Met baca 🍃
_______
Segera Keira melangkah ke pekarangan rumah bunda, baru saja ingin masuk ke ruang tamu yang pintunya terbuka, ia sudah melihat Reynan menyeret koper besar lainnya dengan bunda yang duduk tak acuh di meja makan.
"Kei," lirih Reynan berwajah sembab.
Keira tersenyum, ia mengulurkan tangan kanannya. Seketika bunda beranjak, berjalan cepat lalu menatap tajam Keira.
"Reynan bahagia bersama saya. Sebaiknya Ibu renungi kesalahan masa lalu dan sekarang. Hina saya semau Ibu, karena suatu hari Ibu akan rindu dengan Reynan dan mungkin ... calon cucu Ibu nanti.
Terima kasih sudah merendahkan saya, karena itu menjadi pecutan untuk saya semakin membuktikan jika memang piciknya pikiran Ibu karena malu rahasia masa lalu terbongkar.
Sekali lagi, Bu. Kami akan menikah, sekalipun Ibu tidak merestui karena Alla
"Ini Villanya, nomor lima?" Reynan menatap sekitar. Villa dengan bangunan kayu berada di tengah perbukitan, jauh dari rumah warga dengan pemandangan luar biasa indah baik malam ataupun siang hari membuat Reynan tak bisa untuk tak takjub.Keira melangkah ke teras, terdapat nampan berisi dua welcome drink dan amplop berisi kunci juga voucher makan di cafe dan resto yang ada di sekitar villa."Suka?" Keira menatap Reynan sambil membuka pintu villa. Suaminya masih berdiri dengan koper besar di sisi kanannya."Banget, Mbak ... eh, Kei," ralat Reynan karena saking takjubnya jadi lupa kalau mereka suami istri."Iya, dong. Kita santai-santai di sini, lupain beban di Ibu kota." Langkah Keira semakin masuk ke dalam Villa, Reynan terus mengagumi interior juga penataan barang di sana."Aku mandi duluan, ya, nggak nyaman rambutku kaku gini."Mendengar kata mandi yang terucap dari bibir Keira, berubah menjadi kode keras untuk melakukan hal lain dengan sang istri."Aku nggak ikut mandi, Kei?" tatapn
Met baca 🍃_____Pintu mobil terbuka, mereka bertiga turun bersama-sama. Keira membawa parcel buah dan kue buatannya. Akhirnya, ketiganya menjenguk bunda setelah dua malam opname."Kei, yakin?" Ragu, Reynan bertanya seraya menatap istrinya yang segera menjawab dengan anggukan."Mbak, Bude bisa aja marah lihat Mbak Kei," sahut Ines."Nggak masalah. Yuk." Keira berjalan seraya menggandeng Ines."Bukannya gandeng aku malah Ines," gumam Reynan yang berjalan di belakang kedua wanita itu. Ines menjulurkan lidah meledek kakak sepupunya yang manyun-manyun.Tiba dilantai yang dituju, segera mereka berjalan ke arah kamar rawat bunda.Pintu didorong Ines, ia masuk lebih dulu. Bunda ditemani istri Wisnu, iparnya."Bude," apa Ines. Ia bercipika cipiki, lalu bunda menatap sinis kedua pasangan pengantin baru yang mendekat. Bukannya sapaan hangat tapi bunda bersikap kasar dengan melempar gelas plastik berisi air ke wajah Keira.Reynan melotot, ia menarik tangan istrinya supaya beridiri di belakangny
Halo apa kabar 🍃________Reynan bersiap berangkat kerja saat Keira sibuk di dapur membuat sarapan. Hari itu ia sengaja tak turun tangan di dapur, Minah dan Rini sudah bisa mengerjakan semua atas arahannya."Kamu bawa bekal kan, Nan?" Keira membawa bubur ketan hitam di mangkuk ke atas meja makan. Tak lupa segelas teh hangat."Iya," jawab Reynan seraya berjalan ke arah meja makan. Ia berdiri di depan Keira sambil mendongakkan kepala. Keira berdecak tapi juga tersenyum."Manjanya dasi aja minta dipakein, biasanya juga sendiri." Sesekali godain suami brondongnya nggak masalah, lah, ya."Biarin," jawab Reynan diiringi lirikan. Keira sudah rapi juga, ia akan menuju ke lokasi pendaftaran pameran pernikahan setelah mendapat informasi dari grup entrepreneur muda yang ia ikuti di sosial media."Nanti naik taksi resmi aja, jangan yang online. Aku habis baca berita jelek. Nggak mau kamu kenapa-kenapa, Kei." Keira mengangguk. Dasi selesai terpasang, Reynan hari itu harus ikut rapat untuk membah
Hai, ketemu lagi dijudul baru. Jangan lupa Subscribe, love dan komen, ya. Ini hanya kisah fiksi. Terima kasih 😊_____"Apa alasan kamu talak aku, Bas!" Dengan ekspresi marah, Keira membentak Bastian yang berdiri di depannya. Pria bertubuh tinggi berperawakan seperti aktor turki itu menatapnya garang. "Kita sudah tidak bisa bersama, Kei. Aku mau kita cerai. Aku sudah talak tiga kamu. Mulai detik ini, hubungan kita sebagai suami istri sudah selesai. Aku akan urus surat resmi perceraian kita di pengadilan."Kedua mata Keira berkaca-kaca, ia baru saja pulang bekerja. Tubuhnya masih lelah setelah berdesakan naik busway dan disambung dengan ojek hingga tiba di rumah. Namun, ia justru mendapat angin panas yang seketika membakar tubuh juga hatinya. Keira tidak menangis, walau rasanya ingin. "Kasih tau aku, apa alasannya. Kamu memang berubah setahun ini, Bas. Apa karena aku belum juga hamil? Atau kamu selingkuh! Iya! Selingkuh!" bentaknya. Bastian diam. Ia melirik ponsel miliknya yang terg
Keira sudah mendapat jadwal sidang perdana perceraiannya. Ia datang bersama Kemal, adiknya yang kuliah semester akhir jurusan teknik mesin. Rencananya ia akan melamar pekerjaan di pabrik otomotif terbesar atau pabrik produksi makanan. Kemal sudah punya target apa yang mau dilakukan, beda dengan Keira yang fokusnya kerja apapun yang halal lalu dapat duit. "Mbak, pokoknya nanti lo jangan cengeng. Tunjukin kalau lo tegar." Kemal mengultimatum. Keira mengangguk, oke, iya yakin bisa. Mereka berjalan melangkah dari parkiran motor. Ya, mereka berboncengan motor karena memang mereka tak punya mobil. Keira tak ada pengacara, ia bawa badan saja. Lain dengan Bastian yang terlihat berjalan bersama seorang pengacara juga bude Ratih. Heran, wanita itu seperti terobsesi dengan keponakannya sendiri. Keira terus menatap lekat, hingga Bastian membalas tatapan tanpa tersenyum. Keira sendiri masa bodoh, apalagi saat melihat bude Ratih yang angkuh, mentang-mentang mantan direktur perusahaan besar, laga
Ide mendadak dari Rima dan Ambar membuat Keira akhirnya berdiskusi dengan kedua orang tuanya. Ibu dan Ayahnya setuju, toh, Keira memang jagk masak. "Yaudah coba aja kamu buka PO apa gitu, Kei. Ibu bantuin," kata ibu sambil menjahit baju pesanan tetangga. "Apa Kei coba bikin terus jualin di kantor?" "Itu juga bisa. Tawarin dulu aja yang penting. Besok pulang kerja belanja bahannya, tawarinnya mulai dari sekarang, PO buat besok." Ibu bicara tapi pandangannya fokus ke mesin jahit di hadapannya. Keira pamit ke kamar, mencoba berpikir jualan apa kira-kira. "Apa, ya. Anak-anak di kantor senengnya jajananan, sih," gumamnya. Tangannya menscrol layar ponsel, mencari inspirasi. Setelah beberapa menit ia tersenyum, "ini aja, deh." Lalu jemarinya mulai mengetik pesan singkat di grup kantor untuk buka PO makanan. ***"Kapan ketuk palu, Kei?" Ambar bertanya saat mereka di toilet karyawan. "Sebulan lagi kali. Bodo ah, gue males mikirnya. Terima kenyataan aja gue jadi janda muda." "Muda? Udah
Pukul tiga dini hari, Keira diantar Kemal ke pasar langganan yang sudah buka sejak tengah malam.Berburu bahan masakan bukan hal susah bagi Keira. Ia hampiri kios-kios pedagang daging sapi, tawar menawar harga juga dilakukan."Kak, di sana sama ini beda lima ribu doang, ayo lah buruan!" keluh Kemal."Diem, deh, Mal! Buat pedangan kecil kayak gue, beda seribu juga gue kejar. Sabar!" geram Keira. Ia memilih buntut sapi, minta ke penjual supaya diberikan yang bagus. Bujuk rayu ala-ala ibu-ibu belanja dilakukan, bahkan kalimat memberikan angin segar jika ia pasti berlangganan kalau kualitas daging sapinya bagus dipercaya penjual."Berapa kilo, Kak?" bisik Kemal."Banyak." Keira buka tas slemlang kecil, meraih uang lalu membayar.Lanjut ke kios sayuran. Ia butuh kentang, wortel, seledri, juga pelengkap lainnya."Kak, jangan ditawar lagi. Belum lo masak. Sop buntut kan lama prosesnya."Kemal mengingatkan, benar juga. Keira tak bisa adu argumen beda harga seribu perak karena waktu mepet. Ia
Hai hai ... jangan lupa tinggalkan jejak ya ... 😊✌_______"Mal, bisa bawanya?" Keira menoleh ke adiknya yang memanggul karung berisi bahan belanjaan untuk pesanan nasi box 100 porsi. Lagi-lagi Kemal yang dijadikan asisten pribadi Keira. "Bisa. Jalan aja, Mbak, lo bisa bawanya, kan?" Kemal memperhatikan kakaknya yang dikedua tangan menenteng plastik berisi dus, sendok, tisu. "Bisa." Keira terus berjalan hingga ke parkiran motor. Mereka saling menatap saat tiba di depan motor Kemal. "Mbak, ini harus dua kali balik, gimana?" Karena motor Kemal hanya motor bebek matic biasa, bukan yang besar, tak muat untuk menaruh belanjaan. "Gue naik angkot aja, deh, Mal. Masih ada jam segini, kan?" Keira melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri. Masih jam delapan malam. Keira dan Kemal belanja di pasar yang memang ramai jika malam, selain itu harga juga murah. "Yaudah gue ikutin di belakang angkotnya." Bagaimana juga Kemal mengkhawatirkan sang kakak. Ia lalu menuju kentoko kelontong, memint