Baca lagee 🍃______Keira terus menimbang-nimbang rencana yang ia susun. Jika bunda melakukan manuver menyerangnya dengan bersikap galak, judes, jutek, lain dengan sang menantu nekat yang pake jurus pelan tapi mak jleb.Hari kedua acara, Keira kembali diantar suami tercinta. Masuk ke ballroom, ia duduk di tempatnya. Masih tampak kosong karena acara setengah jam lagi dimulai. Namun, kedua matanya yang berbentuk seperti mata kucing, menangkap sosok Alex datang seorang diri. Lelaki itu berdiri di sudur ruangan, berbicara dengan salah satu panitia.Buru-buru Keira beranjak berjalan cepat. Saat hendak mendekat ia tempelkan ponsel di telinga kanannya lalu berbicara."Oh iya, terus gimana? Aman kan semua bahan baku? Kamu marinasi dulu aja buat pesanannya." Ia menjeda, melirik sepintas ke Alex yang memperhatikan penjelasan panitia. "Apa ... apa ... apa? Pesanan tambahan soft cake pandang sepuluh loyang! Yaudah, selesai dari sini saya buat."Keira diam, ia melirik ke Alex yang tengah menoleh
"Kenapa harus nggak suka? Keira paket komplit kalau menurutku, Dwi." Alex meletakkan cangkir kopi di piring kecil sebagai tatakan. Mereka sudah selesai belanja lalu memutuskan duduk santai sambil minum kopi di mal itu juga."Aku nggak yakin tujuan Keira memang tulus sama anakku, Lex. Kamu tau Reynan itu polos. Aku takut dia cuma manfaatkan. Selain itu ya ... karena aku mau Reynan dapat istri yang baik. Kamu tau aku pernah buat kesalahan sama Ayahnya, kan?" Bunda seolah meyakinkan Alex tak lupa dengan kisah ia yang selingkuh sama pak RT."Itu masa lalu. Aku rasa nggak perlu kamu campuri. Suamimu tau, ia juga memaafkan walau sempat kamu ngelak sampai dia sakit baru kamu sesali." Alex bersedekap menatap bunda yang memijat pelipisnya karena bingung sendiri."Setiap orang pasti membuat kesalahan. Termasuk selingkuh. Alasan kamu waktu itu karena dia mantanmu dan karena kamu kesepian akibat sibuknya suamimu. Fine, aku pribadi pasti menyalahkan diri sendiri kalau istriku begitu. Tetapi itu du
"DBD!" pekik bunda. Ia melirik Keira yang menatap datar ke arahnya."Iya. Bercaknya udah keluar. Dirawat aja ya, biar sembuh total. Trombosit kamu takutnya rendah." Bisma, sepupu bunda segera mengambil keputusan lalu membuat panggilan telepon ke rumah sakit sambil berjalan keluar dari kamar."Nah, kan. Ngelayap terus, jadi kena DBB!" seru bunda lalu berjalan menyusul Bisma."Kei kerja, Bun, bukan ngelayap. Ya ampunnn, Bunda ...." Keira menghela napas kesal sekaligus pasrah karena tuduhan bunda.Di ruang TV Bisma sudah selesai meminta segera siapkan kamar rawat. Ia menoleh ke bunda yang berdiri seraya bersedekap."Boleh aku jujur, Mbak?" ucapnya. Bunda mengangguk. "Dia Keira yang kamu benci setengah mati karena nikah sama keponakanku? Kamu nggak salah?!" cicitnya."Kenapa?" tantang bunda dengan angkuh, dagunya terangkat seolah menantang Bisma."Dari saat aku periksa dia dan kamu sibuk teleponan entah sama siapa di luar tadi, dia perempuan baik, pintar dan cocok untuk Reynan yang tertut
Trombosit Keira perlahan naik, memang cukup lambat sehingga membuatnya harus dirawat selama lima hari.Ia boleh pulang, akhirnya ... Reynan pun senang karena bisa tidur nyaman di rumah setelah menemani Keira di rumah sakit."Nan, aku mau creambath, temenin bisa?"Langsung saja Reynan menggeleng cepat."Sama Ines aja ya.""Okey." Keira mendekat, segera melingkarkan kedua tangan dipinggang suaminya. "Maaf repotin kamu." Ia terpejam, sama suami sendiri aja masih tak enak hati, gimana dengan orang lain.Reynan membalas pelukan. "Kewajibanku rawat kamu, gitu juga sebaliknya kalau aku sakit. Ayo pulang."Keira melepaskan pelukan, ia menggandeng lengan suaminya yang sudah tak betah lama-lama di sana.Keduanya berjalan menuju arah lift. Keira teringat sesuatu."Waktu itu, kamu bahas apa sama Pak Alex berdua? Mau lamar Bunda ya dia?"Reynan terkekeh, "bukan. Pak Alex mau investasi buat catering kamu. Ada potensi katanya buat tambah besar. Tadinya mau aku bahas nanti aja di rumah, kamu nanya se
Cusss ... sayyy ... 🍃______"Terapi, Dok?" Keira tampak lesu setelah mengatakan itu."Iya. Kalian berdua harus terapi. Ada masalah sedikit. Untuk Ibu, terapi hormonal dan saya kasih vitamin, sedangkan untuk Bapak, karena setelah kita cek kekuatan spermanya hanya delapan puluh lima persen, jadi harus diobati juga." Dokter mendadak diam karena melihat raut wajah Keira dan Reynan tegang juga kaget."Begini, hal ini wajar terjadi. Saya bukan bilang kalian nggak bisa punya anak ... bisa, sangat bisa. Cuma ... kondisi sel telur Ibu dan kualitas sperma Bapak kurang sedikit lagi untuk sampai membuahkan. Faktornya banyak, salah satunya kelelahan, stres, hormonal, makanan, pola hidup, rokok, psikis. Intinya banyak."Keira mengangguk sedangkan Reynan hanya diam membisu."Kita lakukan untuk tiga bulan dulu, lalu saat kalian mau melakukan hubungan intim harus sesuai sama tanggal yang saya kasih ini. Jangan sampai lolos, karena kalian masih dalam masa pengawasan program kehamilan yang saya awasi.
Keira dan Reynan kaget saat diberitau Senada tentang sahabatnya yang bernama Frista. Mereka tak mau buru-buru ambil keputusan, apalagi program momongan yang akan mereka lakukan juga baru dimulai."Ketemuan dulu aja sama dia, Mbak. Jujur, aku kasihan sama dia. Kalau Mbak Kei sama Mas Rey nggak percaya ceritaku, kalian bisa dengar sendiri." Senada kembali meyakinkan kedua suami istri itu. Reynan menghela napas sambil bersandar pada sandaran sofa."Gimana, Kei?" tanyanya ke sang istri."Kita coba ketemu. Kasihan juga." Keira meraih jemari tangan Reynan, digenggamnya erat.Esok harinya mereka bertiga pergi menemui Frista di rumah sederhana yang berada di tengah gang pemukiman padat penduduk. "Rumah pagar cokat itu, Mbak, Mas," tukas Senada."Kata kamu dia anaknya orang kaya, Da?" bisik Reynan."Iya, Mas. Sebelum Frista dianggap aib dan dibuang gitu aja. Heran aku, ada ya keluarga kayak gitu." Senada membuka pagar, mereka bertiga masuk. "Fris," panggilnya pelan. Pintu terbuka, muncul wanit
Met baca 🍃______"Kamu tidur aja, besok kan kerja," usul Keira saat ia baru memberikan susu formula dengan takaran yang sudah ditentukan untuk putra mereka."Nggak bisa tidur. Kamar ini bau bayi, bau minyak telon, ada box bayi, baby bouncer, lemari bayi, pernak pernik. Berapa banyak kamu belanjaain ini, Kei?"Keira tertawa pelan, ia menepuk-nepuk pelan punggung bayi tampan yang akhirnya bersendawa. Keira merebahkan di dalam box bayi yang menempel dengan posisinya tidur di ranjang."Nggak usah itungan buat anak, deh, Nan. Ines jago milih semuanya, jadi ya ... worth it, lah."Keiran menyelimuti putranya, lalu ia menaiki ranjang menghampiri Reynan yang menyambut dengan senyuman.Reynan mengecup lama pelipis Keira. "Kamu capek, udah seminggu bayi ganteng sama kita dan waktu kamu full urus dia. Istirahat, Kei." Reynan mengusap bahu Keira yang memeluk pinggangnya."Nggak bisa tidur sebelum semua urusan selesai, Nan. Kita masih tunggu surat pengesahan dan akte lahirnya, aku mau semua dah d
"Ma," panggil bocah kelas satu SMP yang sedang bersiap berangkat ke sekolah. "Apa? Cari apa lagi sekarang? Dasi? Rompi?" Keira berkacak pinggang. "Cari Mama, lah." Alta mendekat, menyalim tangan Keira lalu mencium kedua pipinya, terakhir perut buncit Keira yang akan kembali melahirkan anak ke tiganya. "See you tomorrow baby boy. Mas Alta sekolah dulu, ya." Alta berbisik di depan perut Keira. "Mas Alta, kalau ada apa-apa sama Mama, jagain adek-adek, ya." Keira merapikan rambut anak sulungnya dengan kelima jari tangannya yang lentik terawat. "Mama nggak akan kenapa-kenapa, jangan bikin Alta sedih. Besok Alta udah izin nggak sekolah. Mama lahiran besok, kan?" Alta meraih tas ranselnya yang tergeletak di lantai. "Iya. Papa juga udah telepon ke guru kamu, kalau izin. Ke gurunya Vinka juga. Eh, adekmu mana?" Keira mencari ke sana ke sini. Anak keduanya ke mana? "Vinka udah di mobil sama Pak Darmo. Berangkat dulu, Ma. Bye, Ma," pamit Alta lagi. Ia segera berjalan kearah garasi rumah me
Met baca 🌿__________Kemal dan Ines berada di kampung halaman hampir satu minggu. Semua berubah semenjak bapak pergi untuk selamanya. Apalagi setelah tau bapak ternyata merestui juga membagi-bagi warisan.Diam-diam juga bapak merupakan pewaris tunggal keluarganya yang merupakan juragan tanah di sana. Semua diceritakan ibu di depan keluarga.Kemal sendiri tak bangga mendapat warisan, toh ia sudah kaya raya. Warisan dari bapak justru ia serahkan ke Ines, terserah mau diapakan. Untuknya Ines lah warisan berharga dari bapak untuknya. Itu sudah lebih dari cukup."Nes, jadi pulang siang ini?" Suara ibu terdengar sedih. Ines menoleh, ia sedang berdiri menatap foto keluarganya saat ia masih remaja dulu terpasang di dinding ruang keluarga."Iya, Bu. Kemal udah lama nggak kerja. Ibu mau ikut ke Jakarta?" ajaknya. Ibu berjalan mendekat, menggeleng pelan."Ibu ke Jakarta kalau kamu melahirkan, ya." Tangan ibu mengusap perut putrinya. "Ibu senang kamu bisa hamil diusiamu yang nggak muda tapi Ibu
Met baca 🌿__________Kemal segera membantu Ines berkemas, ia sendiri sudah sejak tadi merapikan pakaiannya ke dalam tas koper."Ayo, sayang," ajak Kemal bicara dengan begitu lembut. Ines duduk mendongak, menatap suaminya nanar. "Ayo, kita pulang." Kemal tersenyum. Ines berdiri pelan, menggandeng tangan Kemal.Kemal meminta pak Darmo segera berangkat bersama putranya untuk menemani selama perjalanan darat karena Kemal dan Ines naik pesawat. Mereka akan lama di sana sehingga pak Darmo diajak setelah izin dengan Reynan meminjam sopir anak-anaknya."Mas Kemal nanti di sana siapa yang jemput?" Pak Darmo harus memastikan."Ada keluarga Ines, kalian hati-hati ya. Saya sudah transfer untuk bensin, tol dan jajan Bapak sama Ado." Kemal membuka pintu taksi. Ado membantu membawakan tas kecil milih Ines yang isinya beberapa barang penting."Hati-hati, Mbak, Mas," tukas Ado."Makasih, Do," jawab Ines pelan.Perjalanan mereka tembuh sambil terus diam namun kedua tangan mereka tak lepas saling meng
Met baca 🌿______Kemal tak henti tersenyum semenjak tiba di rumahnya. Ines langsung lanjut nonton drakor di kamar setelah mandi dan memakai daster."Kamu mau ke mana?" tegur Ines walau matanya menatap ke layar tablet di atas pangkuannya. Ines merebahkan diri di atas ranjang, terlihat sangat malas beranjak."Mau beli buah. Kamu harus banyak makan buah, Nes," jawab Kemal masih mematut diri di depan cermin. Ia meraih sisir di atas meja rias, merapikan rambutnya yang basah setelah mandi."Ngapain sisiran, rambut kamu rapi sendiri. Lurus banget gitu." Kalimat yang diucapkan Ines terdengar seperti dumelan, lagi-lagi bicara tanpa menatap suaminya."Biar rapi aja," sahut Kemal lagi."Biar dilihatin cewek lain barang kali."Kemal diam. Ia meletakkan sisir kembali ke tempatnya lalu melihat istrinya dari pantulan cermin. "Cemburu?" gumam Kemal tapi menahan senyuman saat bicara."Sorry, ya, nggak tuh!" Ines menyelimuti diri setengah badan kembali fokus nonton."Masa, sih, hormon ibu hamil bikin
Met baca 🌿_________Kemal begitu bahagia saat ulang tahunnya dirayakan bersama keluarga di rumahnya. Tak lepas ia tersenyum sambil sesekali menunjukkan kemesraannya dengan Ines yang justru terlihat sedikit sendu.Seharian ia kepikiran bapak dan ibu, ia coba kirim pesan singkat ke bapak tapi tidak dibaca. Saat ke ibu, ibu hanya bilang kalau bapak tidak mau tau urusan juga apa yang terjadi dengan Ines.Ia anak perempuan, hubungan dekat dengan bapaknya sudah erat dari kecil. Perlahan pudar semenjak Ines ngotot merantau ke Jakarta dan kota besar lainnya hingga tersangkut kasus besar.Katon menghampiri Ines di dapur saat adiknya sedang merapikan piring dan gelas yang sudah kering, ia masukkan ke lemari dapur dengan rapi."Besok kalau Mas sempat, Mas ke rumah Bapak. Coba bicara lagi, ya."Ines diam, dengan wajah sendu menunjukkan balasan pesan singkat yang dikirim ibu. Setelah Katon baca ia hanya bisa menghela napas panjang."Maafin Bapak ya, Nes," tukas Katon."Ada juga aku, Mas, yang ha
"Kapan kita mau ke rumah Bapak Ibu, Mal?" Ines baru selesai menyiram tanaman di depan rumah saat Kemal memakai sepatu bersiap kerja."Mau kamu kapan?" Kemal masih menunduk."Terserah kamu. Aku hopeless.""Nggak boleh gitu. Aku cek jadwalku ke Raja, kalau kerjaan aman jumat ini kita ke sana, mau naik apa? Kereta atau pesawat?""Terserah."Kemal mendongak, menatap istrinya yang berdiri menggulung selang."Jangan terserah, Nes." Ia lantas berjalan mendekat. Merapikan rambut Ines yang sedikit acak-acakkan karena angin. "Kita harus kompak."Ines memeluk manja Kemal, ia memang tak yakin jika bapak mau melihat usaha mereka meminta restu. Kemal mengusap pelan punggung Ines, ia tau galaunya Ines karena sudah sebulan menikah tapi bapak sama sekali tidak berkabar. Anak perempuan mana yang tidak sedih."Aku kerja, ya, kamu mau di rumah aja apa jadi ke tempat Mbak Keira? Ervan bilang mereka butuh orang buat auditing keuangan, kamu bisa, kan?"Ines melepaskan pelukan, berjalan ke arah teras meraih
Met baca 🌿_____________Tamu kerabat dekat dan teman kerja sudah pulang sejak beberapa waktu lalu. Tak sampai lima puluh orang yang hadir. Kemal duduk sambil menikmati kopi sore yang dibuat Keira, diam menatap lurus ke tatanan taman bunga yang cantik atas tangan diri Keira."Gue tau perjuangan lo baru dimulai, tapi jangan lihatin ke Ines, kasihan dia." Keira duduk tepat di sebelah Kemal."Salah nggak sih, Mbak? Kalau jadinya begini?""Nggak ada yang salah atau benar, Mal. Udah jalannya dan yang penting lo bisa ubah pelan-pelan. Kapan berangkat bulan madunya?""Tiga hari lagi. Nyamain jadwal terbang Mas Katon, Ines mintanya gitu."Keira merangkul bahu sang adik, lalu ia bersandar pada pundak tegap Kemal. "Ibu bahagia banget. Dari tadi senyum, ketawa dan kelihatan bangga lo nikah juga, Mal. Nggak jadi perjaka tua," kekeh Keira. Kemal pun sama, kedua bahunya bergetar pelan lalu meraih jemari tangan kanan Keira."Mbak, makasih selalu marahin gue kalau gue salah langkah. Maaf lo jadi die
Met baca 🌿__________"Pisah!" tegas Keira saat kedua insan itu sudah kembali ke Jakarta dan langsung menghadap Keira, Reynan dan om Wisnu."Mbakkk," rengek Kemal lemas."Apa! Mau gue tabok lo! Nggak pantes udah tua!" Sambung Keira sambil berkacak pinggang. Vinka dan Alta yang duduk di anak tangga ke lima sambil Alta memangku Daksa hanya bisa cekikikan melihat om kesayangannya diomelin mama mereka."Lo aja belum dapat restu Bapaknya Ines, masih mau minta Ines tetep tinggal sama lo!" Keira ngamuk. Reynan hanya bisa menyerahkan kuasa sidang itu ke istrinya."Gue udah suruh Bibi dan Pak Darmo beresin barang-barang Ines dari tempat lo barusan. Mereka udah jalan. Ines balik tinggal di sini. Elo ...," tunjuk Keira. "Lo datengin Bapak, lo kejar restu Bapak. Jangan pulang sebelum lo dapat restu!"Om Wisnu tak yakin hal itu terjadi. "Om temani, Mal. Om yang tau Kakak Om itu seperti apa. Kapan mau ke sana?""Sekarang, Om." Kemal tegas menjawab."Oke. Om pesan tiket pesawatnya." Segera Wisnu me
Met baca 🌿_______Di bawah guyuran hujan, Kemal terus meminta Ines pulang bersamanya. Ines yang berdiri di hadapannya terus menolak. Ines tak terkena air hujan karena berdiri di bawah atap kedai sederhana itu.Tanpa peduli tubuhnya semakin basah, Kemal membujuk. "Pulang, Nes." Kali ini suaranya bergetar pelan. Ines tetap menolak, bahkan ia meninggalkan Kemal begitu saja, Kemal tak bisa apa-apa selain pergi kembali ke hotel.Kemal berendam air hangat di bath up kamar hotel, ia merenungi kebodohannya. Kedua matanya terasa panas, ia sadar jika sedetik lagi air matanya jatuh.Benar saja, ia menangis, membungkam mulutnya dengan telapak tangan kanan. Sesakit ini melihat Ines menjadi menjauh darinya. Semenyengsarakan ini rasanya ditolak Ines yang bertahun-tahun memahami dirinya seperti apa.Apakah kali ini ia menyerah? Membiarkan dirinya menjadi bujangan tanpa mau memikirkan berumah tangga?Menjelang tengah malam, Kemal masih terjaga, ia mengusap tengkuknya saat berkutat dengan pekerjaan
Met baca 🌿___________Suara wajan di atas api yang menyala besar juga kesibukan lain di dapur membuat Ines ingat bagaimana Keira dulu memulai usaha catering yang dirintis dari nol hingga sukses seperti sekarang.Begitu pula ingatan Ines bagaimana awal mula pertemuan dengan Kemal yang ia anggap sombong kini justru menempati ruang hati terdalamnya.Ia berdiri, menunggu pesanan pelanggan siap sambil memeluk nampan coklat. Tiga juru masak berlomba-lomba menyelesaikan masakan untuk dihidangkan, Ines melirik ke sudut dapur, terdapat meja bahan baku yang siap diolah.Hela napas panjangnya membuat salah satu rekannya mendekat. "Ada apa?" tanyanya dengan logat melayu."Tidak ada apa-apa," jawab Ines diakhiri dengan senyuman. Satu juru masak memindahkan makanan dari wajan ke mangkok besar, Ines mendekat seraya meraih selembar tisu dapur. Dirapihkan makanan itu dari noda yang berceceran disekeliling mangkok karena juru masak buru-buru menuangkan.Ines siap membawa pesanan makanan ke meja pelan