antara atasan dan bawahan.“Kenapa?”Aku hanya menggeleng pelan.“Masih trauma?”“Tidak juga.”“So?”“Hanya, emm, hanya belum menemukan calon yang cocok saja.”Ibu Joyce mengangguk-angguk, penuh wibawa. Ini adalah wibawa yang berbeda dengan yang terpancar dari dirinya dulu sebagai bosku. Mungkin serupa aura, atau pesona, atau marwah, yang menyinar dari keseluruhan ujudnya dan itu membuatku tidak berani berpikir kurang ajar.Aku bahkan tidak berani mengenang pada bagaimana dulu kami pernah terlentang bersama dan berpelukan di dalam sebuah kamar hotel. Secara naluriah, sekarang aku ingin m